Menyulam Kembali Kain Birokrasi yang Robek

Gambar sampul Menyulam Kembali Kain Birokrasi yang Robek

Di balik tumpukan berkas, dan deretan peraturan, ada denyut nadi yang seringkali terlupakan: nadi keadilan. Setiap hari sebagai ASN, kita bukan hanya mengelola administrasi, sejatinya memegang amanah dan masa depan sesama. Setiap tanda tangan yang kita cantumkan, setiap keputusan yang kita keluarkan, bagai sebuah jahitan pada kain besar bernama Negara. Apakah jahitan itu akan memperkuat, atau justru merobeknya?

Kisah Ibu Roza Sriwalinda, S.Pd., seorang Guru PPPK dari Riau, bagai cerita rakyat modern yang mengusik nurani kita semua. Ia bukan sekadar nama dalam berkas gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru. Ini cermin di mana kita semua, para abdi negara, dapat bercermin. Apakah wajah kita, wajah seorang pelayan publik yang teguh pada prinsip, atau wajah yang telah tergerus oleh mekanisme kekuasaan?

Tulisan ini hadir bukan untuk menghakimi, tetapi untuk berefleksi diri. Mari kita telusuri bersama kisah ini, bukan hanya sebagai sebuah studi kasus hukum, tetapi sebagai sebuah pelajaran berharga tentang arti integritas, kolaborasi, dan keberanian untuk memperbaiki yang salah. Panggilan bagi kita semua untuk menjadi bagian dari solusi.

Ketika Aturan Kehilangan Ruhnya

Sebelum kita membahas solusi, kita harus dengan jernih memahami persoalan yang ada. Ibu Roza bukanlah kasus statistik. Ia adalah seorang pendidik yang dengan susah payah meraih nilai 582 dalam seleksi PPPK, untuk mengungguli rekan sejawatnya. Aturan main, yang tertuang dalam Kepmen PANRB Nomor 649 Tahun 2023, jelas: yang terbaik berhak atas formasi di sekolah induknya. Pihak SMA Negeri 1 Peranap pun membenarkan adanya satu formasi untuk guru Fisika.

Namun, apa yang terjadi? Keputusan Gubernur Riau justru menempatkannya di SMA Negeri 1 Batang Cenaku, sebuah sekolah yang ironisnya sudah memiliki tiga guru Fisika. Bayangkan betapa pedihnya hati seorang guru yang berprestasi. Bukan hanya harus beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi juga menghadapi ancaman tidak tercapainya tunjangan profesi karena jam mengajar yang tidak memadai. Suatu kerugian yang nyata, baik secara materiil maupun nonmaterial.

Lalu, muncul sebuah fakta yang seperti potongan puzzle terakhir yang menyempurnakan gambar. Ibu Roza, pelapor kecurangan dalam seleksi PPPK tahun sebelumnya. Sebuah tindakan berani yang justru seharusnya diapresiasi. Namun, realita yang tampak justru sebaliknya. Penempatan yang tidak masuk akal ini menguatkan dugaan adanya "hukuman terselubung" bagi mereka yang berani menyuarakan kebenaran. Inilah titik kritisnya. Masalahnya bukan lagi sekadar kesalahan administratif, tetapi telah menyentuh ranah etika birokrasi yang paling fundamental.

Dari Kekecewaan Melahirkan Terobosan

Kekecewaan Ibu Roza tidak berakhir pada keluh kesah. Ia memilih jalan yang terang untuk menggugat melalui PTUN. Dan kemenangannya dalam Putusan Nomor 42/G/2024/PTUN.PBR, sebuah bukti bahwa hukum masih dapat menjadi sandaran. Dari sini, kita bisa menarik benang merah untuk merancang solusi yang lebih sistemik dan inovatif.

  1. Memperkuat "Benteng Digital" yang Transparan.

    Kita sering mendengar tentang sistem Ruang Talenta Guru (RTG) dan Dapodik. Namun, pada kasus ini menunjukkan bahwa sistem hebat pun bisa dikalahkan oleh intervensi manual. Solusi inovatifnya, dengan mentransformasi sistem ini dari sekadar database menjadi "algorithmic gatekeeper." Bagaimana jika proses penempatan benar-benar otomatis? Sistem yang terintegrasi dengan Artificial Intelligence (AI) sederhana dapat secara langsung mengalokasikan peserta yang lulus berdasarkan peringkat dan ketersediaan formasi, lalu menghasilkan Surat Keputusan (SK) digital yang langsung tersertifikasi. Intervensi manusia hanya dibutuhkan untuk alasan yang sangat khusus dan harus tercatat secara digital serta terbuka untuk diaudit. Ini bukan lagi sekadar efisiensi, melainkan upaya memagari proses dari godaan penyalahgunaan wewenang.

  2. Membangun Skema Perlindungan Whistleblower yang Nyata dan Manusiawi.

    Ibu Roza membuktikan bahwa menjadi pembuka suara (whistleblower) suatu tindakan yang berisiko. Kita tidak bisa hanya mengandalkan keberanian individu. Kita perlu membangun sebuah ekosistem yang aman. Solusi dengan membuat saluran pelaporan yang benar-benar independen dan protektif, mungkin di bawah koordinasi Ombudsman atau Inspektorat Jenderal. Seorang whistleblower seperti Ibu Roza seharusnya langsung mendapatkan "payung pelindung," baik secara hukum maupun administratif. Bahkan, prestasinya dalam menjaga integritas sistem harus menjadi pertimbangan positif dalam pengembangan kariernya. Kita harus mengubah paradigma: dari "menghukum yang berani protes" menjadi "menghargai orang yang berani jujur."

