Pengabdian yang Tersisih di Balik Rapat dan Perjalanan

Gambar sampul Pengabdian yang Tersisih di Balik Rapat dan Perjalanan

Beberapa hari lalu, saya membaca sebuah artikel tentang rendahnya serapan anggaran suatu pemerintah daerah. Sekilas angka-angka besar dalam laporan keuangan terlihat meyakinkan, miliaran rupiah dialokasikan untuk berbagai program, kegiatan, dan pelatihan. Namun di balik tumpukan dokumen dan laporan realisasi, terselip pertanyaan sederhana namun menyentuh nurani, mengapa masih banyak kegiatan masyarakat yang bernilai justru sulit mendapat dukungan?

Fenomena ini bukan hal baru. Di banyak daerah, organisasi kepemudaan, komunitas sosial, hingga lembaga pendidikan berupaya menjalankan kegiatan yang membawa dampak langsung bagi masyarakat, mulai dari pelatihan keterampilan, kegiatan lingkungan, hingga edukasi publik. Namun ketika mereka mencoba menggandeng pemerintah daerah, jawaban yang muncul sering kali sama, “Anggarannya tidak ada.”

Ironis, sebab pada saat yang sama, anggaran justru terserap untuk kegiatan yang kadang hanya bersifat seremonial. Perjalanan dinas, rapat berhari-hari, hingga in-house training yang berulang tanpa arah jelas, menjadi agenda rutin tahunan. Tak jarang pula muncul kegiatan yang disebut “studi tiru” yang dalam praktiknya lebih menyerupai kegiatan jalan-jalan berkedok pembelajaran.
Tujuannya mulia, menimba ilmu dan mencontoh praktik baik daerah lain. Namun hasilnya sering kali nihil. Laporan disusun, foto dokumentasi lengkap, tetapi tidak ada inovasi nyata yang diadopsi di lapangan. Akhirnya, kegiatan hanya menjadi ritual administratif yang menghabiskan anggaran, bukan menumbuhkan perubahan.

Padahal esensi dari studi tiru seharusnya adalah replikasi praktik baik dan penerapan nyata di daerah masing-masing. Bukan sekadar formalitas untuk memenuhi kalender kegiatan. Bila terus dibiarkan, pola seperti ini hanya memperkuat budaya “asal serap anggaran” di mana keberhasilan diukur dari seberapa banyak uang dihabiskan, bukan dari seberapa besar manfaat yang dihasilkan.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang bergerak dengan sumber daya terbatas. Komunitas sosial bekerja tanpa dukungan, lembaga non-profit mencari donasi mandiri, dan organisasi kemasyarakatan berjuang menghadirkan kegiatan positif dengan keterbatasan dana. Ironisnya, dukungan nyata justru sering datang dari perusahaan melalui program CSR (Corporate Social Responsibility), bukan dari pemerintah daerah.
Kita patut mengapresiasi peran sektor swasta, tetapi di sisi lain, hal ini seharusnya membuat kita sebagai aparatur negara merasa malu. Bagaimana mungkin pihak swasta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, sementara pemerintah yang memiliki mandat dan anggaran publik justru abai?

Faktanya, pemerintah daerah memiliki ruang yang cukup untuk bersikap adaptif melalui mekanisme revisi anggaran. Ketika ditemukan kegiatan masyarakat yang sejalan dengan misi pembangunan daerah, pemerintah seharusnya bisa melakukan penyesuaian untuk mendukung kegiatan tersebut. Fleksibilitas ini bukan pelanggaran, melainkan bagian dari tata kelola anggaran yang bijak dan responsif.
Namun, sering kali masalahnya bukan pada aturan, melainkan pada niat dan kemauan untuk berubah.

Sebagai aparatur negara, kita semestinya memahami bahwa anggaran bukan sekadar angka dalam APBD, melainkan amanah publik yang harus dikelola dengan nurani dan tanggung jawab. Anggaran adalah alat untuk mewujudkan kesejahteraan, bukan sekadar target penyerapan yang harus dicapai sebelum tahun anggaran berakhir. Kita perlu bergeser dari paradigma “menghabiskan anggaran” menuju paradigma “memberdayakan masyarakat.”

Kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, kolaborasi lintas sektor, atau inovasi pelayanan publik seharusnya mendapat ruang prioritas.
Alih-alih menghabiskan dana untuk kegiatan internal yang minim dampak, lebih baik diarahkan untuk membangun ekosistem sosial yang kuat dan partisipatif.
Bukankah tujuan akhir dari pemerintahan adalah menghadirkan manfaat bagi masyarakat yang dilayani?

Harapan besar muncul agar pemerintah mulai menata ulang orientasi penggunaan anggarannya. Evaluasi mendalam perlu dilakukan, bukan hanya untuk memastikan serapan tinggi, tetapi juga memastikan output dan outcome yang jelas.

Setiap rupiah yang dibelanjakan seharusnya bisa ditelusuri manfaatnya, siapa yang merasakan dampaknya, apa yang berubah, dan bagaimana keberlanjutannya.
Tanpa itu semua, anggaran hanya menjadi siklus tahunan yang diulang tanpa makna.

Perlu ada keberanian untuk berubah. Keberanian untuk menolak kegiatan yang tidak bermakna, meski sudah “biasa dilakukan.” Keberanian untuk mengalokasikan dana kepada inisiatif yang benar-benar berakar di masyarakat. Dan keberanian untuk melihat bahwa kolaborasi bukan ancaman, melainkan kekuatan baru dalam pemerintahan modern.

Perubahan memang tidak bisa instan. Tetapi, seperti kata pepatah, perubahan besar selalu berawal dari gagasan kecil. Dan mungkin, gagasan kecil itu dimulai dari kesadaran kita sendiri, bahwa pengabdian bukan diukur dari berapa banyak perjalanan dinas yang dilakukan, tetapi dari seberapa besar manfaat yang kita hadirkan bagi masyarakat.

Semoga kita semua bisa semakin tersadar. Bahwa anggaran publik adalah milik rakyat, dan setiap pengeluarannya harus kembali kepada rakyat, bukan hanya dalam bentuk laporan kegiatan, tetapi dalam wujud nyata kesejahteraan dan kemajuan bersama.

Bagikan :