Menghitung bulan jelang Pilkada. Baliho calon kepala daerah mulai ramai di pinggir jalan, di billboard, ada juga banner yang dipaku di pohon-pohon kurus. Semarak demokrasi mendominasi ruang-ruang publik. Di warkop, di pasar, di kampus, bahkan di masjid, pembahasan figur kandidat kepala daerah selalu menjadi topik hangat.
Meski memiliki asas netralitas sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, faktanya di kantor-kantor pemerintahan, pembahasan politik bukan hal yang tabu. Larangan berfose dan membagikan gambar dengan simbol (jari) angka sepertinya tidak cukup efektif untuk membatasi gerak memberikan dukungan.
Ya, politik adalah pertaruhan. Pegawai yang berharap dapat jabatan atau meningkatkan status, memilih memberikan ‘dukungan’ dalam perhelatan politik dengan berbagai modus. Meminta dukungan ke pegawai yang lebih rendah adalah langkah taktis untuk menguatkan bargaining position kepada atasan yang juga punya kepentingan untuk memenangkan kandidat tertentu. Itu semacam ‘lingkaran politik’ dalam birokrasi.
Memang tidak semua pegawai dapat mengakses atau terlibat dalam ‘lingkaran politik’ itu. Mereka adalah yang memilih bertahan dengan idealisme UU No. 5 Tahun 2014 atau mereka yang tidak berpikir untuk mendapatkan keuntungan apapun, -toh siapapun nanti yang terpilih mereka tetap saja sebagai pegawai rendahan.
Memang, membicarakan politik bukan sebuah larangan. Namun awam dipahami bahwa momentum politik berpengaruh signifikan terhadap (pergeseran) posisi ASN, mulai dari level pejabat hingga pegawai rendahan. Pada kasus khusus, pegawai tidak jarang memanfaatkan momentum politik untuk mengurus mutasi untuk alasan keluarga atau perbaikan nasib.
Terkait mutasi untuk perbaikan nasib atau karena tuntutan keluarga, seorang teman yang ASN berbagi pengalaman. Katanya, “mutasi itu gampang gampang susah”. Gampangnya, kalau anda punya hubungan spesial dengan pimpinan, tinggal pilih daerah tujuan mutasi. Tapi, sayangnya, hanya segelintir orang yang bisa menjalin hubungan spesial dengan pimpinan. Jadinya, mutasi menjadi susah, sangat susah.
Singkat cerita, setelah lebih setahun menikah, dia ingin kembali serumah dengan istrinya ke kampung halamannya. Jarak 400 km ke kampung istri adalah alasan yang sangat manusiawi. Meski, dia juga sadar dengan sumpah ASN, ia telah mengucap sumpah siap ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara, desakan keluarga tak kuasa ia bendung. Apalagi, anak semata wayangnya yang belum setahun, menjadikan rindu ke istrinya makin tak tertahankan di akhir pekan.
Proses pengurusan berkas dimulai. Berkas istri, bebas temuan dari provinsi sebelah telah rampung. Selanjutnya, dibutuhkan surat rekomendasi kesediaan menerima dari dinas terkait di daerah tujuan.
Dengan style rapi, ia meraih map berisi kelengkapan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan rekomendasi itu. Senyum dikulum masuk ke ruang bagian pengurusan mutasi.
Di depan meja Kabag (kepala bagian), dia menyodorkan map mutasi. Lalu meraih kursi di depan meja. Belum sempat bokongnya menyentuh kursi, seketika kaget dgn ucapan sang Kabag, "Anda harus sabar menunggu giliran, pak" sambil menunjuk map yang tersusun di atas mejanya.
"Biasanya, setiap mutasi, dibahas bersama dalam rapat para pejabat yang berkepentingan, dengan menimbang banyak faktor" sambung sang Kabag.
"Jika beruntung, prosesnya bisa kurang dua bulan, tapi kalau pejabat sibuk, prosesnya bisa sampai enam bulan, atau lebih", urainya.
Teman yang ASN itu pun pulang, sambil menggerutu dalam hati, setelah mendengar penjelasan Kabag. Dalam hati ia menghitung, kalau tumpukan map mutasi itu kiranya ada 30 eksemplar dikali dua bulan, butuh lima tahun lagi untuk menunggu giliran mutasi. Wow...!
Bayangan tumpukan map mutasi berputar putar di kepalanya. Ia butuh mengalihkan pikiran. Ia menarik gas menuju warkop. Mungkin aroma kopi bisa meredakan mumet di kepalanya.
Di warkop, ia ceritakan tumpukan map mutasi itu ke seorang teman. Anehnya, teman yang dicurhati itu malah tersenyum sambil berujar: " tenang saja, ada solusi brilian untuk masalah mutasimu."
Sang teman ASN yang mulai tak bergairah itu, mendapat bisikan. Seketika muncul bohlam tak kasat mata menyala tepat di depan jidatnya.
Segera ditenggak kopi, lalu memohon ijin untuk pulang. Ia tidak pulang ke rumah, tapi ke sebuah tempat penjualan kepiting bakau.
Malam, setelah magrib, ia mengunjungi rumah sang Kabag. Pintu dibuka, setelah dipersilahkan masuk, ia menyimpan kantongan berisi puluhan ekor kepiting bakau segar di samping meja. Lalu ia menyodorkan map mutasi itu. Sang Kabag, lalu meraihnya membuka beberapa lembar, dan menemukan sebuah amplop.
Kabag itu berujar: "Besok, bapak ke kantor, sebelum Duhur, berkas mutasinya sudah bisa diambil di meja saya".
"Terima kasih pak", jawab teman saya, ASN yang berharap mutasi.
Sebelum beranjak, Kabag menyerahkan beberapa lembar kartu nama berisi kandidat Pileg, sosok yang tidak asing, yang gambarnya turut meramaikan pinggir kota. “Jangan lupa ajak keluarga dan beberapa tetangga untuk memilih beliau, ya”.
Kini, kita tahu, selain hubungan spesial dengan pejabat, urusan mutasi bisa menjadi gampang dengan bantuan kepiting sekantong dan beberapa lembaran kartu nama, hehe...
#ASNPunyaCerita