METAMORFOSIS BKKBN : KEBERMANFAATAN YANG LEBIH LUAS DEMI TERWUJUDNYA KELUARGA BERKUALITAS

Gambar sampul METAMORFOSIS BKKBN : KEBERMANFAATAN YANG LEBIH LUAS DEMI TERWUJUDNYA KELUARGA BERKUALITAS

Berawal dari sebuah organisasi swasta pada tahun 1957, nomenklatur Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengalami beberapa kali perubahan hingga pada 21 Oktober 2024 lalu resmi menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN. Sebelumnya, BKKBN juga telah beberapa kali melakukan rebranding agar lebih dekat dengan masyarakat pasca kebijakan desentralisasi dan praktik otonomi daerah di Indonesia. Pada tahun 2019, rebranding BKKBN bertujuan untuk membangun engagement dengan generasi milenial dan zilenial yang mendominasi jumlah penduduk Indonesia.

Pada tahun 1998, BKKBN pernah dibentuk menjadi Kementerian dengan tugas utamanya terkait dengan pengendalian penduduk dan penyelenggaraan Keluarga Berencana. Saat itu, permasalahan kependudukan di Indonesia didominasi oleh tingginya pertumbuhan penduduk yang berdampak buruk pada sosial dan ekonomi masyarakat serta lingkungan. Seiring dengan meningkatnya pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masyarakat serta pesatnya pertumbuhan teknologi, permasalahan kependudukan pun mengalami perubahan.

Setelah 26 tahun, kini BKKBN kembali diberikan amanah menjadi Kementerian yang kemudian disebut Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (KemenKPK/BKKBN). Diubahnya status badan menjadi kementerian khusus ini tentunya karena adanya urgensi dan krusialnya permasalahan kependudukan di Indonesia yang membutuhkan koordinasi lintas sektor. Salah satunya agar instansi yang lekat dengan slogan ‘’dua anak cukup’’ ini dapat menahkodai perjalanan pembangunan kependudukan di Indonesia melalui pembangunan keluarga yang berkualitas.

Meskipun jumlah penduduk Indonesia masih cukup besar dan diproyeksikan terus bertambah hingga 328,93 juta jiwa pada tahun 2050, namun diperkirakan Indonesia akan mengalami penurunan populasi sekitar tahun 2060-2070 (United Nations, 2024). Di satu sisi Indonesia harus memperbaiki kualitas penduduk demi memetik peluang bonus demografi yang akan berakhir pada tahun 2040-an (BPS, 2023). Di sisi lain Indonesia harus tetap menjaga keseimbangan kuantitas penduduk agar tidak mengalami kekurangan penduduk usia muda dan didominasi oleh penduduk lansia seperti negara Jepang, Korea Selatan, dan China karena kondisi tersebut akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Ditambah lagi dengan adanya disparitas pembangunan kependudukan antar wilayah di Indonesia yang membutuhkan intervensi secara spesifik sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Kompleksitas masalah kependudukan itulah menjadi akar perlunya transformasi kelembagaan yang menangani kependudukan dengan pendekatan keluarga.

Keberhasilan BKKBN dalam mengatasi ledakan penduduk di tahun 1970-an melalui Program Keluarga Berencana (KB) menjadi salah satu pertimbangan Presiden Prabowo Subianto memberikan kepercayaan dan tanggung jawab lebih besar kepada BKKBN dari sebuah badan menjadi kementerian untuk memecahkan berbagai lika liku pembangunan kependudukan di Indonesia yang semakin kompleks. Berbagai isu kependudukan sedang dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya terkait besarnya kuantitas penduduk namun juga terkait kualitasnya mulai dari tingginya prevalensi stunting, peluang bonus demografi yang ditandai tingginya jumlah usia produktif 15-64 tahun, ageing population, hingga fenomena childfree.

