Multitalenta atau Multitalenan?

Gambar sampul Multitalenta atau Multitalenan?

Seringkali kita menemukan seseorang yang tidak hanya multitasking, tetapi juga multitalenta. Khususnya di lingkungan kerja dengan atmosfer yang heterogen. Contoh kecil di lingkungan sekolah. Lebih spesifik lagi di sekolah dasar. Tak hanya berperan sebagai pembimbing, pengajar, dan pembina, seorang guru sekolah dasar harus bisa merangkap jabatan sebagai operator sekolah, bendahara, koordinator, maupun tugas dadakan seperti pemandu wisata. Semua peran ganda tersebut dilakukan karena beberapa faktor, di antaranya: minimnya tenaga administrasi sekolah, kurangnya sarana dan fasilitas sekolah, terbatasnya jumlah sumber daya manusia yang berkompeten di sekolah. Untuk faktor SDM, tentunya kita tidak bisa menyalahkan dan memaksakan. Namun, hal ini menjadi masalah jika setiap orang memiliki beban kerja yang sama padahal secara kemampuan jauh berbeda. Apalagi dengan rentang usia yang terpaut jauh, seperti kelompok usia baby boomer, generasi milenial, hingga generasi alfa berada dalam satu ekosistem lingkungan kerja. Tentu dengan latar belakang usia dan fase berbeda sangat mempengaruhi pola pikir dan cara kerja. Sehingga, banyak pihak yang merasa bahwa hal ini sangat tidak adil. Namun, jika kita dapat berpikir rasional, justru kita harus berterima kasih karena dalam keadaan seperti itu dapat mengasah kemampuan terpendam yang sebelumnya tidak kita miliki. Kemampuan terpendam ini yang sering diartikan orang sebagai bakat atau talenta.

Secara arti harfiah, talent berasal dari bahasa Inggris yang berarti bakat. Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan bentuk dan fonem yang hampir sama yaitu talenta. Menurut KBBI, talenta adalah pembawaan seseorang sejak lahir. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa talenta adalah karunia dari Tuhan berupa karakter, sifat, dan kemampuan manusia yang sudah ada sejak lahir. Bagi sebagian orang, mungkin talenta sudah terlihat sejak kecil. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik dan lingkungan yang mendukung untuk mengoptimalkan talenta atau bakatnya. Tetapi, dalam beberapa kasus, talenta seseorang dapat muncul ketika diasah ataupun ketika situasi mendesak yang mengharuskan seseorang melakukannya. Maka dari itu, kita tak asing dengan istilah ‘bakat terpendam’ yang tiba-tiba bangkit setelah terkubur puluhan tahun lamanya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kejadian seperti ini sering kita temukan di lingkungan kerja. Terutama lingkungan kerja dengan ekosistem yang heterogen, baik dari segi usia, latar belakang pendidikan, maupun kompetensi pribadi seseorang. Namun, hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi orang-orang dengan tipe pejuang. Mereka yang selalu semangat pantang menyerah mengatasi masalah. Meskipun itu adalah masalah orang lain yang menjadikannya harus terlibat. Karena mau tak mau masalah itu juga memengaruhi kinerjanya. Ibarat satu tubuh, orang-orang yang saling mendukung dalam satu lingkungan kerja akan bahu-membahu meringankan tugas teman sejawatnya. Meski berat, namun jika dikerjakan bersama akan terasa ringan. Seperti kata peribahasa, “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Hal ini akan terjadi jika komunikasi terjalin dengan baik di lingkungan tersebut. Tentu tak lepas dari sebuah norma dan kebiasaan yang mungkin sudah mendarah daging dalam jiwa dan raga bangsa Indonesia yaitu jiwa patriot dan gotong royong. Istilah kerennya extended family, yaitu keadaan yang menjadikan sebuah hubungan lebih dekat seperti keluarga meskipun tak ada hubungan kekeluargaan.

Sebagai ASN tentunya hal ini merupakan sebuah pengabdian yang sudah diucapkan dalam sumpah dan janji jabatan. Terlebih lagi dalam Panca Prasetya Korpri. Tak ada yang lebih utama selain mengabdi kepada negara. Termasuk mengembangkan kemampuan dalam keadaan mendesak yang mungkin dapat mengasah bakat terpendam. Selain itu juga dapat menjadi ladang pahala untuk kita yang sedang memperpanjang usia produktif. Agar suatu saat dikenang menjadi orang baik yang memiliki semangat tinggi dalam berjuang.

Lepas dari semua hal itu, tentu tak mudah untuk menjadi orang yang multitalenta. Namun setidaknya kita telah mencoba untuk melakukan yang terbaik versi diri kita. Tak perlu kecewa jika belum bisa menjadi seseorang yang multitalenta. Masih ada kesempatan lain yaitu  dengan menjadi ‘multitalenan’. Istilah ini muncul sebagai pelengkap atau komplementer dari kata multitalenta. Sebagai bahan hiburan saat penat dan lelah melanda. Orang-orang yang tidak terlalu memiliki kemampuan yang menonjol akan dengan penuh kesadaran menempatkan posisi dirinya sebagai alat bantu untuk melakukan apapun sesuai kemampuan. Seperti melakukan hal-hal ringan di luar kebiasaan. Hal ini dapat diibaratkan talenan yang tidak hanya sebagai alas untuk memotong sayuran, tetapi juga bisa menjadi tatakan, atau bahkan bisa juga menjadi suvenir acara pernikahan. Berdasarkan hal tersebut dapat diasosiasikan sebagai orang-orang yang adaptif dalam situasi apapun, tanpa jaim atau gengsi melakukan hal-hal di luar zona nyaman. Sebagai contoh, seorang guru ASN tak perlu takut dikucilkan hanya karena ikut kerja bakti membersihkan lapangan, atau bahkan ikut arak-arakan sepanjang jalan. Dan tentunya tak perlu malu jika ada yang menyebut guru multitalenan. Cukup dibalas saja dengan candaan.

Tentu ada saat di mana kita butuh canda yang membawa bahagia. Gelak tawa yang membawa energi positif dapat memancarkan keceriaan bahkan mampu merangsang tubuh memproduksi hormon oksitosin dan serotonin. Hormon tersebut dikenal sebagai hormon  cinta dan kasih sayang. Yang jika terpenuhi, akan mampu meningkatkan imun dalam tubuh kita. Sangat dahsyat bukan? Sekarang tinggal pilih mau jadi multitalenta atau multitalenan?

 

 

Bagikan :