Di balik setiap unggahan media sosial lembaga pemerintah yang rapi, setiap foto kegiatan yang sempurna, dan setiap video yang tersusun apik, sering kali hanya ada satu orang di balik layar. Ia menulis, memotret, mendesain, mengedit, memposting, bahkan mencetak spanduk. Dialah Pranata Humas, profesi yang kerap dianggap serba bisa padahal sesungguhnya sedang dipaksa menjadi segalanya.
Fenomena ini begitu jamak di berbagai instansi pemerintah khususnya di daerah. Jabatan Pranata Humas sering diisi oleh satu orang yang harus menanggung seluruh fungsi komunikasi publik. Seolah wajar, padahal kondisi itu sama sekali tidak ideal, baik dari segi efektivitas kerja maupun penghargaan terhadap profesi. Di banyak kantor, humas menjadi “pahlawan seribu tugas” tanpa dukungan yang memadai.
Padahal, Pranata Humas bukan jabatan serabutan yang hanya bertugas membuat publikasi. Profesi ini memiliki dasar hukum yang kuat. Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 9 Tahun 2025 menegaskan bahwa pranata humas bertugas melaksanakan kegiatan pelayanan informasi dan komunikasi publik, mulai dari penyusunan strategi komunikasi, pengelolaan opini publik, hingga penyebarluasan kebijakan pemerintah dan hubungan dengan media. Dengan cakupan kerja yang strategis, jelas mustahil semua itu dijalankan oleh satu orang saja.
Namun yang terjadi di lapangan jauh dari gambaran ideal. Mereka diminta mendesain spanduk, menulis caption, menyiapkan publikasi, bahkan mengatur acara seremonial. Tidak sedikit yang akhirnya kehilangan makna profesinya, karena pekerjaan strategis kehumasan tereduksi menjadi tugas teknis harian tanpa penghargaan profesional. Jika pola ini dibiarkan, maka sesungguhnya lembaga sedang menurunkan martabat profesi humas itu sendiri.
Lebih parah lagi, sebagian pimpinan instansi masih memandang kehumasan sebagai alat pencitraan pribadi, bukan fungsi komunikasi publik. Media sosial lembaga yang seharusnya menjadi kanal informasi masyarakat sering berubah menjadi etalase narsisme, menampilkan aktivitas pimpinan tanpa konteks kebijakan. Narasi publik menjadi dangkal, kehilangan makna, dan gagal membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga.
Sudah saatnya para pimpinan instansi mengubah cara pandang ini. Kehumasan adalah urusan strategis. Humas adalah penghubung antara lembaga dan publik, penjaga kredibilitas, dan pengelola reputasi. Jika pimpinan masih menilai keberhasilan humas dari seberapa sering wajahnya muncul di media sosial, maka lembaga tersebut telah kehilangan arah komunikasi publik.
Untuk itu, dibutuhkan langkah nyata. Pemerintah perlu memperbanyak formasi jabatan Pranata Humas agar setiap instansi memiliki tim komunikasi publik yang solid dan berlapis fungsi. Setiap lembaga juga wajib menyediakan alat dan fasilitas yang memadai seperti kamera, perangkat desain, jaringan internet, hingga pelatihan literasi digital. Kreativitas tidak akan tumbuh di tengah keterbatasan alat dan tekanan kerja yang tidak manusiawi.
Selain dukungan struktural, empati kepemimpinan juga penting. Banyak humas di lapangan bekerja tanpa keluhan, tetapi diam-diam terluka oleh sikap pimpinan yang tidak memahami proses kerja kreatif. Revisi berulang tanpa alasan, tenggat mendadak, dan komentar subjektif yang tidak membangun membuat mereka kelelahan secara emosional.
Kehumasan adalah profesi yang tumbuh dari ketepatan strategi, kreativitas pesan, dan kecepatan adaptasi terhadap perkembangan zaman. Dunia komunikasi publik kini bergerak dalam lanskap digital yang dinamis. Maka, pola pikir lama yang menilai kehumasan dari banyaknya baliho atau jumlah unggahan sudah saatnya ditinggalkan. Publik saat ini menuntut transparansi, narasi yang bermakna, dan komunikasi yang jujur.
Kini waktunya berani mengatakan dengan tegas: berhentilah menormalisasi humas serba bisa yang bekerja sendirian. Pemerintah harus membuka ruang yang lebih luas untuk formasi humas profesional. Lembaga harus memberikan sarana dan pelatihan yang layak. Dan para pimpinan harus menunjukkan empati serta kepercayaan kepada humasnya. Karena pada akhirnya, komunikasi publik yang baik adalah fondasi dari pemerintahan yang dipercaya.
Di balik setiap rilis berita, unggahan media sosial, dan video dokumentasi, ada seseorang yang bekerja menjaga wajah lembaga agar tetap bermartabat di mata publik. Maka sudah seharusnya, lembaga pun menjaga martabat mereka, para pranata humas, dengan kebijakan yang adil, dukungan yang nyata, dan penghargaan yang layak.