Menimbang Desain ASN antara PNS dan PPPK

Gambar sampul Menimbang Desain ASN antara PNS dan PPPK

Sebelum memulai tulisan ini, izinkan saya mengutip perkataan Jalaluddin Rumi yang begitu dalam maknanya: “Out beyond ideas of wrongdoing and rightdoing, there is a field. I’ll meet you there.” atau dalam bahasa kita, “Di luar gagasan tentang kesalahan dan kebenaran, ada sebuah ladang. Aku akan menemuimu di sana.” Kutipan ini seolah mengingatkan kita bahwa batas antara benar dan salah, baik dan buruk, seringkali tidak mutlak. Selalu ada ruang abu-abu di antaranya, dan di situlah kita bisa bertemu untuk memahami kenyataan dengan lebih jernih.

Bayangkan Anda bekerja bertahun-tahun, memberi tenaga, pikiran, dan waktu untuk berjalannya pelayanan publik. Lalu suatu hari kontrak Anda habis, dan semua itu selesai hanya dengan selembar surat keputusan. Tidak ada jaminan kelanjutan, tidak ada kepastian, meski pengalaman dan pengabdian sudah panjang. Inilah realitas yang sering menghantui para PPPK.

Dari kenyataan itulah, saya termasuk salah satunya: seorang PPPK Pranata Humas yang menerima SK pada 2023. Awalnya saya hanyalah honorer yang memanggul mimpi para honorer pada umumnya, yaitu menjadi PNS. Tahun itu jadi titik balik, karena untuk pertama kalinya ikut seleksi ASN dan langsung lolos. Rasanya makin istimewa, sebab saat mendaftar di 2022, ijazah sarjana saya baru terbit satu-dua bulan sebelumnya.

Pilihan melamar PPPK ini tentu bukan keputusan sederhana. Banyak rekan, terutama yang PNS, sempat heran kenapa saya tidak ikut CPNS. Faktanya, di Pemkab tempat saya bekerja, formasi CPNS untuk kualifikasi pendidikan saya memang tidak ada, yang tersedia hanya PPPK.

Lebih jauh lagi, saya sadar bahwa hidup selalu menuntut sebuah pilihan. Memang benar, di daerah lain ada formasi CPNS yang sesuai dengan ijazah saya, tapi konsekuensinya saya harus meninggalkan kota ini. Sementara ada alasan pribadi, yang terlalu pribadi untuk saya ceritakan di tulisan ini, yang membuat saya tidak bisa pergi.

Selain itu, alasan terbesar saya memilih melamar PPPK adalah keyakinan bahwa ini merupakan angin segar dalam rekrutmen ASN. Saya sempat berpikir, mungkin skema PPPK dirancang pemerintah sebagai ajang uji kelayakan sebelum seseorang benar-benar menjadi PNS, semacam penyaring agar tidak terjadi lagi gelombang pengunduran diri CPNS yang ramai dibicarakan di berbagai media pada tahun 2020–2022. Dengan keyakinan penuh, saya percaya PPPK kelak akan bermuara pada status PNS, layaknya karyawan kontrak di perusahaan swasta yang diangkat tetap setelah melalui berbagai proses dan evaluasi.

Keyakinan itu makin kuat ketika melihat kenyataan di lapangan. Mungkin banyak yang belum menyadari, seleksi awal PPPK bukan hanya diikuti para honorer, tetapi juga masyarakat umum. Bahkan, setelah pengumuman hasil (bukan lewat jalur optimalisasi), cukup banyak peserta dari kalangan umum yang ikut lolos bersama kami. Seiring berjalannya waktu hingga kami menerima SK, satu per satu dugaan yang dulu hanya berupa obrolan mulai terbukti. Yang awalnya tidak ada tunjangan, kini ternyata ada. Yang katanya tidak dapat pensiun, justru dikabarkan akan mendapatkannya. Bahkan aturan yang semula mewajibkan mundur dari PPPK jika ingin mendaftar CPNS, kini dilonggarkan sehingga tidak lagi perlu mengundurkan diri.

Jika menoleh ke belakang, sebelum menjadi PPPK, saya sudah bekerja di instansi pemerintah selama 7 tahun. Di saat bersamaan, saya juga meniti karir di dunia swasta dengan masa kerja yang bahkan lebih lama, sekitar 7–8 tahun. Dua pengalaman ini memberi saya perbandingan langsung antara kultur birokrasi dan kultur swasta.