Di antara beragamnya problematika kependudukan yang ada, stunting masih menjadi salah satu permasalahan kependudukan yang masih menjadi prioritas Pemerintah Indonesia karena dampaknya sangat besar terhadap kualitas penduduk Indonesia. Anak yang stunting tidak hanya berdampak pada fisiknya yang lebih pendek dari anak sesusianya tetapi juga menurunnya kemampuan intelektual, kekebalan tubuh, serta produktivitasnya kelak ketika dewasa. Angka prevalensi di Indonesia masih tinggi bahkan belum mencapai standar minimal dari Badan Kesehatan Dunia/World Health Orgazization (WHO) yaitu di bawah 20%. Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 menunjukkan prevalesi stunting di Indonesia masih di angka 21,5%, artinya lebih dari seperlima dari anak balita yang sedang tumbuh mengalami stunting. Angka tersebut hanya turun 0,01% dari tahun 2022, sedangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ditargetkan prevalensi stunting turun menjadi 5% pada tahun 2045.

Pada tahun 2021 BKKBN mendapat mandat dari Presiden RI ke-7 Republik Indonesia menjadi Ketua Pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting (PPS) di Indonesia. Amanah besar tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Namun dalam 3 tahun perjalanannya, penurunan prevalensi stunting belum mencapai target yang diharapkan. Kewenangan yang terbatas sebagai Lembaga Negara Non Kementerian menjadi salah satu faktor belum optimalnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan PPS secara horizontal (seluruh Kementerian/Lembaga terkait) maupun vertikal (pemerintah daerah).

Untuk mengatasi masalah kependudukan khususnya stunting, KemenKPK/BKKBN tidak dapat berjuang sendiri, perlu adanya kerja sama dengan semua pihak terkait. Adapun pihak terkait yang dimaksud merupakan kolaborasi pentahelix yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan masyarakat. Semua pihak harus saling mendukung dan memberikan perannya masing-masing. Selain itu juga penanganan stunting membutuhkan proses yang panjang, utamanya dimulai dari perbaikan kondisi kesehatan remaja yang nantinya akan menjadi ibu dan kondisi ibu hamil sampai dengan bayi berusia 2 tahun. Memerangi stunting membutuhkan kesabaran dan komitmen bersama.

Keluarga, tempat pertama seorang anak mengenal dunia dan segala isinya, memiliki andil yang besar terhadap kualitas tumbuh kembangnya. Untuk itu, pentingnya menggunakan pendekatan keluarga sebagai strategi memecahkan berbagai permasalahan penduduk khususnya stunting dimana keluarga menjadi awal mula penyebab stunting itu berasal. Keluarga yang memiliki faktor risiko stunting seperti kemiskinan, pendidikan rendah, ada anggota keluarga yang merokok, sanitasi dan air minum tidak layak, kehamilan yang tidak disadari biasa disebut dengan keluarga berisiko stunting. Beberapa risiko tersebut dapat dicegah apabila keluarga dibangun atas dasar perencanaan yang baik.

Pembangunan keluarga melalui perencanaan berkeluarga yang baik tidak hanya menjadi salah satu upaya menurunkan stunting tetapi juga dapat berkontribusi pada permasalahan kependudukan yang lain seperti kematian ibu, kematian bayi, termasuk pengangguran dan perceraian. Perencanaan keluarga dapat dimulai sejak remaja dengan beberapa hal yang dapat direncanakan yaitu merencanakan usia pernikahan, merencanakan menjadi orang tua yang sehat, mengatur jumlah anak dan jarak kelahirannya, serta merencanakan perawatan dan pengasuhan anak. Upaya pembangunan keluarga tersebut juga tidak terlepas dari peran dan dukungan seluruh pihak termasuk masyarakat.

Transformasi BKKBN dari sebuah badan menjadi kementerian diharapkan memberi kekuatan lebih untuk merangkul seluruh stakeholder dalam rangka bahu membahu mengurai permasalahan kependudukan di Indonesia. Harapannya, tidak hanya bertransformasi secara kelembagaan tetapi juga bermetamorfosis meluaskan kebermafaatan demi terciptanya keluarga berkualitas yang menjadi modal utama tercapainya Indonesia Emas 2045.

Bagikan :