Bagai bumi dan langit, secarik kiasan yang tepat untuk menggambarkan antara lembaga pemerintah dengan dunia bisnis maupun industri. Dikotomi sektor publik (public sector) dan sektor swasta (private sector) tak dapat dipungkiri, memang sesuatu yang berbeda.
Coba kita kupas satu per-satu, lembaga pemerintah dapat dengan mudah dijumpai, mulai dari pemerintah pusat, melalui Kementerian dan Lembaga (K/L), hingga pemerintah daerah yang tersebar sampai perkampungan di desa-desa, sebagai warga negara (civil society), kiranya tidak ada suatu urusan yang tidak bersinggungan dengannya, bahkan terdapat anggapan bahwa, dari lahir sampai meninggal pasti berurusan dengan birokrasi pemerintahan, benar, masyarakat tidak bisa menghindari kenyataan itu.
Lain halnya pada dunia industri, dimotori oleh berbagai macam perusahaan melalui lini bisnisnya, masyarakat dapat menentukan keputusan sesuai kebutuhan sosial dan ekonomi, selaras apa mereka kehendaki atas barang berupa produk-produk yang dijajakan serta jasa yang sedang ditawarkan.
Aspek paling kentara dapat dibedakan, atas telaah komparatif kedua kutub berbeda ini, yaitu pada segi sumber anggaran dalam menyelenggarakan pelayanan yang disediakan. Pemerintah sebagian besar, bahkan hampir 80% masih mengandalkan dari penerimaan pajak, sebagaimana dapat diketahui, pada postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2023, kontribusi sektor perpajakan masih mendominasi sebesar 1.718,0 triliun.
Sementara untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya berkontribusi sebesar 441,4 triliun pada tahun yang sama, hal ini mengindikasikan akan ketergantungan Pemerintah kepada pungutan pajak, dalam konteks ini, diperoleh dari masyarakat pembayar pajak tentunya, kondisi Pemerintah Daerah tak jauh berbeda, dari rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih didominasi dari perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak daerah, disusul pendapatan dari Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki.
Perusahaan sebagai penjelmaan dari dunia bisnis dalam menjalankan manajemen dan operasionalnya, bertumpu pada penyertaan modal serta deviden laba, diperoleh dari keuntungan proses bisnis selama beberapa periode tertentu, terdapat pula jenis perusahaan yang telah menyandang predikat "go public" dengan membuka arus penyertaan modal bagi kelangsungan perusahaan kepada masyarakat luas. Atas dasar itulah, kecenderungan metode dan/atau gaya (style) pelayanan yang diberikan memiliki perbedaan cukup tajam.
Dapat disaksikan dalam pemberian pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan, contoh kecilnya, manakala tengah mengurus dokumen persyaratan administratif mendirikan bangunan, diwajibkan memiliki surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), pengurusan dokumen kependudukan, atau sekadar merubah data kependudukan di kantor kelurahan, fenomena akan lambannya proses tindak lanjut sampai memakan waktu berhari-hari, tak jarang, muka masam dan sikap kurang ramah dipertontonkan membuat masyarakat mengkerutkan dahi.
Berbeda jika membeli produk elektronik atau pelayanan perbankan, tampak jelas para petugas dan juga pegawai menunjukkan sikap antusiasme tinggi, dalam menawarkan produknya, dibaluti sikap ramah. Studi kasus ini cukup menarik jika dicermati lebih dalam, pada akhirnya memantik pertanyaan, apakah yang melatarbelakangi perbedaan pelayanan yang diberikan oleh masing-masing bidang ini? Apakah sebab hal pendapatan yang diperoleh, pola manajemen, ataukah budaya kerja organisasi memang berbeda? Telah banyak kajian dan penelitian yang mengupas perihal permasalahan tersebut, beberapa penelitian mayor mengetengahkan hipotesis sebagai berikut, "pengaruh pendapatan bagi peningkatan kinerja pegawai"?
Apakah besaran jumlah pendapatan yang diberikan oleh lembaga pemerintahan, biasa dikenal dengan istilah remunerasi (tunjangan kinerja, tambahan penghasilan pegawai (TPP) bagi ASN pemerintah daerah, dan komponen lainnya, seperti bonus, apresiasi, penghargaan akan prestasi kerja, dan lain sebagainya) memiliki pengaruh signifikan pada kinerja pegawai ASN? dan, apakah besaran jumlah pendapatan yang diperoleh karyawan swasta (entah itu gaji, fee atau bonus, akselerasi promosi oleh pihak manajemen, dan segala bentuk apresiasi lainnya) dapat meningkatkan motivasi dan kinerja karyawan? Jika memang benar aspek pendapatan dirasa cukup, atau sangat berpengaruh bagi performa, yang ditunjukkan melalui kinerja pegawai, apakah sektor swasta jauh lebih baik menerapkan manajemen kinerja tersebut? Bagaimana jika manajemen kinerja sektor swasta diterapkan pada sektor publik?
Perbaikan Manajemen Kinerja ASN
Kebijakan pemberian insentif atas imbal jasa, maupun pelaksanaan tugas pelayanan publik di luar komponen gaji utama sebagai seorang aparatur negara, telah diatur sedemikian rigid dan diimplementasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sejak 2007 silam, melalui mekanisme remunerasi, atau bagi kalangan ASN Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyebutnya sebagai tunjangan kinerja, pada berbagai jenjang jabatan fungsional maupun struktural di lembaga pemerintah.
