“Mengulik” Isi Kepala KDM tentang Desa

Gambar sampul “Mengulik” Isi Kepala KDM tentang Desa

Sosok

Dedi Mulyadi atau lebih familiar dengar sebutan KDM. Adalah Sosok Gubernur Jawa Barat yang langsung “tancap gas” diawal masa jabatannya. Alih-alih menerapkan kebijakan populis, ia lebih memilih jalan lain, meninggalkan singgasananya dan membaur bersama akar rumput. Gaya interaksinya dengan masyarakat yang nyaris tanpa sekat menjadikan KDM mendapatkan tempat istimewa dihati masyarakat.

KDM menjelma menjadi sosok kepala daerah yang paling disorot, seolah menjadi kiblat ekspektasi masyarakat terhadap pemimpinnya. KDM hanya memimpin Jawa Barat, namun kekuatan media dan viralitas membuatnya dikenal seluruh masyarakat. Tak jarang netizen membandingkan KDM dengan kepala daerah di wilayahnya. Minta bertukar kepala daerah, minta KDM pindah kedaerahnya dan KDM effect lainnya adalah ekspresi netizen yang meng-amin-kan gaya kepemimpinannya.

KDM sangat jeli melihat potensi media sosial yang dapat dijadikan tools untuk meraih popularitas tak terbatas. Ia memang bukan orang baru dijagad media, ia sudah berinvestasi popularitas di media arus utama maupun media sosial sejak menjadi Bupati Purwakarta. Sajian kontennya yang menguras hati memainkan perasaan netizen untuk ikut berempati. Hingga membuat netizen tak bisa membedakan mana pencitraan mana yang betulan. Masyarakat Jabar sendirilah yang bisa merasakan dan menilainya. 

Kepemimpinan Berbasis Kultural

Penampilan KDM yang jauh dari parlente dan pemikirannya yang menjunjung tinggi adat sunda menegaskan bahwa ia ingin menyajikan kebijakan yang berbasis kultural untuk Jawa Barat. Ajaran sunda wiwitan untuk selalu menghormati alam ia dipegang teguh sebagai suatu keyakinan bahwa tujuan pembangunan tak melulu yang menghasilkan uang,  namun juga mempertimbangkan pelestarian lingkungan.

Ia berpandangan bahwa mayoritas negara maju adalah negara yang masih menjunjung tinggi adat. Hal tersebut membuktikan bahwa budaya, adat istiadat bukan menjadi penghalang untuk meraih masa depan. Justru budaya akan selalu sejalan dengan masa depan jika dijadikan pijakan. Dari pijakan tersebut, mungkin konsep “think globally act locally” cocok disematkan sebagai jargon Jawa Barat selama masa kepemimpinannya. 

Tak jarang KDM  selalu menyampaikan gagasannya tentang desa. Rekam jejaknya yang pernah duduk di kursi DPRD, menjadi Wakil Bupati dan kemudian menjadi Bupati Purwakarta, tentu menjadikan desa bukan barang baru baginya. Pengalaman dan jabatannya saat ini menjadikan ia sangat kredibel berbiacara tentang desa. Pun ia masih tinggal di desa setelah menjadi gubernur. Oleh karena itu, gagasannya tentang desa layak kita “ulik”.

Kondisi desa hari ini

Kepala desa atau dengan sebutan lain adalah pemimpin di desa yang dipilih oleh masyarakat. Selain sebagai kepala pemerintahan ditingkat desa, kepala desa juga sejatinya berperan sebagai tokoh adat. Namun, kondisi yang sangat kontras ditunjukan oleh kepala desa saat ini. KDM dengan bernas menyampaikan bahwa kepala desa hari ini tak lagi sama. Kepala desa dan perangkat desa tak ubahnya seperti pegawai pemerintah. Lebih disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administratif ketimbang berada ditengah masyarakat.

Desa hari ini mengalami kegamangan, berdiri pada dua pijakan yang berbeda yaitu antara desa sebagai self governing community atau desa sebagai layer hierarki paling bawah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Karena itu, desa menjadi kehilangan jati dirinya, ia tak ayal sebagai OPD pada suatu pemerintah daerah, menjadi muara pelaksana program turunan dari instansi tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten.

Dengan adanya dana desa dan dana transfer lainnya yang diterima desa, adalah cara negara mengakselerasi desa. Desa diberikan kewenangan untuk mengelola keuangannya melalui APBDesa. Hal tersebut merupakan solusi untuk mengejar ketertinggalan dan meletakkan desa sebagai fokus pembangunan. Namun, terkadang sebuah solusi justru menimbulkan masalah yang tak diinginkan (unintended consequences). Dalam hal ini, banyak kepala desa dan perangkat desa banyak yang terjerat kasus korupsi. Ketidakmampuan desa dalam mengelola APBDesa, tentu menjadi kendala. Pengelolaan keuangan desa yang tidak transparan, menjadi kesempatan bagi LSM untuk mengorek aib desa dan memosisikan Inspektorat bukan sebagai mitra namun pihak yang menyandera.  

BUMDes yang diharapkan jadi motor penggerak perekonomian di desa pun perlahan tumbang. Cita-cita meningkatkan PADes dari BUMDes masih sebatas harapan dan ketahanan pangan yang harusnya menjadi andalan masih menjadi angan-angan. 

Desa dengan segala kerumitannya seolah menegaskan bahwa ada prinsip yang dilupakan, ada nilai yang tak lagi diterapkan, dan ada budaya yang tak lagi jadi pijakan. Kepala desa hari ini tak lagi menjiwai sebagai pemimpin adat yang menjadikan kearifan lokal sebagai sebuah solusi dari tantangan zaman. 

Nilai luhur tak tergerus desa tetap terurus

Desa sejatinya bukan tempat orang-orang tertinggal, bukan tempat orang-orang yang tak dapat bersaing di kota, desa adalah kehormatan yang harus dijaga marwahnya. Desa sejatinya merupakan pusat dari seluruh aktivitas. Perekonomian, pangan dan komoditas unggulan, semua berawal dari desa. Desa adalah garda terdepan pelayanan publik, ia harus hadir ditengah-tengah masyarakat dan menjadi wadah dari seluruh keluh kesah warganya.  

Gagasan KDM tentang desa adalah gagasan ideal, desa jangan lepas sebagai pusat budaya, namun harus maju untuk mensejahterakan masyarakatnya. Desa tak boleh “keblinger” dengan segala keriuhan birokrasi, namun harus hadir sebagai solusi.

Ditengah pengelolaan desa yang “makin kesini makin kesana”, kita harus tetap optimis bahwa suatu saat nanti, desa dapat menunjukkan bukan hanya kemajuan melainkan sebuah loncatan.

Jika ingin Indonesia maju, mau tak mau desa harus maju. Karena tak ada negara yang maju tanpa provinsi yang maju, tidak ada provinsi yang maju tanpa kabupaten yang maju dan tidak ada kabupaten yang maju tanpa desa yang maju.

Bagikan :