Oleh-Oleh Sembari Dinas ke Lapas

Gambar sampul Oleh-Oleh Sembari Dinas ke Lapas

 

Salah satu tugas saya sebagai bagian Humas di sebuah Lembaga negara adalah menjadi LO antara Lembaga saya dengan Komisi III di DPR. Salah satu kegiatan yang rutin kami lakukan adalah menjadi LO saat para Anggota ingin berkunjung ke Lembaga Hukum di seluruh Indonesia, seperti pengadilan, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan (lapas). Beberapa kali mendampingi mereka, saya selalu mendapatkan cerita yang berbeda-beda, salah satunya adalah saat mendapingi mereka ke lapas.

Saya ingat sekali, saat itu kunjungan ke lapas IIA Palangka Raya, tepatnya di ruang tahanan pidana. Seperti biasa, saya mengikuti ke manapun para Anggota melangkahkan kaki. Di hampir setiap lapas yang saya datangi, selalu saja pemandangan yang sama, ruangan terisis dengan kapasitas berlebih. Kasihan.

Biasanya, Ketika berkunjung para anggota akan mengelilingi lapas dan bercengkrama langsung dengan penghuninya. Mereka memeriksa kamar, dapur, ruang ibadah, kamar mandi, ruang berkreasi, dan lain sebagainya.

Biasanya lagi, Ketika ada kunjungan seperti itu, mereka yang di dalam jeruji akan menongolkan wajahnya untuk melihat-lihat ada siapa dan kejadian apa yang sedang terjadi. 

Lalu, saat saya juga sedang melihat-lihat, saya mendengar percakapan antara salah satu anggota komisi III (Ahmad, bukan nama sebenarnya) dan salah seorang narapidana (Hamid, bukan pula nama sebenarnya).  Yang satu dalam jeruji yang satu di luar jeruji. Mereka sama-sama berdiri.

“Berapa tahun sudah di sini?” tanya Ahmad

“5 tahun Pak” jawab Hamid

Mereka berdua terdiam. Ahmad melihat-lihat Hamid dan penghuni lainnya. Sedangkan Hamid melihat-lihat Ahmad, saya, dan semua yang ada di luar jangkauannya.

“Karena apa bisa sampai ke sini?” tanya Ahmad lagi.

“Membunuh, Pak,” jawab Hamid dengan rona wajah datar.

Mereka berdua terdiam lagi.

“Anak berapa?”

Hamid diam, lalu katanya “3 Pak,” kata Hamid dengan mata menerawang

Ahmad mengelus dada. Lalu katanya, “Yang paling besar usianya berapa?”

“3 SMP pak,”

“Yang paling kecil?”

“5 tahun, Pak” Hamid mengedipkan mata berkali-kali. Berusaha mencegah agar tidak basah matanya.

Lama mereka terdiam

“Kangen sama mereka?” tanya Ahmad

“Iya pak,” jawab Hamid

“Mereka tidak pernah ke sini. Jauh,” tambah Hamid, suaranya sendu.

“Doain apa ke anak-anak?”

“Ya semoga mereka sehat pak,”

“Terus?”

“Hehehe. Saya malu pak,”

“Kok malu. Coba saya mau denger gimana doanya,”

“Ya Allah, semoga anak saya sehat dan sukses,” kata Hamid dalam nada suara yang sangat serius.

“Gitu?”

“Iya pak!”

“Coba ikuti saya,” kata Ahmad  “Rabbiii hablii minasshalihiiin…”

“Rabbi…..” kata Hamid…

“Rabbiiii…. habliii….. minasshalihiiin….” Ahmad menuntun.

“Rabiiii……” kata Hamid. Hening sebentar. Kemudian terdengan suara isak.

Ahmad menarik nafas Panjang. Lagi-lagi mengusap dadanya. “Ya udah doain terus ya. Agar mereka lebih baik,” Ahmad menepuk bahu Hamid.

“Makasih Pak,” kata Hamid sambil mengusap ujung matanya.

Setelah itu saya masih mengikuti ke manapun Anggota berjalan. Namun, keadaan saya menjadi gontai. Tiba-tiba terngiang kerinduan Hamid akan anak-anaknya. Duh, menetes air mata tanpa terasa. Tiba-tiba terbayang sekuat apa istrinya, sebesar apa perjuangannya menghidupi dirinya dan tiga anaknya. Lalu seperti biasa, saat merasa diri tidak bisa berbuat apa-apa tapi sangat ingin berbuat. Mengalirlah doa-doa untuk mereka, doa kebaikan, kesehatan, kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Allah…… beri kekuatan untuk para perempuan, untuk para lelaki, untuk para anak. Sayangi Allah…

Lalu, dengan mata yang susah kering, saya tetap melangkahkan kaki melanjutkan tugas saya sebagai manusia, sebagai humas, sebagai hamba Allah.

Di dalam hitam pasti ada setitik putih, dan di dalam putih pasti ada setitik hitam, (Tao)

Azzah Zain Al Hasany

Bagikan :