Orba-isme yang Tidak Kunjung Hilang dalam KORPRI

Gambar sampul Orba-isme yang Tidak Kunjung Hilang dalam KORPRI

Setiap 29 November menjadi hari wajib bagi seluruh ASN menyelenggarakan Upacara dengan mengenakan seragam batik bercorak biru khas KORPRI. Hal itu dilakukan  dalam rangka memperingati HUT KORPRI, dengan sebelumnya telah dilakukan rangkaian acara-acara dalam memperingati HUT KORPRI di setiap bulan November.  

Namun acara HUT KORPRI dari tahun ke tahun diselenggarakan dengan monoton, dan lebih bersifat indoktrinasi. Alih-alih menyelenggarakan kegiatan yang lebih mengedepankan daya kreatifitas dan inovasi ASN, tiap tahun KORPRI menyelenggarakan lomba Pengucapan Panca Prasetya KORPRI, atau di beberapa daerah ada pula lomba menyanyikan Mars KORPRI. 

Sebagai organisasi tunggal wadah bagi ASN di Indonesia, KORPRI dibentuk dengan tujuan awal adalah untuk menghilangkan pengaruh politik praktis dalam pegawai negeri. Dikutip dari Korpri.go.id   KORPRI dibentuk dengan maksud agar pegawai negeri dapat ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara Republik Indonesia. Hal tersebut karena dinamika politik 1959 - 1969 di Indonesia yang sangat dinamis, hingga berpengaruh pada netralitas dan profesionalitas pegawai negeri. 

Walaupun demikian, KORPRI sebagai wadah tunggal pegawai negeri ternyata tidak sepenuhnya suci. Dalam perjalanan sejarahnya, KORPRI yang berhasil menampung pegawai negeri se-Indonesia dalam satu wadah, menjadi alat politik kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru. Menurut Sri Hartini[1] melalui asas Monoloyallitas, pegawai negeri melalui KORPRI dimanfaatkan untuk memenangkan Golkar. Sebenarnya Asas Monoloyallitas sangat baik apabila diterapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat itu, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, khususnya Pasal 3, yang menyatakan bahwa pegawai negeri harus hanya berpihak pada kepentingan pemerintah, namun realitasnya berpihak pada salah satu golongan. Menurut Nabillah Mahdiana, KORPRI menjadi bagian dari Golkar, sebagai intepretasi kekuasaan terhadap monoloyallitas. KORPRI memiliki kewajiban untuk loyal, mendukung dan memenangkan Golkar dalam pemilu 1997. Hal tersebut dipertegas dengan artikel koran Kompas, 26 September 1996 yang berjudul “Mendagri: KORPRI harus dukung Golkar”, yang memberitakan bahwa enam juta warga KORPRI ditekankan kembali untuk mendukung Golkar supaya Golkar dapat kembali meraih suara terbanyak dalam Pemilu 1997.[2] Namun pasca reformasi, KORPRI kembali kepada khitahnya menjadi organisasi ASN yang netral dan tidak berafiliasi dengan kepentingan politik manapun. Walaupun netralitas pegawai negeri tetap menjadi sesuatu yang selalu dituntut, diingatkan, dan didengungkan di setiap penyelenggaraan kontestansi politik.[3] 

Gaya Orba atau Orbaisme itu kental dengan militerisme, hal tersebut karena Orde Baru berorientasi pada penciptaan stabilitas politik, untuk pembangunan ekonomi tetapi melalui Otoritarianisme. Sumber Otoritarianisme tersebut salah satunya adalah Birokrasi Sipil. Penataan Birokrasi Sipil pada Orde Baru, yaitu melalui KORPRI dan Monoloyalitas yang dalam praktiknya tereduksi menjadi loyal kepada Golkar serta Dwi Fungsi ABRI, yaitu proliferasi perwira-perwira ABRI ke semua lini birokrasi yang dijadikan sebagai pucuk pimpinan departemen dan badan pemerintahan bahkan gubernur  dan bupati.[4] Sehingga Orbaisme dalam Birokrasi Sipil sangat kental melalui gaya-gaya militerisme seperti indoktrinasi searah, sekali lagi untuk menciptakan stabitas politik, melalui salah satu sumber otoritarianisme orde baru, yaitu Birokrasi Sipil atau pegawai negeri.

