Kebijakan PBJP seringkali dipengaruhi oleh politik dan bisa menjadi alat untuk mencapai tujuan politik tertentu.
PBJP adalah kebijakan sentral dalam distribusi sumber daya publik dan terkait erat dengan kekuasaan serta berbagai kepentingan ekonomi politik yang menyertainya. Pada tulisan ini kita bukan hanya membicarakan pengadaan sebagai kebijakan administrasi sumber daya dan anggaran publik saja, melainkan juga bagaimana kekuasaan diraih dan dipertahankan.
Menengok sejarah ekonomi politik Indonesia, praktik distribusi sumber daya melalui skema patron-klien sudah sejak lama dilakukan. Edward Aspinall mendefinisikan patronase sebagai “distribusi sumber daya material untuk tujuan tertentu dan memberikan manfaat politik, dan secara khusus, sumber daya material didistribusikan melalui jaringan klientelistik yang berbasis pada relasi kekuasaan personal”.
Paul Hutchcroft mendefinisikan klientelisme sebagai relasi kekuasaan personal dengan status sosial yang lebih tinggi (patron) dengan mereka yang memiliki status sosial lebih rendah (klien) dalam ikatan timbal balik. Dalam skema patron-klien, politisi memiliki otoritas untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya kepada pemilih dan pengusaha melalui relasi personal dan subjektif. Sebagai imbalan, pemilih memberikan dukungan politik dan pengusaha memberikan dukungan finansial untuk politisi.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto telah menggunakan regulasi PBJP bukan sekadar mengatur soal tender dan stimulus untuk mendorong partisipasi yang lebih besar dari sektor swasta di bidang ekonomi. Secara politik, Soeharto juga menggunakan regulasi PBJP untuk memperluas basis dukungan politik sehingga akhirnya rezim Orde Baru bisa berkuasa lebih dari tiga dekade.
Keppres No.14/1979 yang kemudian diperbarui dengan Keppres No.10/1980 dan Keppres No. 14A/1980 merupakan regulasi PBJP yang lahir di rezim Orde Baru. Dengan regulasi ini, Soeharto berupaya memperluas basis dukungan kekuasannya, di luar pendukung tradisional, yakni militer dan konglomerat Tionghoa. Dengan kontrol atas pengadaan pemerintah, Presiden Soeharto berhasil menggalang dukungan yang lebih besar, terutama dari pengusaha pribumi.
Dalam Keppres 10/1980, Sekretariat Negara (Setneg) memiliki peran yang sangat besar. Melalui aturan ini, Setneg mengkoordinasi sebuah panitia yang dikenal dengan Tim Keppres 10, yang terdiri dari perwakilan dari berbagai departemen untuk mengkoordinasi seluruh pengadaan pemerintah pusat untuk belanja di atas Rp. 50 juta, BUMN, pemerintah daerah, termasuk mengontrol belanja pertahanan dan keamanan.
Munculnya Setneg dan Tim Keppres 10 merupakan awal dari munculnya oligarki di Indonesia. Oligarki yang muncul dan dibesarkan oleh Orde Baru ini kemudian mampu bertahan dan kembali mendominasi ekonomi politik Indonesia pasca Orde Baru. Beberapa pengusaha besar pribumi seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Siswono Yudhohusodo adalah para konglomerat yang mendapatkan dukungan dari Setneg dan menjadi oligarki yang dominan dalam politik kontemporer Indonesia.
Pasca Orde Baru, klientelisme di Indonesia semakin terdesentralisasi. Para peneliti yang membangun teori kartel menyebutnya sebagai demokrasi kolusif karena partai politik dan elit berkoalisi untuk tujuan pragmatis, yakni akses terhadap sumber daya dan proyek, meskipun mereka berasal dari tradisi dan ideologi politik yang berseberangan.
