Pendidikan Antikorupsi: Dari Ruang Kelas ke Kehidupan Nyata

Gambar sampul Pendidikan Antikorupsi: Dari Ruang Kelas ke Kehidupan Nyata

Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Berbagai regulasi, lembaga, hingga operasi penindakan telah dijalankan, namun praktik korupsi tetap saja bermunculan dengan wajah yang beragam. Ironisnya, Indonesia pada 2024 meraih skor 37 dari 100 pada Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perceptions Index (CPI) yang dirilis Transparency International. Angka ini menunjukkan bahwa kita masih tertinggal dibanding rata-rata global sebesar 42,66 maupun Asia Pasifik sebesar 44,48.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa kasus korupsi terbesar dalam lima tahun terakhir justru banyak melibatkan pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pengusaha. Praktik ini terjadi mulai dari pungutan liar dan jual beli jabatan di daerah hingga suap perizinan, korupsi bansos, dan proyek infrastruktur di pusat. Fenomena ini memperlihatkan bahwa korupsi di Indonesia bersifat sistemik yang merambah pemerintahan, politik, hingga dunia usaha.

Dalam kondisi yang seolah tanpa ujung ini, pendidikan antikorupsi sejak dini kerap disebut sebagai solusi jangka panjang. Gagasannya sederhana, yaitu membentuk pola pikir dan karakter generasi muda agar menolak segala bentuk kecurangan sejak duduk di bangku sekolah. Dengan cara ini diharapkan lahir generasi berintegritas untuk membangun tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang lebih bersih.

Namun, tantangan terbesar muncul ketika pendidikan antikorupsi hanya berhenti pada tataran formalitas. Banyak sekolah dan universitas memang telah memasukkannya ke dalam kurikulum, bahkan ada yang mengklaim memiliki modul khusus. Sayangnya, implementasi di lapangan sering kali terbatas pada hafalan konsep, diskusi normatif, atau seminar seremonial. Akibatnya, pesan moral yang seharusnya menumbuhkan integritas justru kehilangan makna karena tidak terhubung dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Ambil contoh praktik mencontek. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap lumrah di dunia pendidikan. Padahal perilaku ini merupakan salah satu bentuk kecurangan (fraud) yang berpotensi menumbuhkan budaya permisif terhadap tindak korupsi di masa depan. Kebiasaan mencari jalan pintas tanpa usaha yang jujur di sekolah sangat mungkin terbawa ke dunia kerja dalam wujud lain, seperti manipulasi laporan, gratifikasi, atau penyalahgunaan kewenangan.

Lembaga pendidikan yang berani menindak tegas kecurangan, baik mencontek maupun plagiarisme, sejatinya sedang membangun fondasi antikorupsi yang nyata. Sejumlah perguruan tinggi telah menetapkan sanksi berat, mulai dari pemberian nilai 0 pada mata pelajaran, kegagalan seluruh kuliah pada semester berjalan, hingga pembatalan status mahasiswa atau drop out. Bahkan ada kampus yang menegaskan bahwa ijazah yang telah diterbitkan dapat dicabut apabila lulusan terbukti melakukan tindak korupsi di kemudian hari. Langkah-langkah ini memang keras, tetapi justru menjadi pendidikan nyata yang mengingatkan bahwa integritas memiliki konsekuensi yang tidak bisa ditawar.

Kebijakan semacam ini menegaskan bahwa pendidikan antikorupsi tidak boleh berhenti sebatas materi di ruang kelas. Ia harus diwujudkan melalui aturan yang konsisten, budaya akademik yang menjunjung tinggi kejujuran, dan penegakan sanksi yang jelas terhadap pelanggaran. Jika setiap sekolah mampu menumbuhkan budaya integritas, maka akan muncul penerus bangsa yang cerdas secara akademik dan berani menolak segala bentuk kecurangan. Integritas pun akhirnya dipandang bukan sekadar syarat kelulusan, tetapi bekal utama untuk menjalani hidup dengan bermartabat.

Indonesia tidak kekurangan hukum, lembaga, atau operasi penindakan. Kebutuhan yang paling mendesak justru perubahan budaya di masyarakatnya, dimulai dari keberanian menolak mencontek, kejujuran dalam ujian, hingga konsistensi menegakkan aturan di sekolah dan kampus. Pendidikan antikorupsi hanya akan bermakna apabila dijalankan dengan kesungguhan, bukan sekadar formalitas administratif.

Pada akhirnya, integritas bukanlah sekadar syarat untuk lulus ujian, melainkan syarat untuk menjalani hidup dengan bermartabat. Pendidikan antikorupsi tidak boleh berhenti pada teori semata. Tanpa itu, segala upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadi lingkaran sia-sia yang terus berulang dari generasi ke generasi.

Bagikan :