Padahal, komunikasi strategis itu membutuhkan seorang pemimpin humas yang visioner, memiliki pemahaman substansial, serta terlibat langsung dalam proses. Bukan sekadar memberikan instruksi. Kondisi ini menimbulkan konflik peran nyata di tataran pelaksana.
Di lapangan, pranata humas jenjang awal yang sebagian besar adalah ASN muda justru menjadi ujung tombak komunikasi publik pemerintah daerah. Mereka berhadapan langsung dengan masyarakat, mengelola dinamika di titik-titik strategis, serta menjadi garda terdepan dalam implementasi kebijakan.
Meski demimian, tanggung jawab besar mereka tidak selalu diiringi dengan pengakuan ataupun dukungan posisi atau pimpinan strategis yang memadai. Hal ini menimbulkan dilema dalam tata kelola kehumasan.
Di satu sisi, pemerintah telah merancang sistem jenjang fungsional untuk memberikan kepastian karier dan pengakuan profesional bagi pranata humas.
Namun di sisi lain, praktik di lapangan sering kali menyimpang dari tujuan tersebut, karena jabatan strategis keahlian madya hingga utama masih didominasi pertimbangan senioritas birokrasi alih-alih kompetensi substantif.
Akibatnya, pranata humas dengan jenjang lebih tinggi yang seharusnya berperan sebagai mentor strategis dan perancang visi komunikasi, justru hanya bertindak sebagai penyampai disposisi, sementara beban operasional sepenuhnya dialihkan kepada pranata humas di jenjang bawah.
Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah kemana arah pengembangan pranata humas muda yang memiliki potensi dan tanggung jawab luar biasa ini?
Sistem yang seharusnya menggairahkan semangat pengembangan kompetensi dan pengakuan profesional justru berpotensi menciptakan frustrasi bahkan memunculkan demotivasi.
Energi, kreativitas, serta perspektif baru dari generasi muda ASN yang melek digital dan memahami tuntutan strategic public relations bisa terbuang percuma. Apabila kondisi ini dibiarkan berlarut, stagnasi serta hilangnya semangat kontribusi akan menjadi risiko nyata.
Oleh karena itu, mengatasi problematika yang terjadi diperlukan sebuah perubahan fundamental. Tidak hanya pada aspek struktur, tetapi juga pada budaya organisasi. Kompetensi harus dijadikan tolok ukur utama dalam penempatan jabatan agar fungsi strategis humas benar-benar terwujud di setiap tingkatan birokrasi.