Melihat sejarah PBJP di Indonesia, tampak jelas bagaimana praktik tender proyek-proyek pemerintah terkait dengan patronase politik. Alokasi sumber daya publik dilakukan bukan melalui pertimbangan teknis kapasitas dan kompetensi melainkan melalui jaringan patronase. Pejabat publik menjadi penjaga pintu gerbang sumber daya publik yang menggunakan pengaruhnya untuk mengalokasikan barang dan jasa kepada perusahaan-perusahaan tertentu. Sebagai imbalan, perusahaan-perusahaan itu memberikan sebagian keuntungan material kepada pejabat publik tersebut. (Baca: Politik, Patronase dan Pengadaan)
Ketika menghadapi krisis finansial pada tahun 1997, pemerintah Indonesia meminta dukungan dari lembaga-lembaga keuangan internasional di bawah koordinasi International Monetary Fund. Tetapi bantuan itu mensyaratkan sejumlah paket reformasi kebijakan, salah satunya pemberantasan korupsi dan praktik perburuan rente, terutama dalam PBJP.
Berangkat dari paradigma neo-liberal yang hendak mengurangi peran pemerintah dan mendorong partisipasi sektor swasta, reformasi dalam pengadaan barang dan jasa menyediakan kerangka hukum untuk meningkatkan transparansi dan kompetisi di dalam tender yang dipandang efektif mencegah korupsi dan sekaligus meningkatnya efektivitas belanja pemerintah.
Meskipun berbagai peraturan pengadaan barang dan jasa telah direvisi dan Indonesia mengadopsi berbagai inovasi terbaru dalam tender pemerintah, faktanya praktik korupsi terus berjalan. Persoalannya bukan karena peraturan kurang jelas atau pelaksana pengadaan tidak memahami regulasi barang dan jasa. Masalah mendasar adalah praktik patronase yang terus berjalan dan berubah mengikuti perubahan dan reformasi dalam tender pemerintah.
Di era reformasi, regulasi PBJP memberikan kerangka hukum bagi partisipasi sektor swasta serta mengatur bagaimana sumber daya publik didistribusikan. Selain itu, regulasi juga mengatur negara dengan rinci bagaimana mendistribusikan sumber daya publik melalui mekanisme tender yang adil dan objektif.
Untuk mengatur PBJP, dibentuk pula lembaga semi independen, karena terpisah dari kementerian dan lembaga pemerintah lain, yakni Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Reformasi dalam pengadaan barang dan jasa terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Berbagai studi yang telah dilakukan oleh akademisi dan peneliti menunjukkan sejumlah manfaat dalam PBJP secara elektronik (e-procurement). Penerapan e-procurement membuat pemerintah lebih akuntabel, tender bisa dilakukan lebih cepat dan pemerintah bisa menghemat anggaran.
Keppres No. 18/2000 menjadi tonggak penting dalam regulasi PBJP di era reformasi. Salah satu pasal penting dalam aturan ini adalah keharusan bagi pemerintah untuk melakukan tender dalam seluruh pengadaan barang dan jasa. Pengecualian, yakni penunjukan langsung, hanya bisa dilakukan apabila memenuhi berbagai kriteria dan syarat yang ketat dan diatur dengan jelas.
Secara umum, penunjukan langsung hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat seperti bencana alam, pekerjaan terkait pertahanan dan keamanan negara yang perlu dirahasiakan, pekerjaan kecil, barang-barang tertentu yang produsennya terbatas serta berbagai kondisi lain yang didefinisikan dengan jelas dan ketat.
Penyempurnaan regulasi dan tata kelola PBJP terus dilakukan di era reformasi. Pada 2025, bersamaan dengan dimulainya kabinet merah putih, LKPP menerbitkan regulasi PBJP teranyar yang akan menjadi sejarah baru dalam perkembangan PBJP di Indonesia. Sejarah yang memvalidasi eksistensi skema patron-klien dan memperjelas PBJP sebagai kendaraan politik penguasa.
Pada tahun 2003, Pemerintah membentuk LKPP untuk merumuskan kebijakan dan regulasi PBJP. Melalui Keppres 80/2003, syarat keanggotaan kontraktor dalam asosiasi bisnis tertentu dihapus. Kontraktor dalam aturan ini boleh menjadi anggota asosiasi bisnis apa pun. Sebelumnya, sebagai bagian dari strategi kooptasi politik Orde Baru, Soeharto mewajibkan seluruh organisasi dan profesi bergabung dalam wadah tunggal. Untuk sektor swasta, seluruh sektor harus bergabung ke dalam asosiasi bisnis yang menjadi anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
Setelah 27 tahun Orde Baru jatuh, LKPP dan KADIN mulai menjalin keakraban baru. LKPP melalui 'proxy-nya', Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI), berkolaborasi dengan KADIN menggagas pameran nasional Indonesia Catalogue Expo and Forum (ICEF) dan Indonesia Procurement Forum and Expo (IPFE) 2025 pada akhir Juli lalu.
