Opini ASN Muda: Pendidikan Antikorupsi Harus Dimulai dari Keluarga

Gambar sampul Opini ASN Muda: Pendidikan Antikorupsi Harus Dimulai dari Keluarga

Sejak usia dini, anak-anak biasanya diperkenalkan pada nilai dasar seperti kejujuran, tidak mengambil barang yang bukan haknya, serta menghargai kerja keras orang lain. Namun, realitas sosial di luar lingkungan keluarga sering kali menghadirkan berbagai tantangan yang menguji standar moral tersebut, mulai dari praktik gratifikasi kecil di kantor hingga godaan suap dalam birokrasi. Situasi ini menunjukkan bahwa akar pembentukan karakter sejatinya dimulai dari rumah, yakni melalui pola asuh, keteladanan, dan diskusi yang dilakukan orang tua mengenai batasan antara yang benar dan salah. Dalam konteks ini, keluarga memegang peranan fundamental karena pendidikan pertama yang diterima anak berlangsung di tengah lingkungan rumah tangga, jauh sebelum ia mengenal pendidikan formal.

Pendidikan antikorupsi di keluarga perlu menekankan sembilan nilai integritas yang telah diperkenalkan dalam berbagai program pendidikan karakter. Nilai tersebut meliputi tiga aspek utama. Pertama, aspek inti yang terdiri dari kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan sebagai fondasi moral. Kedua, aspek etos kerja yang mencakup kemandirian, kerja keras, dan kesederhanaan, yang membentuk daya juang serta sikap realistis dalam menghadapi tantangan. Ketiga, aspek sikap yang mencakup keberanian, kepedulian, dan keadilan, sebagai modal untuk membangun relasi sosial yang sehat dan berkeadaban. Penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari diyakini mampu menumbuhkan karakter antikorupsi yang tidak hanya terinternalisasi, tetapi juga konsisten diwujudkan dalam perilaku anak hingga dewasa. Dengan demikian, keluarga menjadi arena strategis untuk mencegah berkembangnya perilaku koruptif sejak dini.


Mengapa Keluarga Penting

Keluarga merupakan institusi pertama dan paling konsisten dalam membentuk karakter seorang individu, khususnya terkait nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Keteladanan orang tua menjadi faktor yang sangat menentukan, sebab anak cenderung meniru perilaku nyata yang ditunjukkan dalam keseharian. Contoh sederhana, orang tua yang secara konsisten mengembalikan uang kembalian berlebih atau menolak pemberian yang bukan haknya, secara tidak langsung sedang menanamkan nilai antikorupsi yang kuat. Selain itu, perilaku konsisten dalam hal sederhana seperti menepati janji, mengatur waktu belajar, atau menjaga kebersihan rumah menjadi bentuk penerapan disiplin yang nyata.

Survei Perilaku Anti Korupsi (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak di Indonesia mengenal nilai antikorupsi dari keluarga, bukan dari sekolah atau lembaga formal. Hal ini memperkuat pandangan bahwa keluarga adalah ruang utama dalam pendidikan moral. Penelitian Mamluah dan Jalil (2022) menegaskan bahwa orang tua yang membiasakan anak untuk berlaku jujur, disiplin, dan bertanggung jawab sejak dini mampu menghasilkan internalisasi nilai antikorupsi yang lebih mendalam. Temuan lain juga menunjukkan adanya hubungan positif antara pendidikan moral di rumah dan perilaku etis dalam lingkungan kerja, di mana individu yang terbiasa dibesarkan dengan prinsip integritas cenderung lebih konsisten menolak praktik gratifikasi maupun penyalahgunaan kewenangan (Setyowati et al., 2023). Dengan demikian, peran keluarga tidak hanya membentuk karakter dasar, tetapi juga menjadi fondasi utama bagi terciptanya integritas di dunia profesional.


Hambatan dalam Pendidikan Antikorupsi di Rumah

Sayangnya, tidak semua keluarga memiliki budaya terbuka dalam membicarakan nilai kejujuran dan integritas. Dalam sebagian rumah tangga, topik mengenai korupsi sering kali dianggap tabu atau “urusan orang dewasa” yang tidak perlu dikenalkan kepada anak-anak. Akibatnya, nilai etika hanya diajarkan setengah hati tanpa dialog kritis yang memungkinkan anak memahami konsekuensi nyata dari perilaku koruptif. Hambatan lain muncul dari pengaruh budaya lokal dan lingkungan sosial yang masih permisif terhadap praktik gratifikasi kecil, seperti “uang terima kasih” atau hadiah informal, yang kerap dibenarkan sebagai tradisi. Misalnya, pada kegiatan Hari Guru, pemberian hadiah dianggap lumrah padahal bentuk gratifikasi, sekecil apa pun, dapat menormalisasi praktik koruptif jika tidak diberi penjelasan yang tepat.

