Paradigma Baru Sistem Pengawasan ASN Menuju Sistem Checks and Balance untuk Mengikis Relasi Kuasa dan Memperkuat Antikorupsi
Oleh: Pradikta Andi Alvat
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN didefinisikan sebagai profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, ASN memiliki tiga fungsi utama. Pertama, pelaksana kebijakan publik, artinya ASN melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, pelayan publik, ASN harus memberikan pelayanan publik yang professional dan berkualitas. Ketiga, perekat serta pemersatu bangsa. ASN memiliki fungsi mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam menjalankan tiga fungsi tersebut, ASN berlandaskan pada 8 nilai dasar ASN BerAKHLAK yakni berorientasi pelayanan, akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif. Berorientasi pelayanan merupakan jatidiri seorang ASN sebagai pelayan publik dan pelaksana kebijakan publik untuk selalu berkomitmen memberikan pelayanan prima guna memuaskan masyarakat. Akuntabel menuntut seorang ASN untuk bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan. Kompeten menuntut seorang ASN untuk terus belajar mengembangkan kompetensi dan kapasitas diri. Harmonis, seorang ASN harus mampu menghargai perbedaan dan saling peduli untuk membangun lingkungan kerja yang kondusif. Loyal, seorang ASN harus berdedikasi tinggi dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Adaptif, seorang ASN harus terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan dan menghadapi perubahan. Kolaboratif, seorang ASN harus mampu membangun kerjsama yang sinergis.
Simplifikasinya, seorang ASN merupakan aparatur pemerintahan yang memiliki peran strategis sebagai lokomotif dan eksekutor dalam mendukung terselenggaranya good governance dalam tataran operasionalisasi birokrasi pemerintahan dengan tiga fungsi utama sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat serta pemersatu bangsa. Sejalan dengan konsep tersebut, seorang ASN dituntut memiliki profesionalitas dan integritas yang tinggi karena pelaksanaan tugas seorang ASN berkaitan, bersentuhan, dan berdampak langsung dengan masyarakat. Oleh sebab itu, menjadi fundamental bagaimana membangun sistem dan sikap antikorupsi seorang mengingat korupsi merupakan karakter antitesa dari tugas pokok ASN dan bertentangan dengan nilai dasar serta kode etik ASN.
Urgensi Sikap Antikorupsi Bagi ASN
ASN merupakan aparatur pemerintahan yang memiliki fungsi strategis sekaligus garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, ASN wajib memiliki sikap profesional dan intergitas sebagai karakter dalam menjalankan profesinya. Salah satu karakter sebagai refleksi sikap profesional dan integritas ASN adalah sikap antikorupsi. Sikap antikorupsi merupakan perwujudan sikap, perbuatan, perilaku, dan pemikiran yang secara aktif menentang dan melawan perilaku korupsi baik untuk dirinya sendiri maupun terhadap instansi.
Korupsi sendiri secara doktrin dapat dibedakan menjadu dua golongan. Pertama, korupsi konvensional. Merupakan perbuatan-perbuatan yang digolongkan dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai tindak pidana korupsi yang meliputi: kerugian keuangan negara, suap, pemerasan, benturan dalam kepentingan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, dan gratifikasi. Kedua, korupsi non-konvensional. Merupakan perbuatan-perbuatan yang secara formal tidak dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi namun merupakan perbuatan yang bersifat kriminogen melahirkan bibit-bibit korupsi. Misalnya: ketidakjujuran maupun tidak disiplin dalam bekerja.
Urgensi mengapa seorang ASN harus memiliki sikap antikorupsi dilatarbelakangi oleh 3 alasan. Pertama, faktor tugas dan fungsi ASN. Berdasarkan UU ASN, ASN merupakan aparatur pemerintah yang memiliki fungsi pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal, seorang ASN harus memiliki sikap antikorupsi karena korupsi sendiri baik secara konvensional maupun non-konvensional dapat menyebabkan disfungsi ASN. Menjadi penyebab ASN gagal menjalankan fungsinya secara optimal.
Kedua, fungsi strategis dalam pelayanan publik. ASN berperan sebagai pelaksana kebijakan publik dan pelayan publik yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya berkaitan serta berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh sebab itu, disini terdapat titik rawan yang potensif digunakan oleh seorang ASN yang tidak berintegritas untuk menyalahgunakan kewenangannya dalam pelayanan publik untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, menjadi urgen seorang ASN memiliki sikap antikorupsi agar fungsi strategis yang dimilikinya tidak disalahgunakan dan mobilitas organisasi pemerintah dapat berjalan optimal dalam memberikan pelayanan prima pada masyarakat. Juga agar pelayanan publik diberikan secara adil tanpa kesenjangan.
Ketiga, faktor nilai dasar ASN. ASN merupakan sebuah profesi yang memiliki landasan nilai yang menjadi pedoman perilaku dalam melaksanakan pekerjaan. Salah satu nilai dasar seorang ASN adalah berorientasi pelayanan. Dalam menjalankan nilai tersebut maka diperlukan sikap antikorupsi yang kuat guna memastikan pelayanan pada masyarakat berjalan prima dan memuaskan. Artinya penerapan sikap antikorupsi merupakan sebuah keharusan bagi ASN karena sikap antikorupsi senafas dengan nilai dasar profesi ASN.
