Tinggal di luar kota atau bahkan luar negeri sembari mengenyam pendidikan tinggi dan mendapat tambahan uang dari penyelenggara beasiswa menjadi beberapa faktor penarik bagisebagian ASN untuk melaksanakan tugas belajar (tubel). Selain beasiswa bergengsi macam LPDP dan Pusbindiklatren Bappenas, beberapa instansi juga membuka beasiswa dengan cara bekerja sama dengan perguruan tinggi di dalam negeri dan luar negeri. Bukan hanya iming-iming sederet privilege selama masa tubel, sebagian ASN tentunya berharap dapat berkontribusi lebih bagi unit kerja sepulang tubel dan meningkatkan prospek karir.
Akan tetapi, tak jarang ASN menghadapi tantangan yang cukup menyita waktu dan menguji kesabaran sepulang dari tubel seperti mutasi yang tiba-tiba, mengurus kenaikan pangkat (KP), penyesuaian gelar (PG), pengembalian ke dalam jabatan fungsional tertentu (khusus JFT), dan lain-lain. Bagi instansi atau unit kerja yang memiliki manajemen tata usaha dan SDM yang bagus, tentu hal-hal administratif seperti KP, PG, dan pengembalian ke JFT tidak menjadi halangan bagi ASN untuk melanjutkan karir. Akan tetapi, sebagian unit kerja atau instansi seakan lepas tanggung jawab begitu saja terhadap ASN yang sedang dalam dan/atau pasca tubel. Para ASN ini harus berjuang sendiri, bertanya ke sana kemari untuk mengamankan karir mereka.
Tantangan lain adalah integrasi sosial di tempat kerja, terlebih jika ASN dimutasi setelah melaksanakan tugas belajar. Jika tugas dan fungsi di unit baru sama dengan unit lama, integrasi sosialnya tidak akan serumit jika ASN tersebut dipindah ke unit yang tugas dan fungsinya sama sekali berbeda dengan unit lama, terlebih lagi apabila di unit baru ternyata tidak ada formasi jabatan fungsional yang sama dengan formasi unit lama. Kasus yang lebih parah, ada bidang kepegawaian yang kurang aware dengan analisis beban kerja dan analisis jabatan ASN sehingga terkesan asal menempatkan ASN ke unit yang mereka kira membutuhkan banyak lowongan, namun luput melihat apakah unit tersebut menyediakan formasi yang linear dengan jabatan ASN sebelum melaksanakan tugas belajar. Selain itu, integrasi sosial juga tentang penyesuaian kembali dengan budaya kerja di kantor. Jika misalnya ASN dapat dengan bebas menyuarakan pendapat dan ide-ide, berdiskusi, dan berdebat di kelas, ketika kembali ke kantor hampir bisa dipastikan mereka akan kembali ke rutinitas “Siap Pak/Bu,” tidak bisa bebas berdiskusi, atau kalaupun mereka boleh berpendapat, belum tentu pendapat mereka dianggap dan dipertimbangkan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal tersebut tentu saja berpotensi menyebabkan demotivasi di kalangan ASN pasca tugas belajar. Sudahlah grade mereka turun yang berimbas pada menurunnya pendapatan, menghadapi red tape birokrasi, mereka masih harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa ilmu yang mereka dapat dari tugas belajar kurang bisa diimplementasikan di tempat kerja. Memang ada yang menganggap bahwa rencana dalam motivation letter ketika melamar beasiswa hanyalah formalitas, namun perlu diingat bahwa ada pula yang sungguh-sungguh ingin memajukan instansi dengan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di bangku kuliah.