Media juga turut membentuk persepsi anak; pemberitaan kasus korupsi yang masif tetapi sering tidak diiringi dengan hukuman setimpal berpotensi menanamkan anggapan bahwa praktik korupsi adalah hal biasa. Di sisi lain, banyak orang tua belum memiliki pemahaman antikorupsi yang sistematis, sehingga gagal memberi teladan yang konsisten. Penelitian Yulianti dan Purwaningsih (2021) menunjukkan bahwa rendahnya literasi antikorupsi di kalangan orang tua berdampak pada lemahnya internalisasi nilai integritas di rumah. Demikian pula, studi Fitriani dan Kusumastuti (2020) menegaskan bahwa keluarga yang menganggap pembahasan etika sebagai hal sensitif cenderung menghasilkan generasi muda yang kurang kritis terhadap penyalahgunaan wewenang. Hambatan-hambatan ini harus diatasi agar keluarga benar-benar menjadi benteng pertama pendidikan antikorupsi.


Contoh Praktis dari ASN Muda

Pengalaman sejumlah ASN muda memperlihatkan bahwa nilai-nilai keluarga berperan penting dalam menjaga integritas di dunia kerja. Banyak yang menolak gratifikasi kecil karena teringat pesan orang tua, seperti pepatah Jawa “jujur agawe makmur” yang mengajarkan bahwa kejujuran membawa keberkahan. Didikan keluarga yang menekankan keterbukaan diskusi, disiplin, dan tanggung jawab membuat sebagian ASN muda berani menegur rekan kerja yang melakukan penyimpangan. Pendidikan keluarga yang kuat berfungsi sebagai “rem moral” yang efektif ketika individu menghadapi dilema etika di kantor.

Dalam praktik sehari-hari, langkah sederhana dapat dilakukan di rumah, seperti mengembalikan barang yang bukan milik sendiri, menepati janji meski kecil, serta mengajarkan tanggung jawab melalui kegiatan sederhana—misalnya merapikan mainan atau menjaga barang bersama. Penelitian Lestari (2022) menunjukkan bahwa pembiasaan nilai integritas melalui kegiatan sehari-hari efektif menumbuhkan kesadaran antikorupsi sejak dini. Namun, pendidikan keluarga saja tidak cukup. Dukungan kelembagaan juga diperlukan. Instansi pemerintahan dan sekolah dapat menginisiasi program literasi antikorupsi berbasis keluarga, sementara lembaga antikorupsi seperti KPK dapat memperkuat peran keluarga melalui modul edukatif yang aplikatif (Siregar, 2021). Dengan sinergi antara keteladanan keluarga dan kebijakan publik, akan lahir generasi ASN muda yang lebih berintegritas serta tangguh menghadapi tantangan etika birokrasi.


Penutup

Keluarga merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter antikorupsi generasi muda, termasuk ASN yang kini memegang peran penting dalam birokrasi. Keteladanan orang tua, pembiasaan nilai dasar seperti kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin, serta keterbukaan dalam membicarakan etika sejak dini terbukti berpengaruh signifikan dalam internalisasi nilai integritas. Hambatan seperti tabu membicarakan korupsi, budaya permisif terhadap gratifikasi, hingga rendahnya literasi orang tua memang masih menjadi tantangan. Namun, pengalaman nyata ASN muda membuktikan bahwa nilai yang ditanamkan dari rumah mampu menjadi benteng moral dalam menghadapi godaan koruptif. Dengan memperkuat teladan keluarga dan memperluas dukungan kebijakan publik, pendidikan antikorupsi dapat diwariskan secara konsisten lintas generasi, membentuk birokrasi yang lebih bersih dan berintegritas.


Daftar Referensi

  • Mamluah, A., & Jalil, A. (2022). Pendidikan Antikorupsi dalam Keluarga: Upaya Membangun Keluarga Sakinah. Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, 8(2), 140–160.

  • Setyowati, R. N., Sarmini, S., Sukma, P., & Rizaq, A. D. B. (2023). Patterns of Value Inculcation to Build an Anti-Corruption Culture in the Family Environment. Advances in Social Sciences Research Journal, 10(4), 267–278.

  • Badan Pusat Statistik. (2024). Survei Perilaku Anti Korupsi 2024. Jakarta: BPS.

  • Yulianti, E., & Purwaningsih, E. (2021). Family Role in Anti-Corruption Education: A Case Study in Indonesia. Journal of Educational and Social Research, 11(6), 108–118.

  • Fitriani, H., & Kusumastuti, A. (2020). Building Anti-Corruption Character Through Family Education. International Journal of Innovation, Creativity and Change, 12(3), 253–268.

  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2022). Laporan Pendidikan Antikorupsi dalam Keluarga. Jakarta: KPK RI.

  • Lestari, S. (2022). Family-Based Anti-Corruption Education: Building Integrity from an Early Age. Journal of Civic Education, 9(2), 134–145.

  • Siregar, M. (2021). Institutional Support for Anti-Corruption Literacy in Families. Jurnal Integritas, 7(1), 55–70.

Bagikan :