Jalan mulia untuk menjadi abdi negara yang berintegritas bermula dengan sadar diri. Ketika integritas sejati hanya dapat diwujudkan dengan proses yang panjang dan kesabaran yang luas. Hanya dengan begitu, keinginan untuk sesegera mungkin mempertebal kantong dan memperkaya diri dapat dihindari.
Terinspirasi dari lagu “Jadi guru jujur berbakti memang makan hati” karya Iwan Fals, menjadi pegawai negeri yang memegang teguh nilai kejujuran dan mengabdi sepenuh hati memang terasa berat. Hal itu semakin memilukan jika lingkungan tempat bekerja malah mempraktikkan tindakan korupsi, kolusi, hingga nepotisme. Harapan untuk berkembang semakin redup apabila sistem merit hanya sebatas formalitas di atas kertas dan kinerja hanya dinilai berdasarkan asal “Bapak (re: pimpinan) Senang”.
Sebagai pilar penting dalam menjaga persatuan bangsa, menjadi pegawai negeri merupakan amanah luhur yang berkorespondensi dengan berjalannya suatu pemerintahan yang baik. Kinerja maksimal dapat dicapai jika timbal balik yang diperoleh pegawai memuaskan. Di sinilah sering terjadi celah yang memisahkan antara idealisme untuk mengabdi dengan segenap jiwa raga dan realitas kantor yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur tersebut.
Padahal, setiap pegawai negeri telah dibekali nilai-nilai Ber-Akhlak (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) yang dengan nilai itu optimalnya kinerja bisa digapai. Namun, fenomena segelintir oknum yang mengabaikan nilai tersebut dapat menjadi efek domino. Pegawai lain, terutama mereka yang baru, bisa ikut terjebak dengan sistem yang membudaya dan pada akhirnya melunturkan integritasnya.
Dalam sistem semacam itu, pegawai yang jujur menjadi sulit untuk ditemukan. Korupsi menjadi kegiatan sepele karena telah menjadi budaya. Masuk terlambat bukan lagi persoalan. Meraup keuntungan dari perjalanan dinas dianggap normal. Bahkan, memalsukan tanda tangan adalah hal yang wajar. Pegawai yang tidak patuh dengan sistem malah dikucilkan.
Menjadi pegawai negeri yang memegang idealisme menjadi semakin sulit ketika kepentingan pribadi dan golongan lebih diutamakan daripada kepentingan negara. Jalan perjuangannya semakin terjal karena semakin teguh dengan idealismenya, maka semakin sulit pula baginya untuk diberi akses dalam mengembangkan karier.
Meminjam pendapat yang dikemukakan oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant, bahwa integritas seorang pegawai haruslah bersumber dari kehendak baik yang menjadi bahan bakarnya dalam bertindak demi melaksanakan kewajiban moral, yakni meyakini bahwa prinsip kejujuran harus menjadi landasan dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara terlepas dari bobroknya sistem.
Maka, sudah saatnya menjadi pegawai negeri tidak boleh dipandang hanya sebagai bentuk pengabdian demi nusa bangsa. Pegawai juga merupakan profesi yang butuh kesejahteraannya dipenuhi secara layak. Jika menjadi pegawai jujur dan berbakti adalah jalan yang harus ditempuh, maka negara harus hadir untuk menjaga marwah tersebut tetap terjaga.
Negara harus hadir untuk memutus mata rantai sistem buruk yang telah menjamur di birokrasi. Demi menjaga semangat dan asa para pegawai yang masih menyimpan cita-cita luhur di sanubarinya.
Akar masalah sistem buruk yang terus menjamur di birokrasi pegawai negeri terletak pada keberadaan pegawai-pegawai yang membiarkan praktik korupsi, kolusi, hingga nepotisme menjadi hal yang lumrah. Di tengah semangat ingin menuju Indonesia Emas 2024, menjadi pegawai negeri yang berintegritas adalah tantangan jika sistemnya tidak segera diperbaiki.
Apabila sistemnya tidak segera diperbaiki, percayalah pegawai negeri yang jujur berbakti memang hanya akan “makan hati”. Pegawai negeri yang berintegritas mungkin hanya menjadi impian yang akan dirindukan Ibu Pertiwi.