Pada 2018, Mahkamah Agung membatalkan pengangkatan Sekretaris Desa Boloagung melalui Putusan Nomor 86 PK/TUN/2018. Keputusan ini bukan sekadar angka dalam berkas perkara, melainkan cermin retaknya fondasi tata kelola pemerintahan. Pelanggaran terjadi terhadap ketentuan yang jelas dan tegas: Pasal 15 huruf j Perda Kabupaten Pati Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Nepotisme. Bagaimana mungkin sebuah peraturan yang seharusnya menjadi kompas, justru dilangkahi dengan mudah? Pertanyaan ini bukan hanya tentang satu kasus, tetapi tentang sistemik: Sudahkah kita membangun budaya hukum di kalangan ASN yang mampu menjadi benteng terhadap penyimpangan, atau justru terperangkap dalam rutinitas administratif yang membutakan nalar kritis?
Mengetahui Hak Bukanlah Pemberontakan, Melainkan Kepatuhan Cerdas
Dalam konteks kepegawaian, “mengetahui hak” bukanlah sekadar menghafal pasal-pasal. Esensinya adalah memiliki kapasitas untuk memahami ruang lingkup kewenangan, batasan yang tidak boleh dilanggar, serta mekanisme hukum yang tersedia ketika terjadi penyimpangan. Ini adalah bentuk kesadaran hukum yang menjadi fondasi tata kelola pemerintahan yang baik. Pengetahuan yang menjadi tameng untuk melindungi integritas individu dan institusi dari praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan mengetahui hak, seorang ASN tidak lagi menjadi bagian dari masalah, tetapi menjadi bagian dari solusi.
Studi Komisi Pemberantasan Korupsi (2022) menunjukkan bahwa 67% pelanggaran disiplin ASN bersumber dari ketidaktahuan terhadap peraturan yang berlaku. Data ini mengkonfirmasi temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bahwa hanya 42% ASN yang memahami implikasi hukum dari keputusan yang mereka tanda tangani. Ini bukan sekadar masalah kapasitas individu, melainkan kegagalan sistemik dalam membangun kesadaran hukum yang organik.
Dalam konteks Putusan MA 86/PK/TUN/2018, kita menyaksikan bagaimana mekanisme pengawasan internal gagal berfungsi. Kepala Desa sebagai pejabat pembina kepegawaian level terendah, justru menjadi pelaku pelanggaran. Ini menunjukkan bahwa hierarki birokrasi tidak otomatis menjamin penegakan hukum yang baik.
Dampak Fatal Mengabaikan Peta Hukum
Kisah Pengangkatan Sekretaris Desa Boloagung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 86 PK/TUN/2018 adalah cermin yang nyata. Kepala Desa sebagai pejabat negara level terdepan menerbitkan keputusan yang ternyata cacat hukum karena melanggar Peraturan Daerah mengenai larangan nepotisme. Indikasi fatal dari ketidaktahuan atau pengabaian terhadap hak dan aturan ini sangat jelas:
Melemahnya Prinsip Meritokrasi. Pengangkatan yang diduga bermuatan nepotisme mengubur prinsip the right man on the right place. Akibatnya, kompetensi dan kinerja birokrasi secara keseluruhan terancam. Bukan kemampuan yang berbicara, melainkan kedekatan darah dan hubungan personal. Ini adalah awal dari degradasi kualitas pelayanan publik.
Erosi Kredibilitas Institusi. Keputusan yang tidak objektif merusak kepercayaan publik. Masyarakat akan memandang birokrasi bukan sebagai pelayan, tetapi sebagai klub eksklusif yang tertutup. Citra pemerintah sebagai institusi yang adil dan profesional pun runtuh di mata rakyat.
Kerugian Negara dan Denyut Hukum yang Tumpul. Proses pembatalan keputusan yang cacat memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara hingga Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Ini adalah pemborosan sumber daya negara yang seharusnya bisa dicegah. Selain itu, budaya “tidak tahu” atau “tidak peduli” terhadap aturan membuat denyut nadi penegakan hukum dalam birokrasi melemah. Pelanggaran dianggap sebagai hal biasa, dan budaya hukum pun menjadi lumpuh.
