Pada sosok pemimpin kita dapat mengambil keteladanan. Pemimpin yang baik, sabar, adil, dan segala baik yang ada pada diri seorang pemimpin, biasanya terwakili oleh satu kata yakni bijaksana. Mengisahkan pemimpin bijaksana laksana oase di tengah kekeringan figur pemimpin yang diidamkan oleh khalayak. Segala aspek kehidupan pastinya membutuhkan sosok pemimpin, bahkan jika ada tiga orang yang bersama-sama pergi ke suatu tujuan hendaknya salah satu diberi tampuk amanah sebagai pemimpin perjalanan. Demikian pula dalam dunia pendidikan, satuan pendidikan berarti sekolah sebagai lingkup paling dasar dalam pendidikan tentu juga memerlukan sosok pemimpin yang kita kenal dengan Kepala Sekolah. Salah-salah menunjuk pemimpin, sekolah bisa lama kelamaan menurun karena sepi peminat atau regrouping jika tak hendak dikatakan sekolah yang mati.
Maka mengisahkan sosok inspiratif Kepala Sekolah memberikan saya semangat tersendiri agar sekolah-sekolah, khususnya Sekolah Dasar Negeri tak lantas ditinggalkan peminat. Pilu rasanya melihat banyak Sekolah Dasar negeri yang di-regrouping karena tak lagi menjadi pilihan masyarakat. Tentu, Kepala Sekolah bukan satu-satunya faktor dari mulai ditinggalkannya sekolah-sekolah tersebut. Namun, apa yang saya tuliskan ini semoga meginspirasi segenap pembaca, khususnya sejawat yang mengabdi di Sekolah Dasar negeri. Beginilah kisahnya.
Saya akan mengajak para pembaca menuju ke sebuah daerah bernama Jenar, salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Setiap desa di kecamatan Jenar biasanya terdapat antara tiga sampai empat SD Negeri, mulai awal tahun 2019 saya mengabdi di SDN Ngepringan 1 Jenar. Kira-kira berjarak 40 km dari pusat Kabupaten Sragen. Dari deskripsi singkat ini, pastinya pembaca sudah bisa menebak letak sekolah tempat pengabdian saya. Ya, jauh dari hiruk pikuk keramaian, melewati ladang jagung dan tebu serta beberapa bagian jalan yang tidak mulus untuk dilewati.
Sebagai guru yang sebelumnya mengabdi di dua sekolah dasar di sekitar kota Surakarta, saya tak bisa menampik jika mengalami cultural shock pada saat awal mengabdi di Kecamatan Jenar. Sukurlah, Bapak Kepala Sekolah di SDN Ngepringan 1 Jenar pada saat itu memberi kami, ya, saya dengan dua teman lain sebagai guru CPNS pada saat itu, motivasi dan dukungan penuh agar kami bisa beradaptasi dengan baik, khususnya bagi saya sendiri dikarenakan saya lepas mengajar dari luar kabupaten Sragen. Nasihat pertama dari beliau yang saya ingat kira-kira seperti ini,”sebagai guru dan juga istri serta ibu di rumah mestilah keduanya berjalan sama-sama baik, jangan sampai berangkat ke sekolah masih meninggalkan kewajiban di rumah yang belum selesai, sebaliknya sampai di rumah jangan membawa masalah yang ada di sekolah.” Selama saya menjadi guru di sekolah-sekolah sebelumnya, dari tahun 2013 higga 2018, saya belum pernah menemui Kepala Sekolah yang memberi nasihat seperti beliau.
Seiring berjalan waktu, kemudian saya sering mendengar jika Sekolah Dasar Negeri yang sebelumnya beliau pimpin pasti selalu meraih keberhasilan. Dari sekolah yang tadinya terancam regrouping menjadi tidak dikarenakan bertambahnya peminat, atau sekolah yang tadinya memang sudah mapan kemudian berhasil menjadi juara dalam perlombaan tertentu. Pendekatan humanis yang beliau terapkan, nampaknya membuat betah Bapak/Ibu guru yang mengabdi di sekolah yang beliau pimpin dan terutama bisa melejitkan potensi yang mereka miliki. Sebagaimana yang dikatakan teori humanistik jika teori belajar apapun itu baik dan dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu pencapaian aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang belajar secara optimal (Assegaf, 2011).
