Ikhtiar Guru PAI Melawan Korupsi

Gambar sampul Ikhtiar Guru PAI Melawan Korupsi

Pacitan, tanah kelahiran Presiden keenam Republik Indonesia, dikenal dengan alamnya yang indah sekaligus menantang. Di salah satu ujung kabupaten ini, tepatnya di Desa Gemaharjo, daerah perbatasan antara Ponorogo dan Pacitan berdiri sebuah sekolah menengah atas negeri tempat saya mengabdi kurang lebih berjalan hampir lima tahun sebagai guru Pendidikan Agama Islam. Sekolah ini berada di dataran tinggi, jauh dari hiruk pikuk kota, dengan akses jalan berliku, sinyal komunikasi yang putus sambung dan seringnya pemadaman listrik.

Meski berada di pelosok, tugas kami sebagai ASN tidaklah berkurang nilainya. Justru di tempat pelosok inilah integritas sering diuji. Kami belajar makna pengabdian dan keteguhan menjaga integritas. Dalam perjalanan saya sebagai guru, ada banyak momen kecil yang sebenarnya sarat makna anti korupsi. Salah satunya kehadiran tepat waktu saat mengajar terutama pada jam pertama. Sulitnya medan rumah siswa-siswi terkadang membuat mereka sering datang terlambat juga. Ada dorongan untuk ikut datang terlambat juga, toh lebih baik masuk ke kelas saat mereka semua sudah hadir dan siap menerima pelajaran. Namun seperti pesan Kepala Sekolah tempat saya bekerja "1000 aturan akan kalah dengan satu keteladanan". Pesan ini membuka mata saya bahwa betapa banyak tata tertib di sekolah tetap tidak bisa mengalahkan keteladanan dari guru. Maka saya belajar untuk datang tepat waktu, mengajar sesuai jam mata pelajaran dan menebar kebaikan agar menjadi inspirasi siswa.

Contoh lain ketika mengelola dana kegiatan keagamaan di sekolah. Misalnya saat sekolah mengadakan pondok Ramadhan dan pengumpulan zakat fitrah. Sebagai penanggung jawab, saya selalu membuat catatan keuangan sederhana yang bisa dilihat siapa saja: berapa uang yang masuk, digunakan untuk apa, diberikan kepada siapa dan berapa sisanya. Kadang laporan itu saya tulis tangan di ruang OSIS sebagai tempat berkumpul panitia pondok Ramadhan agar semua bisa ikut memeriksa. Bagi sebagian orang mungkin ini hal remeh. Namun bagi saya, transparansi kecil inilah yang menumbuhkan rasa percaya dan menjadi pelajaran berharga. Bahwa melawan korupsi bukan hanya urusan besar seperti kasus miliaran rupiah, tetapi juga soal melatih diri bersikap jujur dalam hal sekecil apa pun.

Di ruang kelas, saya sering menemukan praktik kecil yang mencerminkan mentalitas korupsi: siswa yang menyontek saat ujian, yang datang terlambat setelah istirahat, pergi ke kantin saat jam kosong, atau yang mencoba memanipulasi alasan ketika terlambat. Saya selalu menegaskan bahwa perbuatan itu tidak hanya melanggar aturan sekolah, tetapi juga bagian dari perilaku koruptif. Saya mengajak siswa untuk merenung: “Kalau kalian terbiasa curang dalam hal kecil, apa jadinya kalau nanti sudah bekerja dan mengelola uang rakyat?” Pertanyaan itu sering membuat mereka terdiam. Dari sini saya sadar, pendidikan antikorupsi harus dimulai sejak dini, dengan cara mengaitkan pengalaman sehari-hari dengan nilai kejujuran.

Berangkat dari pengalaman itu, saya memiliki gagasan bahwa pendidikan antikorupsi tidak cukup berupa teori atau hafalan pasal undang-undang. Ia harus kontekstual, dekat dengan keseharian siswa, dan membentuk kebiasaan baik.

