Muarajambi merupakan satu dari tujuh Kawasan Strategis Nasional Lingkup Sosial Budaya. Pada kawasan tersebut, terselip khazanah kebudayaan dan edukasi pada masa lampau. Khazanah tersebut menjadi muara bagi peradaban di tepi Sungai Batanghari sejak abad VII hingga kini.
Pemajuan dan pelestarian kebudayaan merupakan upaya untuk meningkatkan peran kebudayaan dalam pembangunan. Upaya tersebut diharapkan mampu menjadikan masyarakat lebih beradab, maju, mandiri, dan sejahtera berdasarkan prinsip kebhinnekaan, toleransi, serta gotong-royong. Untuk itu, pembangunan kebudayaan menggunakan empat langkah strategis yang ditempuh melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Melalui keempat langkah tersebut, keragaman budaya Indonesia dihargai dan diakui dengan menempatkan masyarakat sebagai pemilik sekaligus penggerak kebudayaan serta menempatkan kebudayaan sebagai haluan pembangunan nasional.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memajukan kebudayaan adalah menjadikan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Di Indonesia terdapat 76 KSN yang terdiri dari 27 KSN Ekonomi, 25 KSN Lingkungan Hidup, 7 KSN Sosial Budaya, 8 KSN Teknologi Tinggi, dan 9 KSN Pertahanan dan Keamanan. Saat ini terdapat 18 KSN yang telah dilakukan penyusunan Rencana Tata Ruangnya. Pedoman dalam penyusunan RTR KSN terdiri dari Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang KSN; Rencana Struktur Ruang KSN; Rencana Pola Ruang KSN; Arahan Pemanfaatan Ruang KSN; Arahan Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang KSN; serta Pengelolaan dan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang KSN.
Kawasan Cagar Budaya Muarajambi merupakan salah satu KSN yang ditetapkan dalam PP Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN dari sudut kepentingan sosial budaya. Kawasan Cagar Budaya Muarajambi telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Nomor 259/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Muarajambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional tanggal 30 Desember 2013 dan sedang dalam proses penetapan menjadi warisan budaya dunia UNESCO yang telah terdaftar dalam Tentatif List UNESCO nomor 5465 tanggal 6 Oktober 2009.
Berdasarkan hasil penetapan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi sebagai Cagar Budaya Nasional, luas kawasan meliputi 3,981 ha yang terdiri dari Zona Inti 1 seluas 90,78 hektar; Zona Inti 2 seluas 363,31 hektar; Zona Penyangga seluas 2067,58 hektar; Zona Pengembangan seluas 1166,39 hektar; Zona Penunjang seluas 292,96 hektar. Selain itu, disepakati pula delineasi Kawasan dengan luas 21.288 Hektar yang mencakup 17 (tujuh belas) desa di Kecamatan Maro Sebo dan Kecamatan Taman Rajo.
Beberapa isu dalam pembangunan berkelanjutan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi meliputi alih fungsi lahan, penurunan kualitas lingkungan hidup, kebencanaan, transportasi, ekonomi sektor perkebunan, pertambangan, dan pariwisata, serta tata kelola. Berdasarkan analisis Kebijakan, Rencana, dan Program, terdapat sebaran jaringan yang terdampak dengan adanya RTR KSN, yaitu jaringan transportasi, jaringan limbah dan persampahan, jaringan energi/kelistrikan, serta kawasan daya lingkungan rendah. Pada jaringan limbah dan persampahan yang akan tercantum dalam KLHS, direkomendasikan untuk merelokasi kegiatan industri di sepanjang Sungai Batanghari guna mengurangi dampak pencemaran air, tanah, serta udara yang berpotensi mengancam keberadaan Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dan kesehatan masyarakat sekitar.
Kawasan Cagar Budaya Muarajambi memiliki arti penting dan strategis di Indonesia. Khazanah kebudayaannya merupakan peninggalan Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya yang menjadi pusat peribadatan agama Budha terluas di Indonesia pada abad VII-XIII. Dalam sejarah regional, kerajaan Malayu dan Sriwijaya diakui sebagai kerajaan yang berpengaruh sangat luas, tidak hanya di Nusantara tetapi juga di daratan Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Kerajaan Malayu Kuno dan Sriwijaya berperan penting dalam percaturan politik-ekonomi internasional yaitu sebagai penghubung antara India dan Cina pada masa itu. Muarajambi pernah menjadi pusat pendidikan Budisme abad V-VI.
Mengingat penting dan strategisnya Kawasan Cagar Budaya Muarajambi dalam peradaban Indonesia, Pemerintah berupaya menguak peninggalan arkeologis Muarajambi dengan melibatkan unsur pentahelix, baik masyarakat, media, maupun akademisi. Ekspedisi Sungai Batanghari dan Kenduri Swarna Bhumi merupakan beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menggali potensi dan permasalahan di Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, terutama di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Melalui upaya tersebut, diharapkan kebudayaan semakin menguat dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional yang berdampak pada masyarakat. Sejatinya, Muarajambi bukan hanya sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan, melainkan sebagai muara bagi peradaban yang akan terus berkembang, kini dan nanti.