Pegawai Ngobjek Sendiri (PNS) Bisa Apa?

Gambar sampul Pegawai Ngobjek Sendiri (PNS) Bisa Apa?

#ASNPunyaCerita

Sore itu menunjukkan pukul 16.30 WIB. Ali, seorang Pegawai Negeri Sipil di Instansi Pemerintah Pusat, bergegas memacu motornya menuju Stasiun Kereta. Kondisi jalan yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor tidak menyurutkan niatnya untuk segera sampai di Stasiun. Sesampainya di Stasiun, Ali segera memarkir motor kesayangannya sembari menyapa Juru Parkir yang tersenyum simpul. Tak lama setelah itu, Ali mengambil telepon genggam dan menyampaikan pesan singkat kepada istrinya, "Aku berangkat ngajar bimbel dulu ya. Salam buat si adek!" tulis Ali. Sejurus kemudian, Ali setengah berlari menuju kereta arah Depok yang penuh sesak. Hal tersebut menjadi rutinitas Ali setiap sore, berkejaran dengan waktu demi tambahan uang saku dan berbagi ilmu.

Ali hanyalah contoh kecil seorang kepala keluarga yang berprofesi sebagai PNS, tetapi harus membagi waktunya untuk bekerja di Pemerintahan sekaligus memberikan pengajaran di luar Instansi Pemerintahan. Kedua kondisi tersebut mengisyaratkan adanya pengabdian, baik sebagai pegawai maupun sebagai pengajar. Akan tetapi, di lain sisi, kondisi tersebut mengisyaratkan adanya kekurangan, terutama dalam hal pemenuhan kesejahteraan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa PNS memiliki ketimpangan remunerasi. Bagi PNS yang memiliki tunjangan kinerja yang cukup, kondisinya tidak sama dengan apa yang dialami oleh Ali. Namun demikian, bagi PNS yang memiliki tunjangan kinerja yang belum cukup, ngobjek di luar Instansi merupakan salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan hidup yang relatif meningkat. Kondisi tersebut jelas akan mengganggu kinerja pegawai secara individu maupun tim.

Remunerasi tidak bisa dipisahkan dari kinerja dan motivasi. Dalam hal ini, kinerja merupakan tingkat keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu tugas dan kemampuan seseorang dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Gibson et al, 2006). Kinerja tersebut bergantung pada kombinasi usaha, kemampuan, dan keterampilan (Kreitner dan Kinicki, 2014). Untuk itu, salah satu indikator untuk mengukur kinerja adalah produktivitas, yaitu tingkat pengukuran antara hasil yang telah dicapai dengan masukan yang dikeluarkan. Semakin tinggi produktivitas suatu organisasi maka semakin baik kinerja yang dihasilkan (Reid dan Smith, 2000).

Apabila produktivitas terganggu, maka kinerja turut merasakan hal yang sama. Kondisi yang dialami oleh Ali sedikit banyak akan mengganggu produktivitas yang secara akumulasi turut memberikan dampak bagi Instansi, terutama dalam proses penyusunan kebijakan yang di dalamnya terdapat peran Ali. Namun demikian, Ali tidak memiliki pilihan lain guna mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehingga hal tersebut terpaksa dilakukan.

Faktor penentu permasalahan kinerja salah satunya adalah motivasi, yaitu stimulasi terhadap suatu aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan (Kreitner dan Kinici, 2014). Motivasi merupakan proses dasar psikologi yang menunjukkan bahwa suatu organisasi memiliki sifat kompetitif secara natural melalui persepsi, kepribadian, sikap, dan pembelajaran. Motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Khusus untuk motivasi ekstrinsik yang bersumber dari eksternal dan mempengaruhi perilaku seseorang, motivasi ini berkaitan dengan berbagai perilaku yang tujuan tindakannya berada di luar diri seseorang namun masih melekat pada tindakan yang dilakukan (Guay, Vallerand, dan Blanchard, 2000).

Motivasi ektrinsik berhubungan dengan hal-hal eksternal dari pekerjaan, seperti kondisi kerja, keamaanan kerja, dan gaji. Pemberian gaji, kompensasi, dan benefit  yang baik dianggap sebagai salah satu kebijakan untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi (Akanbi, 2011). Motivasi ekstrinsik ini menurut Herzberg (1966) dalam Teck Hong dan Waheed (2011) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

  1. Keamanan Kerja, yaitu persepsi mengenai peluang, kompensasi, mutasi, hingga pemutusan hubungan kerja. Keamanan kerja juga terkait dengan kenyamanan yang dirasakan karyawan dalam lingkungan kerja.
  2. Gaji, yaitu sejumlah kompensasi yang diterima karyawan, meliputi upah, tunjangan, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan keinginan dan keterikatan pada organisasi serta merasa cukup dengan kompensasi yang diberikan organisasi atau perusahaan.
  3. Kondisi Kerja, yaitu keadaan, suasana, dan situasi dalam lingkungan kerja yang membuat karyawan merasa nyaman dan puas dalam bekerja.

Remunerasi pada dasarnya merupakan salah satu bagian yang menentukan motivasi pegawai dan berkontribusi pada peningkatan kinerja. Untuk itu, diperlukan peninjauan kembali terhadap remunerasi yang diterima oleh PNS dengan didasari atas indikator kinerja dan motivasi sehingga rencana kerja pemerintah dan target-target yang hendak dicapai tidak meleset hanya karena PNS tidak produktif.

Pada akhirnya, apa yang terjadi pada Ali hendaknya menjadi pembelajaran bersama bahwa semangat mengabdi hendaknya berbanding lurus dengan perbaikan sistem remunerasi dan mengurangi ketimpangan tunjangan antar instansi guna meningkatkan kesejahteraan PNS. Perbaikan tersebut cepat atau lambat akan meningkatkan motivasi PNS dan menstimulus peningkatan produktivitas yang berkontribusi pada peningkatan output maupun outcome. Kebijakan yang parsial dan minim manfaat perlahan akan berkurang, digantikan oleh kebijakan yang akan berdampak besar bagi masyarakat. Setidaknya, untuk menyongsong Indonesia Emas 2045 diperlukan perbaikan sistem SDM Pemerintahan yang dimulai dari perbaikan remunerasi sehingga proses menuju Indonesia Emas 2045 bukan sekedar hisapan jempol belaka.

Daftar Acuan

Akanbi, P. A. (2011). Influence of extrinsic and intrinsic motivation on employees’ performance. Retrieved October7, 2011.

Armstrong, M. (2006). Performance management: Key Strategies and Practical Guidelines. London: Kogan Page.

Bangun, Wilson. (2012). Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Erlangga.

Bernardin, H. John, & Joyce E.A Russel. (2003). Human resource management (An Experimental Approach International Edition). Singapore: Mc.Graw Hill Inc.

Gibson. (2006). Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga

Guay, F., Vallerand, R. J., & Blanchard, C. (2000). On the assessment of situational intrinsic and extrinsic motivation: The Situational Motivation Scale (SIMS). Motivation and emotion24(3), 175-213

Herzberg, F., Snyderman, B. B., & Mausner, B. (1966). The Motivation to Work: 2d Ed. J. Wiley

Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. (2014). Perilaku Organisasi Edisi 9. Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Bagikan :