Berbekal pengalaman itu, dan sebagai seorang pranata humas yang hobi menulis, saya ingin berbagi pandangan tentang konsep ASN yang belakangan kembali ramai dibicarakan, terutama soal perbedaan antara PNS dan PPPK.

---------------------------------------------------------

Sebelumnya, berbagai potongan klip video dari Kepala BKN, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., M.H., yang sempat memberikan pernyataan terkait uraian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023. Namun, pendapat tersebut dianggap menyinggung perasaan sebagian PPPK karena dianggap menegaskan adanya perbedaan kelas antara PNS dan PPPK. Meski begitu, jika ditelaah lebih dalam, pandangan beliau justru berangkat dari kerangka desain besar manajemen ASN yang logis.

Karenanya, sebagai seorang yang pernah berjalan di dalam instansi swasta, saya setuju penuh dengan pandangan Kepala BKN, bahwa pemisahan ASN menjadi PNS dan PPPK merupakan desain yang masuk akal. Skema ini sebenarnya bukan hal baru, karena sudah lama dipraktikkan di dunia swasta, di mana tenaga kerja terbagi menjadi pegawai tetap yang berkarier jangka panjang dan pegawai kontrak atau profesional hire yang ditugaskan untuk kebutuhan khusus atau sementara.

Prof. Zudan bahkan mencontohkan kasus seorang dokter PNS yang mendapat izin belajar untuk melanjutkan spesialisasi. Selama masa studinya, posisi kosong itu dapat diisi oleh dokter PPPK. Namun ketika dokter PNS tersebut kembali, kontrak dokter PPPK tidak lagi diperpanjang.

Pola seperti ini membuat birokrasi lebih luwes. PNS berfungsi menjaga kesinambungan dan stabilitas, sementara PPPK siap mengisi kebutuhan mendesak, misalnya sebagai guru di sekolah atau tenaga medis di rumah sakit. Dengan cara ini, pelayanan publik tetap berjalan tanpa harus menunggu jalur PNS yang prosesnya lebih panjang.

Meski begitu, saya punya kegelisahan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah PPPK benar-benar diperlakukan layaknya tenaga profesional ketika kontraknya selesai?

Di dunia swasta, misalnya, seorang pekerja kontrak masih bisa membawa portofolio dan rekam jejaknya untuk melanjutkan karir di perusahaan lain. Namun, di birokrasi, hal ini sering kali tidak semudah itu. Pengalaman kerja sebagai pekerja di instansi pemerintah, khususnya di daerah, masih kerap dipandang sebelah mata oleh perusahaan swasta.

Saya merasakan sendiri stigma yang sering muncul: bahwa bekerja di instansi pemerintah, yang identik dengan pace kerjanya yang kita semua tahu sendiri, berbeda jauh dengan ritme kerja swasta yang lebih cepat dan menuntut. Stigma ini pun dikhawatirkan membuat banyak ASN kontrak, ketika kontraknya berakhir, kesulitan menembus dunia swasta meski mereka memiliki pengalaman kerja yang nyata. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, sebab di media sosial sering beredar cerita tentang culture shock para pekerja swasta yang pindah ke instansi pemerintah maupun sebaliknya. Ada yang kaget melihat ritme birokrasi yang lebih lambat dibanding saat mereka bekerja perusahaan swasta.

Jika pemerintah hanya menjadikan PPPK sekadar “tenaga siap pakai” tanpa memastikan adanya pengakuan kompetensi dan rekam jejak profesional, maka sistem ini berisiko menimbulkan kekecewaan.

Saya memahami desain ASN yang dijelaskan Kepala BKN. Saya setuju dengan konsep PNS sebagai karir utama, dan PPPK sebagai solusi fleksibel. Namun, saya juga berharap ada perhatian lebih: bagaimana memastikan PPPK tetap diakui sebagai tenaga profesional, baik di dalam maupun di luar birokrasi.

Sebab pada akhirnya, ASN bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan instansi, tetapi juga tentang membangun manusia yang berdaya dan berharga, di manapun mereka melanjutkan hidup dan kariernya.

Bagikan :
Tag :