"Kegiatan ini akan menjadi platform pameran nasional terbesar di bidang pengadaan barang/jasa, mempertemukan penyedia dari seluruh Indonesia dengan pemangku kepentingan utama dalam pengadaan pemerintah,”ujar Andi Zabur, Ketua Umum IAPI dalam acara 'Grand Launching ICEF-IPFE 2025, pada 25 April 2025.
Kolaborasi antara IAPI dan KADIN Indonesia dalam penyelenggaraan ICEF-IPFE 2025 diklaim sebagai bukti nyata sinergi antara dunia usaha dan dunia regulasi. IAPI dengan basis profesional dan kapasitas teknisnya dalam pengadaan, berpadu dengan KADIN yang mewakili kekuatan pelaku usaha nasional, menghasilkan 'pameran' yang bukan hanya prestisius, tetapi juga sangat strategis bagi masa depan PBJP di Indonesia.
“ICEF-IPFE 2025 bukan hanya tentang pameran. Ini adalah national gateway bagi pelaku usaha untuk mendapatkan akses nyata ke pasar pengadaan pemerintah. Kami mengajak seluruh pelaku usaha, dari UMKM hingga perusahaan besar, untuk tidak melewatkan kesempatan ini,” tegas Andi Zabur.
Dengan tema besar “Digitalisasi Pengadaan untuk Indonesia Emas: Inovasi, Kolaborasi, dan Keberlanjutan”, ICEF-IPFE 2025 akan menyatukan pelaku usaha, unit kerja pengadaan (UKPBJ), perwakilan BUMN, serta lembaga pemerintah pusat dan daerah.
Sementara itu, Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Bakrie mengatakan, potensi belanja pemerintah dalam hal PBJP memiliki nilai yang sangat fantastis hingga mencapai angka Rp 1.200 triliun.
"LKPP ini istilahnya mengayomi sampai Rp 1.200 triliun ya Pak Kepala (LKPP), dan itu jumlah yang sangat besar," kata Anindya
Dengan besarnya nilai belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah yang mencapai Rp 1.200 triliun itu, Anindya berharap peluang itu juga dapat dimanfaatkan oleh para pelaku dunia usaha di seluruh penjuru negeri. Yakni untuk memasarkan produk/jasa terbaiknya, supaya bisa terserap dalam PBJP tersebut.
"Jadi buat Kadin sebagai naungan dunia usaha dan juga tentunya mitra strategis pemerintah di dalam bisnis, ini merupakan sesuatu yang sangat strategis dan relevan. Karena dengan seperti ini, kita bisa ikutan memberdayakan teman-teman di dunia usaha nasional dan juga di daerah," tambah Anindya. (Baca: ICEF-IPFE 2025, Pameran Nasional Terbesar Bidang Pengadaan Barang dan Jasa)
Meskipun terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kolaborasi LKPP, IAPI dan KADIN adalah tanda-tanda kembalinya strategi kooptasi politik Orde Baru, namun setidaknya publik bisa menilai sendiri bagaimana kemungkinan itu bisa terjadi sehingga banyak pihak bisa mengambil sikap yang bijaksana dengan gejala yang nampak di permukaan.
Gejala kooptasi politik Orde Baru bukanlah satu-satunya yang sudah nampak. Anomali lainnya bisa terlihat dari sikap LKPP yang terkesan 'pilih kasih' terhadap partisipasi publik dalam merumuskan regulasinya. Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 adalah contoh salah satu regulasi yang difasilitasi partisipasi publiknya, sementara ada regulasi lain yang proses perumusannya senyap.
Flyer Event Konsultasi Publik Revisi Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 (Sumber:LKPP)
Menurut LKPP, Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2021 membutuhkan banyak masukan dari para stakeholder PBJP karena muatannya dianggap akan paling banyak dibutuhkan oleh para Pelaku Pengadaan pasca diterbitkannya Perpres 46 Tahun 2025. Dengan alasan itulah, maka partisipasi publik dibutuhkan untuk merumuskan regulasi ini.