Lingkungan pendidikan tak bisa diserupakan dengan iklim perusahaan. Terdapat garis batas yang jelas membedakan keduanya. Di perusahaan, para buruh tinggal dan memang harus melaksanakan kebijakan pimpinan yang sifatnya top down. Jika kebijakan yang bersifat top down seperti di perusahaan diterapkan di satuan pendidikan, konsekuensinya iklim belajar dapat menjadi padam. Lagi-lagi saya mesti bersyukur, jika beliau sebagai Kepala Sekolah pada saat itu mengambil kebijakan dengan sifat bottom up, mendengar saran, masukan, keluh dan kesah dari para guru atau warga sekolah lain. Dengan kebijakan yang bersifat bottom up ini para guru merasa sangat didengarkan dan dihargai berbagai ide gagasannya. Seringkali guru juga menjadi sulihsarira (narahubung) antara orang tua atau wali murid yang hendak memberikan masukan untuk kemajuan sekolah.
Dengan kebijakan beliau yang bersifat bottom up ini akhirnya terbangun sebuah mushola yang layak digunakan untuk salat warga sekolah dengan sumber swadaya masyarakat. Terbukti jika kebijakan beliau juga mendapat penerimaan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi yang baik antara sekolah dengan masyarakat tak bisa diabaikan begitu saja. Jika Kepala Sekolah tak dapat membangun jalinan komunikasi yang baik tentunya akan berdampak negatif bagi sekolah sendiri. Dengan asam garam mengabdi di dunia pendidikan hingga akan purna pada tahun 2024 ini beliau sudah paham betul bagaimana membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat sekitar sekolah yang kultur “pedesannya” masih sangat kuat. Pada akhirnya dari komunikasi yang baik tersebut akan menjadi kolaborasi yang sempurna dan muaranya adalah sinergitas yang berjalan kontinyu.
Sebagai pemimpin memang harus jeli melihat potensi orang-orang yang dipimpinnya, dalam hal ini beliau dapat memberikan porsi job desk tambahan di luar tugas pokok mengajar dengan tepat sesuai prinsip manajemen yang dikenal luas berbunyi the right man in the right place. Meskipun guru dan tendik di Sekolah Dasar Negeri dapat berbilang dengan jari, bukan berarti hal yang mudah untuk membangun kekompakan, kekeluargaan, dan soliditas di dalamnya. Nah, dengan gaya pendekatan yang demikian saya rasa membuat kekompakan guru di tempat saya mengajar bertumbuh dengan baik. Waktu-waktu kami selain mengajar dapat terisi dengan baik, minim me-ghibah atau mencari-cari kesalahan sejawat. Beliau juga mulai mengkader sejawat saya yang lebih dulu menjadi ASN dan lebih dulu mengabdi di Sekolah Dasar tersebut agar suatu ketika siap menjadi Kepala Sekolah jika sewaktu-waktu ditunjuk oleh pemangku kepentingan terkait.
Peningkatan kompetensi dan pengoptimalan potensi individu guru tak luput dari perhatian beliau, dengan selalu mendukung dan memberi arahan tentang kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kompetensi seperti seminar, workshop, Bimtek dan lain-lainnya. Selain itu, guru-guru yang memiliki kompetensi tertentu juga selalu didukung untuk mengoptimalkannya. Contohnya adalah saya sendiri yang selalu didukung mengikuti lomba atau kompetisi yang berkaitan dengan literasi, khususnya dalam hal karya tulis. Saya memetik hasilnya dengan masuk sepuluh besar lomba guru menulis tingkat nasional dari harian Republika pada tahun 2022.
Memang sosok inspiratif yang saya ceritakan ini tidak seperti guru-guru di daerah 3T yang begitu heroik untuk bisa sampai ke sekolah, menyusuri sungai atau jalanan yang terjal. Bukan. Sekolah kami boleh dikata memang sekolah pinggiran, tetapi untuk mencapai sekolah masih dapat dicapai dengan transportasi darat. Saya ingin mengetengahkan pendekatan humanis yang beliau terapkan dapat membuat sinergitas yang sangat baik pada trilogi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yaitu sinergi antara sekolah, guru dan murid, serta masyarakat.
Pada akhirnya beliau meninggalkan sekolah tempat saya mengabdi karena harus berpindah ke sekolah yang lebih membutuhkan tangan dinginnya. Selama dua tahun, dari 2019-2021 bekerjasama dengan beliau saya dan teman-teman ASN baru di sekolah tersebut merasakan keharmonisan dan dedikasi yang luar biasa. Beliau adalah Bapak Sudibya Basuki, S.Pd. SD yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah SDN Dawung 1 Kecamatan Jenar dan akan purna tugas pada tahun 2024 ini. Semoga tulisan ringkas ini dapat menginspirasi pembaca bahwa kompetisi memang betul dalam batas tertentu harus tetap ada, akan tetapi kolaborasi adalah kunci majunya pendidikan saat ini. Sejawatmu bukan sainganmu, tetapi adalah teman diskusi, teman untuk bersama-sama memajukan generasi menuju Indonesia emas 2045. Pasti kita bisa.