  3. Mentransformasi Sanksi Menjadi Proses Edukasi.

    Sanksi bagi pelanggar memang diperlukan. Namun, sanksi administratif saja sering kali terasa hambar. Mari kita berinovasi dengan membuat "sanksi yang mendidik." Pejabat yang terbukti melanggar, selain dikenai sanksi administratif, bisa "diwajibkan" mengikuti program pelatihan etika birokrasi dan studi kasus, dan kemudian mempresentasikan refleksinya di hadapan para pegawai ASN di satuan kerjanya (satker). Ini akan menciptakan efek jera yang lebih mendalam sekaligus menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Kita Tidak Bisa Berjalan Sendirian

Tidak ada satupun masalah birokrasi yang dapat diselesaikan oleh satu instansi saja. Kasus Ibu Roza melibatkan pemerintah daerah, Kementerian PANRB, Kementerian Pendidikan, dan tentu saja, lembaga peradilan. Inilah mengapa kolaborasi adalah kunci.

  1. Sinergi Pemerintah Daerah dan Kementerian (pusat). Pemerintah daerah harus membuka diri dan membiarkan sistem nasional (seperti RTG) bekerja secara optimal. Di sisi lain, Kementerian PANRB dan Kementerian Pendidikan harus aktif memberikan pendampingan dan pemantauan, memastikan daerah tidak menjalankan kebijakan yang tumpang-tindih atau bertentangan dengan aturan pusat.

  2. Keterlibatan Lembaga Peradilan. Kemenangan Ibu Roza di PTUN adalah bentuk kolaborasi final ketika mekanisme internal gagal. Lembaga peradilan hadir sebagai penegak akhir prinsip keadilan. Sebagai ASN, kita harus melihat putusan PTUN bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai koreksi yang berharga untuk memperbaiki kinerja kita.

  3. Peran Aktif ASN Lainnya. Kita semua, bagian dari jaringan ini. Seorang ASN di bidang kepegawaian yang melihat ketidaksesuaian, memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakannya melalui saluran yang tepat. ASN di bidang hukum dapat aktif memberikan sosialisasi tentang hak-hak pegawai. Kolaborasi dimulai dari kesadaran bahwa kita semua terhubung dalam satu tujuan yaitu melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Sebuah Harapan yang Menyala

Perjuangan Ibu Roza telah menghasilkan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar kepindahan tempat mengajar.

  1. Kepastian Hukum yang Ditegakkan: Putusan PTUN telah mengembalikan kepercayaan kita pada mekanisme hukum. Ia membuktikan bahwa "asal benar, akhirnya akan menang."

  2. Penyadaran Kolektif: Kasus ini menjadi studi kasus nasional yang menyadarkan ribuan ASN dan PPPK tentang hak-hak mereka. Ia memantik diskusi yang sehat tentang arti meritokrasi.

  3. Pemicu Reformasi Administratif: Kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi setiap daerah untuk meninjau ulang proses penempatan dan pengadaan PPPK-nya. Ia adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang bobrok.

Warisan terbesar dari kasus ini adalah lahirnya lebih banyak "Roza-Roza" yang tidak takut bersuara, dan lebih banyak lagi ASN yang dengan berani melindungi mereka. Warisan birokrasi yang tidak lagi dingin, tapi menghangatkan. Birokrasi yang tidak lagi dianggap sebagai mesin, tetapi sebagai rumah bersama bagi para pemangku amanah.

Refleksi dari Hati ke Hati

Ibu Roza Sriwalinda mengajarkan kita bahwa keberanian itu tidak selalu tentang mengangkat senjata. Terkadang, keberanian itu tentang tetap mengasah pikiran meski banyak godaan untuk membiarkannya tumpul. Tentang tetap melangkah ke kantor meski hati sedang terluka. Tentang tetap percaya pada aturan, meski aturan itu sendiri sempat mengkhianatinya.

Sebagai sesama ASN, marilah kita menjadikan kisah ini sebagai pemantik semangat. Di manapun kita bertugas, apapun jabatan kita, kita memiliki kuasa untuk memilih. Memilih untuk jujur ketika manipulasi terasa mudah. Memilih untuk adil ketika keberpihakan menjanjikan keuntungan. Memilih untuk kolaboratif ketika ego sektoral menguat.

Reformasi birokrasi yang berkeadilan bukanlah mantra yang diucapkan dalam seminar. Ia adalah pilihan-pilihan kecil yang kita lakukan setiap hari di meja kerja kita. Satu tekad untuk menjahit kembali setiap robekan pada kain birokrasi dengan benang-benang integritas, benang-benang kolaborasi, dan benang-benang keberanian.

Mari kita wujudkan birokrasi yang tidak hanya pandai mengatur, tetapi juga berbelas kasih. Birokrasi yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana. Birokrasi yang menjadi kebanggaan kita, dan harapan bagi rakyat Indonesia.

Salam reformasi dari hati.

Bagikan :