Dari Pengetahuan Menuju Aksi Nyata
Lantas, bagaimana membangun kerangka ideal di mana ASN bukan hanya tahu, tetapi juga berani bertindak berdasarkan haknya? Berikut adalah langkah-langkah konkret yang dapat diwujudkan:
Literasi Hukum Aktif dan Kontekstual: Pelatihan kepegawaian tidak boleh berhenti pada teknik administratif yang kaku. Harus ada modul khusus yang membedah studi kasus nyata, seperti Putusan MA 86/PK/TUN/2018. Dengan mempelajari kasus ini, ASN tidak hanya memahami teori, tetapi juga melihat langsung konsekuensi hukum dari setiap tindakan administratif yang mereka lakukan. Pelatihan harus bersifat dialogis, memicu analisis kritis, dan mendorong ASN untuk menilai kembali keputusan yang mereka ambil sehari-hari.
Membangun Sistem Pelaporan yang Kredibel dan Protektif: ASN yang mengetahui adanya pelanggaran harus dilindungi oleh sistem yang aman, terpercaya, dan independen. Rasa aman ini akan mendorong mereka untuk melaporkan penyimpangan tanpa rasa takut terhadap sanksi atau intimidasi. Sistem ini harus menjamin kerahasiaan pelapor dan memberikan perlindungan hukum yang nyata. Dengan demikian, ASN tidak merasa sendirian ketika berdiri untuk kebenaran.
Integrasikan Audit Hukum dalam Setiap Kebijakan: Setiap rancangan peraturan, keputusan, atau kebijakan internal harus melalui proses legal check yang ketat dan mendalam. Libatkan Pejabat Pembina Kepegawaian dan unit hukum secara proaktif sejak dini, bukan hanya sebagai stempel di akhir proses. Tujuannya adalah memastikan keselarasan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sekaligus mengidentifikasi potensi celah hukum yang dapat disalahgunakan.
Kepemimpinan yang Menjadi Teladan Hukum: Kepemimpinan di setiap level, dari eselon hingga pimpinan instansi, harus mencontohkan kepatuhan hukum dalam setiap tindakan dan keputusannya. Ketika pimpinan konsisten menggunakan ‘kompas hukum’, maka bawahan akan dengan mudah mengikutinya. Kepemimpinan yang berintegritas akan menciptakan budaya organisasi yang menolak segala bentuk penyimpangan. Dalam hal ini, pimpinan bertindak sebagai guru sekaligus penjaga gawang nilai-nilai good governance.
Seruan untuk Aksi Nyata
Mengutip filosofi hukum, ignorantia juris non excusat—ketidaktahuan terhadap hukum bukanlah sebuah alasan. Prinsip ini harus menjadi pengingat yang terus bergema di hati dan pikiran setiap ASN. Kasus Boloagung adalah alarm yang membangunkan kita dari tidur panjang dan kenyamanan semu. Sudah waktunya kita bertransformasi dari abdi yang hanya menunggu perintah, menjadi ASN yang proaktif, kritis, dan berintegritas.
Membangun budaya hukum bukan tentang menciptakan ASN yang takut pada hukum, tetapi tentang memberdayakan ASN untuk menggunakan hukum sebagai alat mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas. Pada akhirnya, kedaulatan hukum dalam birokrasi bukanlah tujuan, melainkan jalan untuk mewujudkan cita-cita konstitusi: melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Dengan mengetahui hak dan kewajiban, kita tidak hanya melindungi diri sendiri dari jerat hukum, tetapi juga membentengi martabat institusi yang kita layani. Kita adalah ujung tombak perbaikan tata kelola negara. Mari pegang erat ‘peta’ dan ‘kompas’ hukum itu, karena dengan itu, kita bukan sekadar menjalankan tugas, tetapi sedang membangun peradaban birokrasi yang lebih bersih, adil, dan visioner untuk Indonesia. Ketahuilah Hak Anda, lalu Beranilah Bertindak Benar. Masa depan birokrasi yang terhormat ada di genggaman kita.
Transformation dimulai dari kesadaran, dibangun melalui sistem, dan dipertahankan melalui konsistensi. Saatnya kita merajut kembali kedaulatan hukum sebagai jiwa dari setiap tindakan administratif, karena dalam setiap keputusan yang taat hukum, terdapat kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa yang berkelanjutan.