Padahal, sebuah kebijakan yang sempurna idealnya adanya kajian yang komprehensif dan melibatkan peran serta partisipasi masyarakat. Sebab, sebuah kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, objeknya adalah masyarakat luas. Untuk itu, peran serta partisipasi masyakat seharusnya diperhatikan para pembuat kebijakan ketika membentuk peraturan perundang-undangan di level pemerintah ataupun parlemen.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Indonesia, Muhammad Nur Sholikin berpandangan setiap pembahasan sebuah aturan mulai tingkat peraturan hingga perundang-undangan adanya keharusan melibatkan peran dan partisipasi masyarakat. Seperti halnya dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi usul insiatif DPR maupun pemerintah.
Perumusan naskah akademik hingga draf RUU pun seharusnya tak lepas dari peran serta partisipasi masyarakat. Terlebih, dalam pembahasan sebuah RUU di parlemen, adanya keharusan meminta masukan dari masyarakat menjadi salah satu tahapan yang harus dilalui. Begitu pula sebuah kebijakan yang diambil pemerintah harus mendapat masukan dari masyarakat sebelum diputuskan.
Dalam Pasal 96 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana telah diperbaharui dengan UU No.15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Sementara dalam ayat (4)-nya menyebutkan, “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat”.
Sayangnya peran partisipasi masyarakat dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hanya diatur dalam satu pasal. Alih-alih pelibatan partisipasi masyarakat, praktiknya hanya sebatas menjustifikasi proses pembuatan kebijakan.
Meski partisipasi masyarakat tak diatur gamblang dalam konstitusi, ada pasal yang sejatinya tersirat mengatur partisipasi masyarakat yakni Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Rumusan norma Pasal 27 ayat (1) itu mengatur soal equality before the law.
Lebih lanjut Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura menerangkan pengaturan peran serta masyarakat dalam UU 12/2011 hanya diatur dalam satu pasal yakni Pasal 96 UU 12/2021. Sayangnya, dalam praktik dari kelima tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan tidak melibatkan masyarakat. Menurutnya, muatan Pasal 188 Peraturan Presiden (Perpres) No.87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU 12/2011 tentang konsultasi publik justru mereduksi peran serta partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan partisipasi publik ternyata juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan konsultasi publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Peraturan ini istilah konsultasi publik pun digunakan. Akibatnya, perlu atau tidaknya masukan publik sangat bergantung pada penilaian subjektif penyusun Peraturan Perundang-undangan. (Baca: Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Kebijakan)
Lantas regulasi PBJP apa yang tidak melibatkan partisipasi publik dalam perumusannya?
Transparency International Indonesia (TI Indonesia) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, terbitnya Perpres 46 Tahun 2025 menunjukkan keengganan politik dalam pemberantasan korupsi sistemik yang terjadi di sektor PBJP. Perpres ini tampak lebih fokus membuka ruang diskresi yang lebih luas untuk aktor-aktor negara dan elite politik daripada memperkuat integritas dan akuntabilitas pengadaan publik.
Salah satu ketentuan yang dinilai bermasalah dalam Perpres 46 Tahun 2025 adalah perluasan kriteria metode penunjukan langsung, termasuk di dalamnya dalam rangka pelaksanaan program prioritas pemerintah, bantuan pemerintah, dan/atau bantuan Presiden. Kriteria penunjukan langsung melanggengkan benturan kepentingan yang rentan berujung korupsi sebab tidak disertai transparansi dan akuntabilitas pada aspek alasan penunjukan suatu penyedia. (Baca: Perpres PBJ 2025: Formalitas Pemberantasan Korupsi Pengadaan)
Untuk mengatur ketentuan lebih detil terkait penunjukan langsung dimaksud, LKPP menerbitkan Peraturan LKPP Nomor 2 Tahun 2025 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia Dengan Penunjukan Langsung Dalam Pelaksanaan Program Prioritas Pemerintah, Bantuan Pemerintah, dan/atau Bantuan Presiden Berdasarkan Arahan Presiden (PerLKPP 2/2025) pada tanggal 2 Mei 2025.
