Apa kira-kira yang terlintas di benak khalayak, tatkala memberikan sebuah pendapat ataupun kesan akan profesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN)? Beberapa masyarakat, khususnya para generasi z dan milenial, sudah barang tentu memiliki motif ketertarikan tersendiri, untuk menapaki karir di institusi naungan pemerintah tersebut.
Sangat beragam, ada yang sebab hal ingin mendapatkan pendapatan yang stabil, jenjang jabatan yang jelas, tidak dibebani akan adanya capaian target tertentu, tidak seperti pada sektor swasta (private sector), masih memegang teguh idealisme untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang didapat semasa menempuh pendidikan pada jenjang perguruan tinggi, ada pula yang masih berpikiran kuno, semisal, menganggap profesi sebagai seorang aparatur negara, akan mendapat kesan prestisius di tengah masyarakat, dan lain sebagainya.
Anggapan demikian bukanlah bualan belaka, namun memang tak dapat dipungkiri, dari sekian jajak pendapat yang telah dilakukan, mengungkapkan pandangan yang tidak jauh berbeda seperti yang telah disebutkan di atas.
Seiring berjalannya waktu, sistem manajemen ASN kita, telah menunjukkan perkembangan (progress) menuju tata kelola birokrasi yang lebih baik, dimulai dengan sistem rekrutmen dan seleksi yang transparan dan berbasis digitalisasi, penerapan sistem merit (merit system) dalam manajemen kepegawaian memberikan pola penilaian kinerja lebih efektif dan fair bagi segenap anak bangsa, dalam memberikan kontribusi positif bagi perubahan transformasional, akan penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik di berbagai sektor.
Memangkas Kesenjangan, Melampaui Keterbatasan Pelayanan Publik
Pemerintah Indonesia, melalui beberapa lembaga serta instansi, tengah berkolaborasi menancapkan tujuan jangka panjang bersama dalam mencapai kondisi birokrasi berkelas dunia (world class bureaucracy), melalui berbagai upaya strategis, dimulai dari peningkatan kualitas dan kapabilitas pegawai ASN, dengan metode pengembangan kompetensi, baik bersifat nasional (terpusat pada program kelembagaan vertikal penyedia pendidikan dan pelatihan) maupun dapat dilakukan secara mandiri (atas inisiatif pribadi pegawai ASN untuk meningkatkan kapasitas dirinya).
Kualitas dan kuantitas penyediaan pelayanan publik (public services) kepada masyarakat, acapkali dirasa mengalami kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, pada pelayanan sektor pendidikan, kendati negara telah menjamin sebesar 20% pembiayaan untuk bidang pendidikan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagaimana diketahui, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengucurkan sekitar Rp. 660, 8 triliun, nyatanya pemerataan akses pendidikan yang bermutu, tidak dapat dengan mudah diperoleh para generasi penerus bangsa kita.
Para tenaga pendidik, sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan pendidikan, belum sepenuhnya dapat mengemban tugas dan tanggung jawabnya secara nyaman tanpa rasa cemas, keterbatasan sarana dan prasarana, masih ditemui di berbagai daerah, selain aspek kesejahteraan yang kerap menggelayuti mereka. Telah banyak program dicetuskan, salah satu yang paling kentara adalah hadirnya Program Pendidikan Profesi Guru Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (PPG 3T), nyatanya tak cukup signifikan memangkas kesenjangan yang ada.
Lain halnya pada sektor kesehatan, di tengah gencarnya pembangunan fasilitas kesehatan (faskes), ditandai dengan banyak berdirinya rumah sakit baru, khususnya di wilayah timur indonesia, tak dibarengi akan penyediaan tenaga kesehatan yang mumpuni.
Keterbatasan penyediaan pelayanan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat juga tersendat, kebijakan dan program yang diformulasikan terkesan hanya bersifat distributif cenderung populis, mutlak tidak ada solusi berarti, selain menggelontorkan bantuan sosial (bansos) dan bantuan langsung tunai (BLT) yang cenderung mengarah pada tindakan konsumtif nan kontraproduktif bagi rakyat. Pada prinsipnya pelayanan publik dasar, menjadi tolok ukur pertama dalam meninjau keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam mengukur performa ASN di dalamnya, tidak hanya terbelenggu angka-angka yang terpampang pada Indeks Pelayanan Publik (IPP), serta indeks-indeks lainnya yang telah dibuat sebelumnya.