Insentif kinerja berupa "payment" tersebut, diukur berdasarkan penilaian kinerja pegawai, setelah sebelumnya diharuskan mencapai indikator kinerja tertentu, kinerja dalam hal ini adalah kualitas dan kuantitas hasil pekerjaan, yang diberikan setelah sebelumnya diklasifikasi atas Analisis Beban Kerja (ABK) terhadap masing-masing pegawai ASN, serta mesti memenuhi atau melampaui indikator Kinerja Utama (IKU) pada skala kelembagaan, dan Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) pada tataran personal individu pegawai, untuk selanjutnya ditentukan berapa besaran tunjangan atas kinerja sesuai dengan kebijakan instansi.
Hal dimaksud guna mengantisipasi menjamurnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada tubuh birokrasi pemerintahan, dengan adanya penilaian kinerja lebih objektif. Sistem yang dibangun, dapat dikatakan sudah menunjukkan komitmen dari Pemerintah, dalam menghadirkan pola manajemen kinerja ASN yang lebih transparan dan akuntabel, sehingga berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi pegawai, agar dapat memberikan performa terbaiknya, atas terciptanya manajemen kinerja yang baik nan memenuhi rasa keadilan bagi setiap pegawai.
Remunerasi pegawai ASN menjadi isu prioritas reformasi birokrasi nasional, sebagaimana tertuang pada peta jalan (road map) yang disusun diperuntukkan rentang tahun 2010-2025 oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN-RB). Setelah sekian lama diterapkan, hasil evaluasi menunjukkan sistem remunerasi bagi pegawai ASN, nyatanya tidak terlalu berkorelasi positif terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja, khususnya dari segi pelayanan publik kepada masyarakat.
Praktik Baik (Best Practice) Penerapan Reinventing Government Pada Sektor Publik
Berita baiknya, banyak institusi pemerintah yang menerapkan konsep dan nilai-nilai reinventing government dalam praktik penyelenggaraan negara, salah satunya, Mal Pelayanan Publik (MPP), sebagai kreasi inovasi yang mengintegrasikan beberapa pelayanan publik dari berbagai instansi dalam satu wadah, menyerupai Mal sebagai pusat perbelanjaan pada umumnya, dijumpai pula kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Dinas Penanaman Modal di salah satu kota besar di Jawa Timur, yang menyulap kantornya seperti ruang pelayanan di sebuah perbankan, pelayanan yang diberikan cukup lengkap, meliputi perijinan dan permodalan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sampai perusahaan nasional dengan Penyertaan Modal Dalam Negeri (PMDN) bernilai besar.
Penerapan reward atau pemberian apresiasi, seperti penyematan karyawan teladan instansi yang diterapkan beberapa Kementerian dan Lembaga Pemerintah Pusat, menjadi praktik baik reinventing government, pada khususnya agar memicu motivasi kinerja pegawai lebih baik, berupaya menumbuhkan semangat berprestasi (need for achievement) secara berkala.
Perlu digaris bawahi, berkenaan perubahan arah baru remunerasi pegawai di institusi pemerintah, tidak melulu soal besaran jumlah pendapatan yang diperoleh atas hasil kinerjanya bagi instansi, namun dapat pula berupa apresiasi, yang mana akan mendorong peningkatan kinerja secara psikologis.
Internalisasi Konsep Reinventing Government Sebagai Solusi Remunerasi Kini dan Nanti
Salah satu prinsip reinventing government (mewirausahakan birokrasi), yaitu dengan merubah budaya kerja (work culture) di tubuh kelembagaan pemerintah. Pentingnya budaya kerja akan perubahan menuju manajemen kinerja yang lebih efektif dan efisien, telah secara masif diterapkan oleh institusi bisnis, banyak perusahaan nasional hingga multinasional (multinational corporation/MNC's) di berbagai belahan dunia, berhasil melejit menjadi pemimpin pasar (market leader) pada lini bisnis unggulan masing-masing.
Budaya kerja yang efektif, terutama dalam memberdayakan para karyawan, serta pemberian besaran jumlah pendapatan yang proporsional dan kompetitif, sesuai dengan apa yang dihasilkan (output) dari kualitas dan kuantitas kinerjanya, berbanding lurus pada peningkatan performa perusahaan, selain memantik motivasi kerja yang tinggi terhadap karyawan.
Institusi pemerintah mesti berkaca akan kondisi demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa, sektor publik tidak mempunyai tujuan memperoleh keuntungan seperti halnya sektor swasta, namun tidak ada salahnya jika internalisasi budaya kerja, dan sistem manajemen kinerja dari sektor swasta diterapkan pada sektor publik, jika bernilai positif terhadap perubahan ke arah lebih baik bagi pelayanan publik ke depan.
Dimulai pada pola pikir (mindset) feodal aparatur negara, dari ingin dilayani, menjadi melayani masyarakat, serta memposisikan masyarakat sebagai pelanggan selayaknya sektor swasta, sehingga adagium "pelanggan adalah raja" terpatri dalam diri setiap pelayan publik, paling tidak masyarakat merasa dirinya dimanusiakan atas pelayanan yang ramah dan fasilitatif.
Kerja sama pemerintah dengan sektor swasta, government to business (G to B) dapat dilaksanakan, guna menghadirkan kolaborasi berupa kemitraan strategis bagi kedua belah pihak, pertukaran pegawai misalnya, dalam arti sebagai upaya pembelajaran antar institusi, kerja sama pengembangan pegawai secara berkesinambungan, dan lain-lain.
Goals yang hendak dicapai, institusi pemerintah akan lebih lincah (agile) merespon kondisi kekinian dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, sang pemilik kedaulatan negara sesungguhnya, diawali dari hadirnya sistem remunerasi bagi ASN Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara proporsional selaku penggerak birokrasi.