Patronase vs. Profesionalisme: Perjuangan untuk Birokrasi yang Bersih

Gambar sampul Patronase vs. Profesionalisme: Perjuangan untuk Birokrasi yang Bersih

Mengapa upaya membangun birokrasi yang bersih sering terasa seperti mendayung perahu melawan arus sungai yang kuat? Antusiasme yang dipupuk oleh komitmen anti-korupsi sering kali sirna ketika dihadapkan dengan realitas politik. Peringatan Hari Anti-Korupsi Internasional (HAKORDIA) 2025 menjadi cerminan nyata dari kecemasan ini. Di satu sisi, saya bangga melihat lembaga tempat saya bekerja, Kementerian Agama, diakui atas inovasi konkretnya dalam pendidikan anti-korupsi berdasarkan nilai-nilai agama. Di sisi lain, saya tidak dapat mengabaikan laporan analitis dari koalisi masyarakat sipil yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi nasional sebenarnya "berada pada titik negatif" (ICW dkk., 2025).

Saya tidak ingin sekadar menggambarkan suatu fenomena atau mengulang teori tata kelola pemerintahan yang baik. Saya ingin mengartikulasikan pandangan bahwa membangun birokrasi yang bersih adalah upaya yang tidak boleh parsial. Ini seperti pertempuran di dua arena: arena teknis-instrumental (seperti sistem pengaduan, pelatihan, SOP) dan arena politik-struktural (seperti sistem rekrutmen politik, dinamika kekuasaan, dan budaya patronase). Kegagalan sering terjadi karena kita hanya fokus pada yang pertama, berharap yang kedua akan berubah dengan sendirinya. Mari kita mendorong para praktisi birokrasi, sesama pegawai negeri sipil (ASN), dan pembuat kebijakan untuk melihat kedua area ini secara holistik dan mengambil peran aktif dalam memengaruhi arena politik-struktural, karena di sinilah akar dari banyak masalah birokrasi berada.

Birokrasi Bersih

Prinsip-prinsip birokrasi bersih dalam literatur Weberian klasik menekankan rasionalitas, hierarki, dan impersonalitas. Dalam konteks kontemporer, prinsip-prinsip ini diterjemahkan menjadi sistem meritokrasi, transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Reformasi birokrasi di Indonesia pasca-1998 sebagian besar telah mengadopsi prinsip-prinsip ini. Kita memiliki Undang-Undang ASN No. 5 Tahun 2014 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2023, yang menjunjung tinggi nilai profesionalisme, Undang-Undang tentang Transparansi Informasi Publik, dan berbagai peraturan tentang gratifikasi dan konflik kepentingan.

Namun, masalahnya terletak pada kesenjangan implementasi. Penelitian oleh Dwiyanto dkk. (2022) menunjukkan bahwa meskipun kerangka peraturan sudah memadai, implementasinya sangat bergantung pada kepemimpinan politik dan konteks lokal. Di sinilah analisis dari koalisi masyarakat sipil tentang HAKORDIA 2025 menjadi sangat relevan. Mereka menyoroti bukan kurangnya peraturan, tetapi pelemahan sistemik yang membuatnya tidak efektif. Tiga pola yang mereka identifikasi: normalisasi konflik kepentingan, sentralisasi kekuasaan, dan patronase yang secara langsung menyerang inti dari prinsip-prinsip birokrasi yang bersih: netralitas dan profesionalisme (ICW dkk., 2025).

Menganalisis Konflik Kepentingan dan Patronase

Mari kita ambil contoh konkret yang disorot dalam siaran pers: pembentukan kabinet dengan banyak jabatan rangkap dan program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang dianggap sebagai alat patronase. Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi skalanya yang disorot:

  1. Dari Atas ke Bawah. Praktik jabatan rangkap dan penempatan rekan dekat (kronisme) di tingkat kabinet mengirimkan sinyal yang sangat kuat ke semua tingkatan birokrasi. Sinyalnya adalah: "Loyalitas dan kedekatan lebih penting daripada kompetensi semata." Dalam teori organisasi, ini menciptakan apa yang disebut pluralitas norma, di mana norma formal (berdasarkan aturan) bersaing dengan norma informal (berdasarkan patronase) (Dartanto, 2023). Pegawai negeri sipil di tingkat menengah dan bawah akan mempertimbangkan mana yang lebih "menguntungkan" bagi karier mereka. Seringkali, norma informal yang berlaku.

  2. Patronase sebagai "Sistem Bayangan". Program-program seperti MBG, dengan anggaran triliunan rupiah, menciptakan peluang pencarian rente yang signifikan. Ketika pengelolaannya melibatkan yayasan yang berafiliasi dengan partai politik tertentu (ICW dkk., 2025), yang tercipta bukanlah sistem pelayanan publik yang efisien, melainkan "sistem bayangan" distribusi sumber daya berdasarkan logika politik timbal balik. Birokrasi formal, dengan SOP dan lelangnya, hanya berfungsi sebagai kedok untuk sistem informal semata. Pegawai negeri sipil yang ingin mempertahankan integritasnya akan terjebak. Sekalipun menolak berarti melawan arus kekuasaan, menerima berarti mengkhianati sumpah jabatan mereka.