Dari keluh kesah di atas, ASN yang telah diberi kesempatan tubel terkesan kurang bersyukur. Sudah enak diberi waktu refreshing ke luar kota/negeri, namun masih BM alias banyak mau. Tetapi wajar saja jika mereka menuntut ini-itu kepada negara karena tidak semua ASN tubel murni atas keinginan sendiri, tetapi ada pula yang didorong instansi. Ditambah lagi, mereka sudah melalui serangkaian proses seleksi dari administrasi hingga wawancara serta mengorbankan waktu, tenaga, dan uang pribadi. Setelah itu mereka belajar, jungkir balik menyelesaikan tugas, penelitian, menulis jurnal, hingga dilanda homesick. Tidak sampai di situ, ASN pun harus memenuhi kewajiban administrasi membuat SKP atau membantu beberapa pekerjaan di kantor secara jarak jauh (jika mereka adalah tipe ASN yang sering diandalkan). Rasa-rasanya ganjaran berupa pencabutan status JFT dan penurunan grade justru memperolok kerja keras ASN selama menempuh tubel.
Entah dari mana datangnya kebijakan pencabutan JFT dan penurunan grade. Apakah regulasi tersebut sudah melalui serangkaian kajian mendalam? Apakah sudah dipastikan bahwa ASN yang menempuh tubel sama sekali kehilangan kemampuan mereka dalam bekerja dan dianggap tidak berkontribusi dalam pekerjaan? Apa indikatornya?
Peraturan Problematik
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta Aparatur Sipil Negara, tahapan manajemen talenta ASN meliputi akuisisi talenta, pengembangan talenta, retensi talenta, dan penempatan talenta. Dalam tahapan akuisisi, mutasi dan penugasan khusus masuk dalam sub kategori pencarian talenta. Sementara itu, tugas belajar merupakan salah satu bentuk pengembangan talenta. Alih-alih melanjutkan ke tahapan retensi yang berupa pemantauan, penghargaan, dan manajemen suksesi, ASN pasca tubel justru seakan-akan reset ke pengaturan default, kembali ke tahap akuisisi khususnya mutasi.
Tidak hanya itu, ketentuan dalam tahapan retensi pun membingungkan. Dalam pasal 1 nomor 25, retensi talenta dilakukan dengan cara pemantauan, penghargaan, dan manajemen suksesi. Akan tetapi, di pasal 25, bentuk-bentuk retensi antara lain berupa: rencana suksesi, rotasi, pengayaan jabatan, perluasan jabatan, dan penghargaan. Selanjutnya, tidak ada ayat atau pasal yang menjelaskan apa itu pengayaan jabatan dan perluasan jabatan. Selanjutnya, klausul tentang pemantauan justru muncul di pasal 31 yang menyebutkan, pemantauan talenta tidak hanya dilakukan pada tahap retensi, namun juga dalam pengembangan dan penempatan.
Tidak juga ada penjelasan apakah nama-nama pegawai yang masuk dalam kelompok rencana suksesi dapat diketahui pegawai secara umum sehingga pegawai lain dapat melakukan pengawasan dalam proses suksesi. Walaupun ada kriteria berupa matriks di lampiran, tidak ada jaminan pasti bahwa para pegawai yang masuk kualifikasi otomatis masuk ke kelompok suksesi. Skenario lain, penilaian pegawai berpotensi subjektif karena tidak ada indikator dan instrumen yang jelas supaya pegawai tertentu dikategorikan di kotak-kotak yang masuk rencana suksesi.
Dijelaskan lebih lanjut di pasal 26, pegawai yang masuk dalam rencana suksesi berhak memperoleh penghargaan yang disesuaikan dengan kebijakan instansi. Bisa jadi, pegawai yang masuk rencana suksesi tidak mengetahui bahwa mereka ada di kelompok tersebut, bisa juga walaupun mereka masuk rencana suksesi, penghargaan yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki atau mereka mungkin harus melaksanakan berbagai kewajiban lain untuk memperoleh penghargaan yang dijanjikan.