  1. Transparansi Mini di Sekolah: Setiap kelas diberi kewajiban memiliki “buku kas transparan” yang bisa dilihat siapa saja. Tidak ada rahasia. Dengan begitu, siswa terbiasa mengelola uang secara terbuka, tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan.
  2. Proyek Kejujuran yang Berkelanjutan: Kantin kejujuran yang sudah banyak ada di sekolah-sekolah sering berhenti di tengah jalan. Saya mengusulkan agar kantin ini dikelola secara serius oleh siswa dalam bentuk koperasi kecil. Mereka belajar akuntansi sederhana, membuat laporan, dan mempertanggungjawabkan hasilnya.
  3. Integrasi dalam Kurikulum PAI: Pelajaran Pendidikan Agama Islam memiliki kekuatan besar untuk menanamkan nilai antikorupsi. Saya mengaitkan ayat tentang amanah, hadis tentang kejujuran, hingga kisah sahabat Nabi yang sangat berhati-hati terhadap harta umat. Siswa belajar bahwa melawan korupsi bukan sekadar kewajiban hukum negara, tetapi juga ibadah kepada Allah.
  4. Kegiatan Simulasi “Anti Suap”: Siswa diajak bermain peran: ada yang berperan sebagai pejabat, ada yang sebagai rakyat, ada yang mencoba menyuap. Dari situ mereka melihat bagaimana dampak buruk korupsi terhadap masyarakat. Dengan metode bermain peran, nilai antikorupsi lebih mudah dipahami.
  5. Gerakan Orang Tua Terlibat: Pendidikan antikorupsi di sekolah harus ditopang keluarga. Saya mengusulkan agar rapat wali murid juga disisipi sesi tentang pentingnya teladan kejujuran di rumah. Sebab bagaimana pun, anak-anak lebih banyak belajar dari orang tua.

Sebagai ASN, kami memiliki tanggung jawab lebih besar. Korupsi di birokrasi sering bermula dari hal-hal kecil: gratifikasi yang dianggap “oleh-oleh”, perjalanan dinas fiktif, atau laporan keuangan yang dimanipulasi. Karena itu, ada beberapa hal yang menurut saya bisa diperbaiki:

  1. Digitalisasi Administrasi: Proses pengajuan anggaran, laporan kegiatan, hingga absensi sebaiknya dilakukan secara digital agar lebih transparan dan bisa diaudit kapan saja.
  2. Budaya Lapor Terbuka: ASN harus berani melaporkan jika menemukan penyimpangan. Dibutuhkan sistem perlindungan bagi pelapor (whistleblower) agar tidak takut menghadapi intimidasi.
  3. Keteladanan Pimpinan: Kepala sekolah, kepala dinas, hingga pejabat daerah harus menjadi teladan. Jika pimpinan tegas menolak gratifikasi, bawahan akan segan untuk berbuat curang.
  4. Pelatihan Integritas Rutin: ASN tidak cukup diberi sosialisasi satu kali, tetapi perlu pembinaan berkala agar nilai antikorupsi tertanam kuat.

Korupsi telah merampas begitu banyak hal dari bangsa ini. Jalan berlubang karena dana pembangunan dikorupsi, sekolah reyot karena anggaran pendidikan bocor, bahkan bencana alam semakin parah karena proyek mitigasi hanya jadi laporan fiktif. Semua itu terjadi karena ada segelintir orang yang lebih mementingkan kantong pribadi daripada kesejahteraan rakyat.

Saya meyakini, melawan korupsi bukan hanya soal penindakan, tetapi soal membangun budaya. Budaya malu menerima suap, budaya bangga hidup bersih, dan budaya percaya bahwa integritas lebih berharga daripada uang haram. ASN adalah wajah negara yang paling dekat dengan rakyat. Kami digaji dari pajak masyarakat, maka setiap rupiah yang kami terima adalah amanah. Jika ASN bersih, masyarakat akan percaya pada pemerintah. Sebaliknya, jika ASN ikut korupsi, maka kepercayaan publik runtuh, dan negara akan kehilangan wibawa.

Saya percaya, perubahan besar bisa dimulai dari hal kecil. Dari guru yang menolak manipulasi nilai, dari pegawai yang jujur mengisi laporan, dari pejabat yang berani menolak gratifikasi. Seperti kata pepatah Jawa: “Sapa nandur bakal ngundhuh.” Apa yang kita tanam hari ini akan dipanen oleh generasi berikutnya. Jika kita menanam integritas, anak cucu kita akan menikmati bangsa yang bersih.

Di dataran tinggi Tegalombo, kami terus berusaha menyalakan lilin kecil melawan gelapnya korupsi. Lilin itu mungkin tampak kecil dan redup, tetapi jika setiap ASN menyalakan lilin yang sama di tempatnya masing-masing, maka negeri ini akan terang benderang. Saya yakin, Indonesia bebas korupsi bukanlah utopia. Ia adalah cita-cita yang bisa diwujudkan, asal kita berani memulainya dari diri sendiri. Sebab, melawan korupsi sejatinya adalah jihad moral membela kebenaran, menjaga amanah, dan menolak kebatilan dalam segala bentuknya.

Bagikan :