Sudut pandang kelam bagi segelintir orang akan makna dari kata “Penjara” yaitu tempat penyiksaan, penindasan, dan tempat berkumpulnya para mafia kotor yang sadis dan tragis. Mereka dianggap tidak bisa memiliki harapan karena masa depan mereka direnggut oleh perilakunya sendiri, kemerdekaan yang dicabut akibat ulah mereka yang merusak tatanan kehidupan sosial. Sungguh tragis bagi mereka yang terkurung dibalik jeruji tersebut.
Nihil bagi mereka katanya, memiliki harapan baru, sulit tentunya mereka untuk kembali ketengah masyarakat, kata “berubah” sejatinya tidak cocok diberikan kepada mereka, sungguh keji bukan. Ada anak yang direnggut raganya oleh mereka yang memiliki hasrat, ada ibu yang kehilangan putra-putrinya dibunuh oleh para psikopat tanpa rasa iba, ada ayah yang setiap malam berdoa agar anaknya berhenti mengonsumsi minuman bahkan obat-obatan terlarang, dan ada juga sipenipu menari kegirangan melihat para korbannya melarat setelah harta mereka dirampas tanpa ada aba-aba. Mereka semua bersatu dalam sebuah tempat dimana mereka diadili dan diberikan pembinaan atas perbuatannnya.
Lembaga pemasyarakatan menjadi tempat bagi mereka untuk bisa tetap menghirup udara segar serta menjalani hidup walau langkah mereka dibatasi, sungguh inilah tempat paling cocok untuk mereka menjalani sisa hukumannya atas perbuatan yang dilakukan, lembaga pemasyarakatan yang semula masih menggunakan sistem kepenjaraan pada pelaksanannya, lalu mengubah pola kinerja pemasyarakatan mengikuti perkembangan dengan tetap terintegrasi untuk mewujudkan perlindungan Hak asasi manusia pada setiap warga negara indonesia, sesuai dengan UU no.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan pasal 2 menyebutkan hadirnya Sistem Pemasyarakatan ini dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri serta tidak mengulangi kesalahan terdahulu, sehingga nantinya ketika kembali pada kelompok masyarakat dapat diterima dan berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Lapas membawa warna baru bagi mereka yang memiliki harapan cerah untuk masa depan yang belum tersentuh.
Dalam perjalanan berdinas, tentunya banyak cerita yang diperdengarkan pada kita sebagai wali pemasyarakatan, tua muda, sebaya sebuah hubungan yang dibangun atas asas kekeluargaan, hadirnya kami sebagai petugas pemasayarakatan membawa harapan baru bagi mereka berkeluh kesah dan bertukar pikiran, teringat salah satu pinta warga binaan paruh baya yang sedang menjalani hukumannya, ia berkata “saya bersyukur saat ini saya masih diberikan kehidupan, walau tidak seperti yang lainnya, rasanya saya seperti diselamatkan dari musibah besar, yang manatau akan saya rasakan kalau masih berkeliaran diluar” ia mengibaratkan seperti menginjak batu lalu terpeleset, teguran ini membuat ia seperti mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Kita tidak pernah tau bagaimana tuhan menegur kita, apa lewat orang lain, atau berupa tegur keimanan lewat perbuatan yang kita lakukan, ada yang tersadar lalu mengambil hikmahnya dan adapula yang enggan dengan menghalau hidayah yang diberikan tersebut. Namun saya melihat dengan mata saya sendiri, banyak dari warga binaan memperbaiki diri mereka dengan mengiatkan diri dengan hal yang berbau agama, Sholat berjamaah. mengikuti kajian umum di Musholla Lapas, berdzikir bersama serta menyibukkan diri dengan membaca.
Lantas apa ini bisa disebut sebuah harapan?
Tentu saya menjawab ia, teringat sebuah kisah Ibnu taimiyyah ketika ia dijebloskan dalam penjara , lalu sipir mengunci pintunya, ia berkata seperti mendengar firman allah yang berbunyi : “Lalu diadakan diantara mereka dinding yang mempunyai pintu. Disebelah dalamnya ada rahmat dan disebelah luarnya disitu ada siksa” Q.S. Al-Hadid: 13. Lalu ia berpinta lagi “ apa yang bisa dilakukan oleh musuh-musuh itu padaku? Surga dan tamanku ada didalam dadaku, kemanapun aku berjalan, maka keduanya selalu bersamaku, kalaupun aku dibunuh, maka itu adalah kematian sebagai seorang yang syahid, kalaupun diusir dari negeri asalku, maka itu adalah sebuah rekreasi, dan penjara adalah tempatku menyendiri.
Sungguh pesan moral ini, menjadi kekuatan bagi mereka menjalani kehidupan dibalik jeruji, apa kembali seperti kalanya bayi baru lahir dengan memulai kehidupan barunya dari mulai membuka matanya, atau memilih hidup dengan mempertahankan hidup meraup kenikmatan, dan mengubur hati yang kasar.
Tentunya sebagai saksi hidup mengharuskan kita merubah setidaknya pola pikir mereka, dengan menggunakan metode pendekatan dan pembinaan, harapan besar mereka menjalani kehidupan lebih layak ketika telah habis menjalani masa hukumannya, atau kita senantiasa menjadi rumah bagi mereka yang menjalani kehidupan mereka hingga akhir hayat menjemputnya. Sungguh kemuliaan luar bisa menjadi seorang petugas pemasyarakatan dianugerahi empati, ketangkasan, serta kejelian menghadapi berbagai macam karakter perilaku warga binaan, yang secara normalnya tidak didapati oleh kebanyakan orang.