Menanamkan Nilai Kekaryaan dan Inovasi Bagi ASN
Teramat banyak berbagai program dan kegiatan, yang dirumuskan dalam melakukan pengembangan kompetensi pegawai ASN pada semua level pemerintahan, entah itu Pemerintah Pusat di Kementerian dan Lembaga, hingga Pemerintah Daerah, pemberian pendidikan dan pelatihan (diklat) teknis, fungsional maupun pengawas, dirasa belum cukup berdampak pada peningkatan kinerja teknis dan manajerial, pasca para pegawai ASN tersebut kembali menjalani pekerjaan pada bidangnya masing-masing. Kondisi faktual memperlihatkan, pegiat pelayanan publik ini, masih menerapkan pola lama dalam berkinerja, hanya sebatas menunaikan tugas untuk mengabdi (business us ussual), tidak ada terobosan maupun langkah perubahan yang digagas, alih-alih berinovasi.
Jika ditilik lebih dalam, sejatinya terdapat beberapa program digagas, guna memantik minat serta menggali rasa antuasias dalam menelurkan bermacam-macam ide dan gagasan yang bersifat inovatif itu, diantaranya terdapat program Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP), bisa mewadahi pelayan publik ini dalam berkarya dan berinovasi sesuai bidang pelayanannya, tersimpan pada ruang inkubasi digital di Sistem Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik). Baru-baru ini, ajang kompetisi serupa juga telah digelar, sebagai replika untuk mewadahi ide dan gagasan dari para ASN muda.
Permasalahan klasik dan bahaya laten yang menghinggapi manajemen ASN selama ini, spesifik terhadap pola pengembangan kompetensi, masih berkutat akan tidak adanya keberlanjutan (sustainability) dari program-program yang dibuat dan tengah dijalankan, bahkan dapat dikatakan hanya sekadar seremonial belaka, tidak menyentuh segi substantif dengan mengutamakan penilaian hasil (output) dan dampak (outcome) secara komprehensif.
Ibarat pohon atau tanaman yang merupakan makhluk hidup, manusia dapat bertumbuh dan berkembang, jika disemai pupuk dan dirawat dengan bijak.
Jika pada konteks kelembagaan, dikenal akan adanya konsep organisasi pembelajar (learning organization), maka, dalam pendekatan personal ASN, dapat mengilhami pemahaman akan perlunya sebagai pembelajar sepanjang hayat (lifelong learning), proses pembelajaran secara kontinyu tersebut, diharapkan mampu menumbuhkan nilai-nilai kekaryaan dan inovatif bagi ASN, di tengah era kecanggihan teknologi seperti saat ini, segala sumber daya (resources), pengetahuan, kompetensi teknis, manajerial, hingga critical thinking dapat dengan mudah serta murah diakses dalam rangka pengembangan kompetensi.
ASN akan semakin merdeka belajar, secara leluasa dan bertanggung jawab akan dirinya sendiri, untuk lebih berinovasi melalui berbagai lini pelayanan publik yang difasilitasi oleh instansinya. Makna "merdeka" di sini, manakala kebebasan yang diberikan dalam meningkatkan kapasitas diri tidak terbentur oleh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, namun justru sebaliknya, akan menjadi sarana bagi ASN untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki, sebagai pencapaian tujuan dalam memajukan negeri.
Menemui kegagalan saat percobaan dalam berinovasi, merupakan hal wajar, seperti halnya sang penemu bohlam lampu pijar, Thomas Alfa Edison yang telah gagal seribu kali dalam upayanya menemukan alat mekanis sebagai sumber cahaya guna menerangi penghuni bumi, sama halnya bagi seorang aparatur negara, berani berinisiasi, terus mencoba, walau dibayangi kegagalan, demi mewujudkan ribuan, bahkan tak terhingga inovasi-inovasi melalui hasil karyanya dalam memberikan pelayanan publik, haruslah menjadi identitas dan branding kalangan ASN masa kini.