PerLKPP 2/2025 dapat menjadi karpet merah bagi para bohir . Pasalnya, tidak ada lagi batasan nilai yang mengharuskan proses pemilihan penyedia untuk Program Prioritas Pemerintah, Bantuan Pemerintah, dan/atau Bantuan Presiden dilakukan secara kompetisi. Dengan arahan Presiden yang tercantum dalam risalah rapat, memorandum atau dokumen lainnya, para Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah selaku Pengguna Anggaran sesuai dengan kewenangannya dapat langsung menggunakan metode Penunjukan Langsung. (Baca: Penyedia Proyek MBG Kini Bisa Ditunjuk Langsung)
Gampangnya, metode Penunjukan Langsung memungkinkan proses pengadaan bisa lebih cepat, namun di sisi lain, Penunjukan Langsung akan membuka ruang bagi pemerintah untuk menunjuk pelaku usaha yang hanya memiliki 'kedekatan emosional' dengan penguasa untuk menjadi penyedia/mitra terpercayanya. Peraturan ini terkesan menormalisasi skema patron-klien sebagaimana dijelaskan di atas. Dalam bahasa yang lebih mudah dikenal masyarakat, PerLKPP 2/2025 terkesan menjadi alasan pembenaran untuk memberikan karpet merah kepada para bohir.
Bohir berarti 'pemilik modal'. Dalam bahasa aslinya (Belanda), bouwheer berarti “kontraktor”, berasal dari bouwen (membangun) dan heer (tuan). Dalam bahasa Indonesia, khususnya percakapan politik sehari-hari, istilah “bohir” merujuk pada pemberi modal politik. Umumnya, istilah ini digunakan secara negatif. Bohir adalah rentenir politik yang “meminjamkan” uang ke calon-calon yang akan berlaga dalam pemilihan umum. (Baca: “Bohirkrasi” dan Politik Uang)
Ini bukan masalah di Indonesia saja. Di negara-negara maju, keterkaitan erat antara pemberi dana kampanye dengan calon kepala daerah yang akan bertarung dalam suatu pemilihan umum (donokrasi) telah melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak (atau kurang) ideal. Mekanisme pemilihan yang sarat campur-tangan donor menyulitkan demokrasi berjalan secara alamiah. Selalu ada kepentingan bisnis di belakang setiap pemilihan politik.
Dampak langsung donokrasi adalah munculnya pemimpin-pemimpin medioker yang kurang pandai bekerja (inkompeten) atau kurang memenuhi ekspektasi publik. Kandidat-kandidat yang terpilih adalah mereka yang bisa meyakinkan sebagian besar pemilih abai (ignorant voters). Dalam berbagai temuan studi mutakhir, sebagian besar pemilih dalam demokrasi adalah kaum ignorant.
Di AS, kombinasi pemilih ignorant dan kepentingan bohir melahirkan kepala daerah yang mengecewakan. Menurut sebuah survei kepuasan publik (approval rating) atas gubernur-gubernur di AS, dari 50 gubernur terpilih, hanya tujuh yang dapat nilai (tingkat kepuasan) di atas 60 persen. Rata-rata gubernur dapat approval rating di bawah 50 persen.
Hal sama sebetulnya juga terjadi di Indonesia. Dari 500 lebih pilkada, berapa gubernur atau bupati/walikota yang berhasil menyita perhatian masyarakat karena performa kerjanya?
Menurut Jason Brennan dalam bukunya Against Democracy, tidak ada cara lain untuk memperbaiki kualitas demokrasi kecuali dengan melakukan 'sortifikasi' terhadap pemilih.
Sortifikasi adalah proses penyortiran atau pembatasan jumlah pemilih, misalnya hanya orang-orang tertentu yang benar-benar melek dan peduli politik yang berhak datang ke bilik suara. Mereka yang tak punya pengetahuan atau kepedulian politik tak layak diajak ikut pemilu. Mekanisme penyortiran bisa berdasarkan jenjang pendidikan, bisa juga berdasarkan perilaku informasi/pengetahuan yang dikonsumsi seseorang. Brennan menyebutnya 'epistokrasi'.