Berbagai kontradiksi dan ketidakjelasan tersebut sejatinya dapat diatasi dengan adanya peraturan turunan berupa Keputusan Menteri yang berisi petunjuk teknis yang berlaku secara nasional dan sosialisasi peraturan. Tetapi, setelah empat tahun sejak diberlakukannya Peraturan Menteri PAN-RB tersebut, tidak ada langkah konkret dari pembuat kebijakan untuk menyebarluaskan informasi kepada K/L lain. Kemungkinan lain adalah, Kementerian PAN-RB sudah melakukan diseminasi kepada bagian Kepegawaian K/L, namun tidak ada tindak lanjut dari K/L yang mengikuti diseminasi. Selain Kepegawaian K/L, Korpri juga tidak terlalu memperhatikan regulasi Manajemen Talenta ASN ini.
Tindak lanjut bukan hanya tentang implementasi, tetapi juga kritisi, dialog, dan peninjauan ulang kebijakan untuk memperbaiki berbagai kekurangan atau mengklarifikasi ketidakjelasan peraturan. Proses diskusi atau dialog tentang regulasi mengenai ASN inilah yang selama ini luput dari rencana kerja Biro-biro Kepegawaian instansi pemerintahan. Selama ini mindset kepegawaian masih berupa Diklat, capacity building atau rekreasi ke luar kota, dan acara-acara seremonial peresmian, penghargaan Satyalancana Karya Satya, dan kegiatan-kegiatan serupa.
Kemudahan Birokrasi dan Konseling
Bagi sebagian besar ASN yang kembali dari tugas belajar, tampaknya hal penting yang harus dilakukan adalah melapor ke bagian Tata Usaha atau Kepegawaian unit kerja. Bisa dikatakan, hal tersebut merupakan salah satu langkah nyata untuk mengamankan karir secara realistis. ASN pasca tugas belajar memang harus pro aktif bertanya tentang hal-hal administratif apa saja yang perlu dilakukan. Hal tersebut penting untuk mengingatkan bagian kepegawaian akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja yang diterima dan dilaksanakan ASN sekembalinya bekerja.
Namun sampai kapan ASN dibiarkan berjuang sendirian dan nyaris tidak ada itikad dari pejabat terkait untuk memperbaiki sistem yang begitu semrawut?
Permenpan RB tentang Manajemen Talenta ASN juga membunyikan peraturan tentang konseling, namun ternyata di lampiran disebutkan, konseling diperuntukkan bagi ASN dengan potensi dan kemampuan kurang. Seharusnya, konseling diperuntukkan bagi semua kalangan ASN, termasuk ASN yang baru saja menyelesaikan tubel dan jenisnya pun disesuaikan dengan profil ASN.
Konseling bagi ASN pasca tubel sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada aspek psikologis. Lebih dari itu, konseling meliputi review hasil belajar dan bagaimana mengimplementasikan ilmu ke dalam dunia profesional dan melibatkan pejabat atau pimpinan langsung untuk berdiskusi. Hal tersebut penting mengingat banyak hal yang perlu dikompromikan untuk dapat menerjemahkan pemikiran idealis akademisi dengan keadaan di lapangan, khususnya birokrasi. Di sisi lain, ASN perlu menyadari dan mempersiapkan mental jika ide-idenya tidak disetujui atau siap mendapatkan tugas-tugas tambahan apabila pimpinan menyetujui gagasannya. Di sinilah peran konseling selanjutnya, yaitu memastikan ASN yang diberi tugas tambahan tidak overwork dan burnout, dengan cara membantu menegosiasikan rencana aksi dengan pimpinan, bila perlu kemungkinan mendapat tunjangan tambahan atau akselerasi kenaikan jabatan untuk kontribusinya.
Perbaikan regulasi dan sistem mutlak diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi ASN setelah melaksanakan tubel. Peningkatan kapasitas pengurus kepegawaian sejatinya diperhatikan, bukan hanya tentang skill tetapi juga memperhatikan jumlah SDM berbanding beban kerja yang dilaksanakan. Di sisi lain, dukungan dari pimpinan langsung ASN pasca tubel sangatlah penting, yaitu pemimpin yang mengupayakan kemajuan karir dan kesejahteraan para pegawai yang dipimpinnya serta dialog di ranah perumusan kebijakan.***