Paradoks FOMO Digital Instansi Pemerintah: Ketika Birokrasi Takut Ketinggalan Konten

Gambar sampul Paradoks FOMO Digital Instansi Pemerintah: Ketika Birokrasi Takut Ketinggalan Konten

Di sebuah ruang rapat ber-AC 18 derajat, sekelompok pejabat berkumpul ditemani nasi kotak, membahas hal yang sangat strategis: “Eh, sudah bikin konten ini belum?”
Bukan bahas APBD, bukan bahas inovasi pelayanan publik, bukan pula membahas nasib warga yang kesulitan mengakses layanan online. Yang dibahas adalah gimana caranya instansi kita terlihat kekinian. Karena tetangga sebelah udah viral duluan.

Inilah dia, selamat datang di: FOMO (Fear of Missing Out) digital ala birokrasi. Fenomena instansi pemerintah yang lebih takut ketinggalan tren ketimbang kehilangan kepercayaan publik. Takut dibilang gaptek, takut dibilang tidak inovatif, tapi tidak takut kalau akunnya sepi interaksi.

Semua Harus Digital, Tapi Jangan Tanya Kenapa

Hari ini, semua harus serba digital. Apa pun kegiatannya, pokoknya ada “digital”-nya. Mau launching program tanam pohon? Tambahkan embel-embel "berbasis digital". Mau sosialisasi perda? Pakai infografis warna-warni dan lagu remix agar masuk FYP. Tiba-tiba semua pengin punya AI, chatbot, podcast, bahkan kanal YouTube. Padahal, admin medsos-nya aja masih rangkap-rangkap: jadi reporter, nulis caption, bikin kopi, dan nyalain LCD projector.

Dan lucunya, setelah bikin akun di semua platform, muncul masalah klasik: "Kok nggak ada yang ngelike, ya?" Ya gimana, Pak, kalau isinya cuma sambutan, berita seremonial, dan jargon-jargon yang bahkan saya sendiri bingung artinya.

Latah Digitalisme: Ketika Teknologi Jadi Pajangan

Fenomena ini bukan sekadar soal ingin eksis. Ini sudah menjurus ke gejala digitalisme instan: semua pengin cepat digital tanpa proses refleksi. Yang penting keren, yang penting tampil. Kita lupa bahwa digitalisasi seharusnya menjawab masalah rakyat, bukan malah jadi beban admin humas.

Dan tolong, jangan semua diserahkan ke AI. Kalau pelayanan lambat, bukan karena sistemnya belum pakai kecerdasan buatan, tapi karena koordinasi antarseksi saja masih pakai grup WA yang suka typo.

Humas Pemerintah: Antara Kreativitas dan Kewarasan

Sebagai Humas, kadang kita pengin teriak: “Bikin konten itu bukan sulap, Pak!” Kami ini bukan dukun digital. Kami manusia biasa, yang juga ingin bikin konten yang bermanfaat, bukan sekadar pameran digitalisasi.

Tugas kami bukan hanya memastikan instansi eksis, tapi juga relevan. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi benar-benar memahami apa yang publik butuhkan. Karena bikin akun medsos itu gampang, tapi bikin publik percaya? Nah, itu baru prestasi.

Antara Viral dan Bermakna

FOMO digital itu wajar. Tapi kalau sudah sampai bikin instansi kehilangan arah, ya harus dikasih cooling down. Karena tujuan utama pemerintah itu bukan viral, tapi bermanfaat. Karena yang dibutuhkan masyarakat itu bukan konten seremonial dengan backsound dramatis, tapi jawaban atas pertanyaan sederhana: “Gimana cara bikin kartu keluarga online, Pak?”

Jadi, sebelum ikut tren baru, sebelum bikin program digitalisasi edisi ke-27, mari kita tanya dulu: "Ini demi peningkatan pelayanan kepada masyarakat, atau cuma biar kelihatan keren dan kekinian?"

Bagikan :