Yang kedua, solusi bersifat struktural yang ditawarkan Ilya Somin dalam bukunya Democracy and Political Ignorance. Sortifikasi bukanlah alternatif ideal buat demokrasi. Selain mekanisme penyortiran yang tak mudah, semangat sortifikasi cenderung diskriminatif. Ignorance (abai) bukanlah sebuah kondisi yang tak masuk akal, tapi justru pilihan rasional pemilih. Di tengah banyaknya pilihan, memilih atau mengabaikan adalah keputusan yang sepenuhnya rasional.
Akar masalah dari buruknya hasil demokrasi adalah karena banyaknya pemilih yang abai. Mengapa para pemilih abai? Menurut Somin karena mereka disuguhi begitu banyak pilihan yang tak mungkin mereka kaji secara mendalam. Cara mengatasinya: mengurangi pilihan, mengurangi jabatan publik, mengurangi posisi-posisi yang tidak penting. Dengan kata lain: merampingkan pemerintahan.
Zainal Arifin Mochtar mengusulkan cara ketiga yang belum banyak dipercakapkan orang, khususnya di kalangan akademis. Jika masalah demokrasi terkait keterlibatan (emosional) pemilih dan juga pendanaan, memikirkan solusi yang bisa mengombinasikan keduanya adalah jalan keluar terbaik.
Akademisi yang juga dikenal sebagai artis film dokumenter 'Dirty Vote' itu membayangkan ada sebuah sistem atau platform yang memungkinkan pemilih dalam demokrasi lebih terlibat dengan pilihan-pilihan politik mereka. Misalnya, mendorong mereka agar lebih besar lagi berperan dalam proses pemilihan, bukan hanya datang ke bilik suara, tapi aktif berkampanye dan melakukan penggalangan dana.
Penggalangan dana adalah unsur penting yang bisa menggabungkan emosi pemilih dengan isu pendanaan yang jadi akar persoalan demokrasi. Orang yang mengeluarkan uang (seberapapun jumlahnya), pasti punya ikatan emosional lebih besar ketimbang pemilih minimalis (yang tak menyumbang). Dia akan memantau calon yang didukung.
Dampak positif lain adalah kandidat yang didanai oleh uang masyarakat (hasil dari penggalangan dana) akan merasa lebih bertanggung jawab kepada publik ketimbang kepada seseorang (bohir). Penggalangan dana bukan hanya mengatasi masalah biaya politik yang selama ini sangat rawan, tapi juga mendorong seorang kandidat lebih bertanggung jawab kepada pemilihnya.
Dalam konteks regulasi PBJP, TI Indonesia dan ICW mendorong pemerintah untuk segera membentuk Undang-Undang Pengadaan Publik. Menurut mereka, persoalan korupsi di pengadaan tidak dapat dibenahi hanya dengan Peraturan Presiden, melainkan dengan percepatan pembentukan Undang-Undang Pengadaan Publik. Proses pembuatan Undang-Undang melibatkan berbagai pihak, ketimbang Peraturan Presiden yang cenderung lebih tertutup dari partisipasi masyarakat.
Baik desakan TI Indonesia dan ICW maupun alternatif solusi yang ditawarkan oleh Brennan, Somin dan Mochtar di bagian sebelumnya, keduanya terdengar seperti mimpi di kalangan pengelola PBJP yang berintegritas. Pasalnya, harapan memiliki sistem politik dan demokrasi yang ideal seperti itu nyaris pupus. Pengelola PBJP terlalu sering dijadikan alat oleh para politisi untuk menebus janji-janjinya kepada para bohir. Beruntung bagi mereka yang memiliki integritas tidak akan terjerumus pada nafsu yang jahat. Akan tetapi lebih banyak yang tidak bisa menghindar dan berujung pada pahitnya konsekuensi hukuman pidana.
Oleh karena itu, pada bagian ini, ketika berbagai alternatif solusi itu tidak pernah diimplementasikan, barangkali kita memang harus berdamai dengan skema patron-klien, donokrasi atau eksistensi Bohir dalam PBJP dan menerima 'takdir' PBJP sebagai kendaraan politik namun dengan pendekatan yang teknokratis.