Demotivasi dan Erosi Etika Profesional

Saya melihat dampak langsung terhadap mentalitas dan kinerja pegawai negeri sipil, dalam hal:

  1. Demotivasi Berbasis Prestasi pada Pegawai Negeri Sipil: Pegawai negeri sipil yang berprestasi tinggi, kompeten, dan taat aturan merasa karier mereka stagnan. Mereka melihat individu yang kurang kompeten tetapi memiliki koneksi yang baik justru maju lebih cepat. Hal ini melemahkan motivasi intrinsik dan mendorong terjadinya "brain drain" (migrasi intelektual yang tidak bertanggung jawab) dan mereka yang terbaik memilih untuk pasif atau pindah ke sektor lain.

  2. Dilema Etika Sehari-hari: Pegawai negeri sipil di garis depan, seperti mereka yang mengelola anggaran atau perizinan, terus-menerus menghadapi tekanan dari atasan atau jaringan politik untuk melonggarkan peraturan. Pelatihan integritas menjadi abstrak ketika dihadapkan pada pilihan yang sulit, menyerah pada tekanan atau mempertaruhkan posisi mereka.

  3. Melemahnya Kepercayaan Internal: Ketika promosi dan penempatan dianggap tidak adil, kepercayaan pada lembaga dan para pemimpinnya menurun. Kolaborasi dan inovasi menjadi sulit karena suasana saling curiga dan persaingan yang tidak sehat.

Dari Defensif ke Proaktif, dari Internal ke Sistemik

Jadi, haruskah kita menyerah? Tentu saja tidak. Tetapi strateginya harus diperluas. Upaya saat ini cenderung defensif dan internal dalam menegakkan peraturan yang lebih ketat, memasang CCTV, dan meningkatkan pelatihan. Ini perlu, tetapi tidak cukup. Kita membutuhkan strategi proaktif dan sistemik.

  1. Memperkuat "Benteng" Internal dengan Pendekatan Nilai yang Kuat. Inisiatif Kementerian Agama dengan buku anti-korupsi antaragama contoh cemerlang. Membangun karakter individu berdasarkan nilai-nilai transenden yang lebih kuat daripada sekadar rasa takut terhadap hukum. Program semacam ini perlu dikembangkan untuk semua pegawai negeri sipil, bukan hanya guru, dengan membahas kasus-kasus nyata dan dilema etika birokrasi. Tujuannya adalah untuk menciptakan komunitas yang saling mendukung dengan integritas.

  2. Berkolaborasi dengan Ekosistem Anti Korupsi. Birokrasi tidak boleh terkurung di menara gading. Kemitraan strategis dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan organisasi masyarakat sipil seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) atau Transparency International Indonesia harus dikembangkan bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai sumber pembelajaran dan pengawasan eksternal yang independen. Laporan masyarakat sipil harus dilihat sebagai alat diagnostik, bukan serangan.

  3. Advokasi untuk Kebijakan Birokrasi Bersih dari Dalam. Para profesional pegawai negeri sipil, terutama mereka yang berada di eselon menengah ke atas yang memahami seluk-beluk teknis dan isu-isu kunci, harus secara aktif mengadvokasi birokrasi yang netral dan profesional dalam proses pembuatan kebijakan. Misalnya, advokasi untuk Undang-Undang yang lebih ketat tentang Larangan Memegang Jabatan Politik dan Pegawai Negeri Sipil, atau perlindungan hukum yang lebih kuat bagi pelapor pelanggaran di dalam pemerintahan. Kita harus menjadi kelompok profesionalisme birokrasi.

  4. Transparansi Radikal sebagai Senjata. Mempercepat dan memfasilitasi akses publik terhadap informasi, khususnya mengenai penganggaran, perekrutan, dan pengadaan barang dan jasa. Teknologi seperti portal data terbuka interaktif harus dimanfaatkan. Ketika proses transparan, ruang untuk manipulasi informal berkurang. Pegawai negeri sipil juga akan lebih terlindungi karena keputusan mereka bertanggung jawab kepada publik.

Birokrasi Bersih adalah Pilihan Politik yang Harus Diperjuangkan

Pada akhirnya, membangun birokrasi yang bersih bukanlah sekadar proyek administratif teknis. Ini adalah pilihan politik tentang bagaimana negara harus dijalankan. Apakah berdasarkan kekuatan uang dan jaringan, atau berdasarkan supremasi hukum dan kompetensi. Sebagai pegawai negeri, kita tidak bisa bersikap apolitis dalam arti pasif terhadap pilihan besar ini. Kita harus terlibat secara politik- bukan politik partisipatif, tetapi terlibat secara politik dalam perjuangan untuk tata kelola pemerintahan yang baik.

Prestasi Kementerian Agama di HAKORDIA 2025 membuktikan bahwa masih ada ruang untuk pekerjaan (Layanan Kemenag Berdampak). Namun, praktik patronase dan konflik kepentingan yang merajalela yang dikritik tajam oleh masyarakat sipil, mengingatkan kita bahwa perjuangan belum berakhir. Tantangan terbesar sekarang bukanlah merancang sistem yang sempurna di atas kertas, tetapi mengkonsolidasikan kekuatan para pendukung birokrasi yang bersih, baik di dalam birokrasi itu sendiri, di lembaga pengawasan, di dunia akademis, atau di masyarakat sipil. Membangun kepercayaan kembali secara kolektif untuk memengaruhi arena politik-struktural, yang mengutamakan netralitas, profesionalisme, dan kinerja.

Kita tidak bisa hanya menjadi objek reformasi. Kita harus menjadi subjek dan aktor utamanya. Hanya dengan cara itulah cita-cita birokrasi yang bersih yang melayani kepentingan publik, bukan kelompok tertentu, dapat menjadi kenyataan.

*Alumni Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Aparatur Sipil Negara (ASN) Tahun 2018

Bagikan :