Problema Sikap Antikorupsi ASN dalam Kerangka Hierarkis Kewenangan
Manajemen dan struktur pola kerja seorang ASN bersifat hierarkis mengerucut seperti pohon cemara. Mengerucut disini memiliki tiga makna yakni semakin tinggi jabatan maka akan semakin strategis kewenangannya, semakin tinggi jabatan maka akan semakin tinggi pengaruhnya, dan semakin tinggi jabatan maka akan semakin tinggi tanggungjawabnya. Dalam konteks ini, maka dari sudut pandang teori kekuasaan, maka orang yang memiliki jabatan yang lebih strategis, lebih berpengaruh/menentukan maka potensi dia melakukan korupsi akan jauh lebih besar dan nilai korupsinya juga potrensif lebih besar. Artinya, semakin tinggi jabatan, semakin strategis dan menentukan wewenang yang dimiliki maka potensi penyalahgunaannya lebih besar. Maka secara logis, harusnya semakin tinggi jabatan maka sistem pengawasannya harus semakin kuat.
Misalnya potensi korupsi seorang satpam dengan staf, maka potensi korupsinya lebih tinggi staf. Kemudian staf dengan kepala bidang, tentu potensi korupsi dan potensi nilai korupsinya lebih besar kepala bidang. Kemudian, kepala bidang dengan kepala dinas, maka potensi korupsi dan nilai korupsinya lebih besar kepala dinas. Seorang satpam misalnya jika dia korupsi, maka nilai korupsinya tidak besar karena ia tidak memiliki kewenangan strategis (paling cuman rokok atau uang 50.000 misalnya). Berbeda misalnya yang melakukan korupsi Kepala Dinas, maka potensi nilai korupsinya bisa ratusan juta bahkan miliaran karena kewenangannya lebih strategis.
Di sisi lain, sistem pengawasan ASN juga bersifat hierarkis, artinya jabatan yang lebih tinggi bertanggungjawab untuk mengawasi yang lebih rendah. Artinya sistem yang dibangun adalah hierarkis. Orang yang memiliki kewenangan lebih strategis mengawasi orang yang memiliki kewenangan dengan tingkat strategis dibawahnya.`Maka munculah relasi kuasa. Yang lebih tinggi jabatan bisa semena-mena terhadap bawahan karena dia memiliki wewenang yang menentukan nasib bawahannya (misalnya: memberikan paraf nilai kinerja yang menentukan pencairan tunjangan kinerja). Oleh sebab itu, previlege untuk tidak disiplin seakan dimiliki oleh pemimpin tertinggi di suatu satker pemerintahan. Kepala Dinas telat masuk kantor ah biasa saja. Jika satpam atau staf yang telat sedikit maka ia pasti dimarahi bahkan dijatuhi sanksi disiplin.
Sistem pengawasan hierarkis ASN ini sendiri merupakan derivasi dari sistem pengawasan melekat antara atasan-bawahan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/46/M.PAN/2004 maupun peraturan internal organisasi yang dalam praktiknya menurut Penulis turut menyuburkan praktik korupsi karena sistem pengawasan hierarkis membunuh keseimbangan dan memberikan ketimpangan kuasa sehingga menghambat implementasi sikap antikorupsi dan kritisisme bagi ASN muda yang masih menjadi pelaksana (staf) yang kemudian menjadi akar dari penyalahgunaan wewenang. Yang memiliki jabatan diatas bisa semena-mena berbekal kewenangan yang lebih strategis dan sistem pengawasan melekat seehingga membunuh kritisisme dan sikap antikorupsi seorang bawahan karena nasibnya jika bersifat kritis terhadap atasan akan terancam. Sedangkan yang memiliki jabatan terbawah seringkali menerima penindasan dari atasan dan kesenjangan akses dalam membangun keseimbangan sistem kinerja. Oleh sebab itu, Penulis menawarkan sebuah paradigma baru dalam pengawasan ASN yakni pengawasan respirokal dengan prinsip checks and balance.
Paradgima Baru Sistem Pengawasan ASN untuk Memperkuat Antikorupsi
Dalam perspektif teori kekuasaan, maka orang yang memiliki jabatan yang lebih strategis, lebih berpengaruh/menentukan maka potensi dia melakukan korupsi akan jauh lebih besar dan nilai korupsinya juga potrensif lebih besar. Artinya, semakin tinggi jabatan, semakin strategis dan menentukan wewenang yang dimiliki maka potensi penyalahgunaannya lebih besar. Maka secara logis, harusnya semakin tinggi jabatan maka sistem pengawasannya harus semakin kuat baik sistem pengawasan internal maupun eksternal baik pengawasan top maupun bottom. Dan yang penting, sistem pengawasan ini harus dibangun dengan sistem yang ramah terhadap prinsip check and balance.
Dalam realitasnya, paradigma pengawasan melekat melahirkan praktik relasi kuasa dan sistem hierarkis dalam pengawasan ASN yang menjadi akar lahirnya kondisi yang membunuh kritisisme, antikorupsi, dan melahirkan kesewenang-wenangan. Maka paradigma ini harus dirubah dengan paradigma baru yakni sistem pengawasan respirokal dengan prinsip check and balance. Artinya, harus dibangun sistem manajemen dimana bawahan juga bisa menilai atasan dengan indikator-indikator yang ditetapkan misalnya aspek kedisiplinan, integritas, kinerja, dan kepemimpinan kemudian nilai ini menjadi rapor semester/tahunan dengan kriteria kepantasan/kecakapan minimal tertentu dan rapor nilai dari bawahan pada atasan ini menjadi salah satu syarat mutlak yang menentukan promosi maupun mutasi seorang pimpinan. Dengan adanya sistem respirokal (penilaian bawahan terhadap kinerja atasan) dan pengawasan melekat (penilaian atasan pada bawahan) maka akan terbangun lingkungan kerja yang kompetitif, kondusif, seimbang sehingga memutus sistem relasi kuasa. Dampaknya, kritisisme, idealisme, dan sikap antikorupsi khususnya bagi para ASN muda yang masih menjadi staf/bawahan akan tumbuh dengan subur dan eksesnya budaya antikorupsi akan menguat pada instansi-instansi pemerintah.