Ternyata Orbaisme belum sepenuhnya hilang dalam tubuh KORPRI walaupun Orba telah tumbang pada 1998. Gaya-gaya Indoktrinasi masih terlihat pada bagaimana KORPRI di beberapa daerah memperingati HUT KORPRI, setidaknya di lingkungan penulis. Hal tersebut terlihat masih selalu diadakannya Lomba Pengucapan Panca Prasetya KORPRI dan/atau Lomba Menyanyikan Mars KORPRI. Indoktrinasi dalam Instansi Pemerintah sebenarnya tidak selalu berarti negatif, namun dalam tataran ini, seperti Lomba Pengucapan Panca Prasetya KORPRI dan/atau Lomba Menyanyikan Mars KORPRI tidak terlalu subtantif.

Memang sifat dalam perayaan HUT KORPRI lebih cenderung bersifat hiburan di kala kesibukan dinas. Namun menurut hemat kami, disamping mengadakan lomba olahraga dan lomba dalam bidang seni yang bersifat hiburan para abdi negara di sela dinas, juga mengadakan sesuatu perlombaan atau acara yang bersifat substantif.

Kondisi kekinian, dalam gerak dunia modern yang penuh ketidakpastian, menuntut ASN untuk dapat memberikan pelayanan secara cepat dan menuntut ASN untuk mudah beradaptasi dalam perubahan yang terjadi. Dalam rangka mendukung transformasi ASN untuk menghadapi ketidakpasitan dunia modern, menurut kami perlu ada acara, bisa dalam bentuk seminar atau pelatihan, atau program yang kick off-nya dibarengkan dengan HUT KORPRI agar lebih massif partisipasinya, untuk mendukung peningkatan inovasi dan kreativitas ASN, sehingga ASN akan lebih siap menghadapi ketidakpastian dunia modern dan meningkatkan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh ASN. Apabila dalam bentuk perlombaan, mungkin dapat mengadakan lomba karya tulis ilmiah untuk mendukung atau meningkatkan inovasi yang dilakukan oleh ASN. Hal ini sebenarnya merupakan wujud dari tujuan KORPRI sebagai organisasi profesi ASN sebagaimana dijelaskan pada Pasal 62 ayat (2) huruf f dan g Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, yaitu Organisasi profesi ASN bertujuan untuk “......f. meningkatkan inovasi dan kreativitas Pegawai ASN; dan g. menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilan

Segala pernyataan yang diberikan dalam tulisan ini merupakan Otokritik dan bukan ditujukan untuk menyerang pribadi ataupun kelompok tertentu, namun bertujuan dan dimaksudkan untuk kemajuan Organisasi KORPRI itu sendiri, agar organisasi profesi ASN ini tidak dicap sebagai organisasi yang tidak dirasakan kehadirannya bahkan oleh para ASN itu sendiri.  

 

 

[1] Hartini, Sri. “Penegakan Hukum Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS).” Jurnal Dinamika Hukum, vol. 9, no. 3, 2009, halaman 262.

[2] Mahdiana, Nabillah. “Politisasi Korpri Pada Pemilu Orde Baru Tahun 1970 - 1998 Di Jawa Timut.” AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, vol. 6, no. 3, 2018, halaman 60.

[3] Sitompul, Martin. “Korpri Bantu Orde Baru Menangi Pemilu.” historia.id, https://historia.id/politik/articles/korpri-bantu-orde-baru-menangi-pemilu-6jXXd/page/1. Accessed Desember 2023.

[4] Farchan, Yusa'. “Dinamika Sistem Politik Otoritarianisme Orde Baru.” Jurnal Adhikari, vol. 1, no. 3, 2022, halaman 156-157.

Bagikan :