Merenung adalah sikap diri yang dengan sadar memahami terhadap apa yang sedang dihadapi, serta mampu mengevaluasi segala kekurangan penyebab masalah yang terjadi. Merenungi kondisi negara yang tidak sedang baik-baik saja saat ini menjadi alasan harus flashback ke masa ratusan tahun lalu. Dongeng yang senantiasa dihadirkan para sesepuh, tentang perubahan suatu zaman, tentang carut marut tatanan sebuah negara adijaya, dan tentang segala hal yang dijungkir-balikkan. Apakah kini dongeng itu benar-benar terjadi?
Sejarah Ramalan Jayabaya
Ramalan Jayabaya atau dikenal Jangka Jayabaya hadir dalam kasusasteraan Jawa, dipercaya sebagai karya Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Karya sastra ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Dari berbagai informasi mengenai Jangka Jayabaya, pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber sebenarnya adalah Kitab Asrar (Musarar), karangan Sunan Giri Prapen (Sunan Giri ke-3) di Giri Kedaton yang dikumpulkannya pada 1540 Jawa atau 1618 Masehi. Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) yang dikarang pada 1666 – 1668 Jawa atau 1741-1743 Masehi. Kini, Jangka Jayabaya dikenal sebagai gubahan Kitab Musarar atau Kitab Asrar.
Kitab Asrar memuat ringkasan mengenai riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara beserta kepemimpinannya sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Kerajaan Majapahit, lalu berganti Ratu Hakikat, yakni sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai Giri Kedaton. Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478 – 1481 Masehi, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali.
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi, yakni dengan cara mengambil pokok atau permulaan kisah Raja Jayabaya dari Kediri yang bersumber dari Kakawin Bharatayudha, Kakawin Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya yang dikarang oleh dua mpu dan hidup sezaman dengan Raja Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada 1079 Jawa atau 1157 Masehi. Setelah mendapat data baru tentang Raja Jayabaya yang memang dikenal rakyatnya pandai meramal, selanjutnya Pangeran Wijil I menuliskannya kembali melalui gubahan berjudul Jangka Jayabaya.
Kaliren ing Lumbung Pari ‘Kelaparan di Lumbung Padi’
Indonesia dijuluki Zamrud Khatulistiwa, karena memiliki kekayaan berlimpah ibarat batu zamrud yang indah. Selain terletak di bawah garis ekuator atau khatulistiwa, Indonesia sangatlah indah dilihat karena gugusan kepulauannya. Indonesia memiliki hamparan hijau yang menyejukkan mata bak batu zamrud, dikelilingi oleh banyaknya hutan hujan tropis, pegunungan, sabana, hingga lautan yang memesona. Oleh karenanya, Indonesia sangat kaya akan Sumber Daya Alam. Oleh para pendahulu, pemanfaatan Sumber Daya Alam telah dilakukan sejak ratusan tahun lamanya, sehingga tak heran Indonesia kala itu dianggap salah satu negeri terkaya di dunia dalam bidang agraria dan maritim. Pun demikian pula Indonesia dikenal sebagai negeri penghasil aneka pertambangan yang tiada batas.
‘Kaliren ing Lumbung Pari’ merupakan salah satu dari sekian banyak isi Ramalan Jayabaya, ditulis sang pujangga Jayabaya, sekaligus Raja Kediri yang dikenal memiliki kemampuan astronomi dan astrologi mumpuni. Ilmu berhitung tentang perubahan suatu zaman yang menyebabkan suatu negeri gemah ripah loh jinawe yang kini kita kenal bernama Indonesia, diramalkan akan mengalami zaman kesuraman yang disebabkan oleh keserakahan dan jungkir-baliknya keadaan.
Sebagai negara yang memiliki kekayaan alam tak terbatas, akan sangat mengherankan jika rakyatnya mengalami masa kesulitan. Dari segi agraria, produksi pangan kita luar biasa, sehingga dengan lantang pendahulu menyebut negeri kita ‘berdaulat pangan’. Dari segi maritim, potensi yang dihasilkan lautan kita melimpah ruah, oleh karenanya tak heran pula Indonesia mendapat julukan ‘surga dunia’. Dari segi pertambangan, Indonesia adalah salah satu penghasil tambang terbesar di dunia, tak ayal negeri kita menjadi dambaan sekaligus bidikan banyak mata. Lantas yang terjadi kini, mitos ataukah fakta, ungkapan ‘Kelaparan di Lumbung Padi?’
Wolak-Waliking Zaman ‘Jungkir-Baliknya Zaman’: Berharap Pelangi di Penghujung Hujan
Bait terakhir Ramalan Jayabaya berkisah tentang pedihnya nasib seseorang yang hidup di negeri kaya raya, karena sulitnya mencari pangan, sehingga menyerupai gabah den interi atau ‘kebingungan yang berkepanjangan’. Wolak-waliking zaman atau jungkir baliknya suatu zaman, di mana timah dianggep perak, emas diarani tembaga atau ‘timah dianggap perak, emas dianggap tembaga’, sehingga banyak orang yang beranggapan dhandhang minangka kuntul atau ‘burung gagak dikatakan burung bangau’.
Program efisiensi anggaran ditetapkan pemerintah dan diterapkan di beberapa pos belanja negara sebagai imbas dari banyaknya ‘lubang-lubang’ yang harus segera ditambal, agar negara tetap baik-baik saja. Dampaknya, jelas dirasakan semua kalangan, terutama kalangan bawah. Pemangkasan anggaran terhadap belanja negara yang dianggap tidak terlalu vital, berdampak pada pengurangan bahkan penundaan penghasilan, ujung-ujungnya berdampak pula pada PHK massal. Jika memang alasannya adalah ‘menambal lubang-lubang’, apakah telah dipertimbangkan dari mana ‘bahan tambal’ itu didapatkan. Jika ujung-ujungnya ‘bahan tambal’ didapatkan dari membuat ‘lubang-lubang’ baru di dalam pekarangan, apakah program ‘penambalan’ atas nama efisiensi itu menjadi solusi final?
Sebagai akhir flashback akan Ramalan Jayabaya, harapan terbesar adalah para kawula padha suka-suka, amarga adiling Pangeran wus teka, ratune nyembah kawula, angagem trisula wedha, para pandhita hiya padha muja, hiya iku momongane kaki Sabdopalon, sing wis adu wirang nanging kondhang, genaha kacetha kanthi njingglang, nora ana wong ngresula kurang, hiya iku tandane kalabendu wis minger, genti wektu jejering kalamukti, handayani idering jagad raya, padha asung bekti. Artinya: ‘rakyat bersuka cita, karena telah datang keadilan dari Tuhan, pemimpin mengabdi pada rakyat, menggunakan ajaran agama, para pemuka agama memberikan dukungan, ialah hasil didikan Sabdopalon (alam), yang telah ditempa kesulitan tetapi tetap berdiri, sudah terlihat sejelas-jelasnya, tidak ada rakyat mengeluh kesulitan, itulah tanda zaman kesuraman telah hilang, berganti zaman kejayaan, kebaikan mengelilingi jagat raya, bersama-sama memberikan darma bakti.
***