Pertama, program kerja Kepala Negara/Kepala Daerah sudah seharusnya sejalan dengan Rencana Pembangunan Nasional baik jangka panjang maupun jangka menengah (RPJP dan RPJM). Visi dan misi mereka harus menjadi turunan dari RPJP dan menyatu dalam RPJM serta mampu mengakomodasi isu-isu strategis yang ada dalam dokumen tersebut. Akan tetapi yang perlu dipastikan pada tahapan ini adalah jangan tergesa-gesa untuk meminang Bohir. (Baca: Visi Misi Capres dan Mimpi Indonesia Maju 2045)
Proses meminang Bohir ada ditahapan selanjutnya. Mau tidak mau, PBJP harus mampu merealisasikan visi dan misi Kepala Negara/Daerah terpilih yang telah tertuang dalam RPJM. Setidaknya, carut-marut seperti dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis tidak akan terjadi jika dalam penyusunan visi dan misinya, Presiden Prabowo Subianto telah mempertimbangkan ketentuan PBJP yang berlaku. Oleh karena itu, perlu ada tahapan baru yang disisipkan dari praktik yang lazim dan telah melembaga saat ini. Tahapan ini-lah yang harus saya akui adalah hasil imajinasi yang terlalu liar, yaitu proses pemilihan Bohir yang kompetitif.
Pada tahap kedua ini, Kepala Negara/Daerah membuka kesempatan seluas-luasnya kepada calon Bohir untuk berpartisipasi dalam program yang telah mereka susun dalam sebuah tender tidak mengikat. Dengan kata lain, 'kontrak kerja sama' baru akan ditandatangani para pihak setelah Kepala Negara/Daerah menang dalam pemilihan umum yang mereka ikuti.
Skema pendanaan/pembiayaan pun dapat sangat fleksibel. Saat APBN/APBD tidak cukup menjanjikan untuk mengakomodir program Kepala Negara/Daerah, maka skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) patut dipertimbangkan.
LKPP sebagai konsolidator dapat berperan sebagai agen pengadaan untuk memilih Bohir secara kompetitif. Kontrak kerjasama dirancang selama periode Kepala Negara/Daerah menjabat sehingga pengelola PBJP tidak perlu disibukan dengan pemilihan penyedia untuk proyek-proyek strategis yang menyita waktu, tenaga dan pikiran seperti selama ini.
Pemilihan Bohir secara terbuka dan mengadopsi konsep 'Pra-DIPA' (tender sebelum dokumen anggaran disahkan) bukan bermaksud menghalalkan praktik money politic. Bohir terpilih hanya dibebankan kewajiban untuk melaksanakan proyek-proyek pemerintah dan membantu Calon Kepala Negara/Daerah mendapat simpati publik dengan visi-misinya yang relevan dengan isu-isu strategis, bukan membantu kandidat pemimpin tersebut untuk 'membeli suara rakyat'. Biaya kampanye bisa saja disumbangkan oleh para Bohir kepada kandidat pemimpin karena yang terpenting publik tahu berapa besaran donasi yang diberikan dan mengawal proses 'balik modalnya'.
Perlu dipertimbangkan pula, bahwa pemilihan Bohir ini hanya berlaku untuk PBJP yang timbul untuk mengakomodir visi misi Kepala Negara/Daerah saja, yang pada diskusi terpisah, Pelaku Usaha/Bohir memberi persepsi eksploitatif terhadap proyek yang dijanjikan. Kompetisi Bohir tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa instansi pemerintah yang berada pada quadran routine atau leverage pada supply positioning model. Barang/jasa yang masuk quadran strategis/kritis cocok dengan karakter program prioritas pemerintah, sehingga strategi kontraknya memang harus jangka panjang.
Sebagai penutup, saya tidak berharap gagasan ini direalisasikan. Terlalu gegabah bagi pemerintah, bahkan untuk sekedar setuju dengan imajinasi liar ini. Sebenarnya, saya sampaikan ini hanya sebagai kritik terhadap gejala 'pilih kasih' dalam menggelar partisipasi publik saat penyusunan PerLKPP 2/2025. Sebaliknya, saya justru berharap, alih-alih menerbitkan regulasi yang mencederai prinsip keterbukaan, persaingan dan keadilan dalam pengelolaan anggaran Negara/Daerah, Politisi bisa menutupi ketergantungannya terhadap patronase, donokrasi atau apapun istilahnya dengan menerapkan meritokrasi, tranparansi dan kompetisi dalam memilih Bohir-Bohirnya.
#aksaraAbdimuda