Kisah ini bermula ketika saya baru saja masuk ke salah satu lembaga SMA untuk menjadi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia September 2018 lalu. Cukup mengejutkan dan mendadak saat itu. Saya yang sebelumnya mengajar mata pelajaran Seni Budaya di salah satu SMP, harus menggantikan guru Bahasa Indonesia yang melakukan mutasi. Walaupun menjadi guru Seni Budaya bukan profesi yang linear dengan ijazah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia saya, tapi saya sangat nyaman dengan Seni Budaya berkat ilmu keteateran yang didapat dari komunitas teater di kampus dulu.
Mendadak kembali mengajar Bahasa Indonesia sesuai ijazah, membuat saya kesulitan membangun kenyamanan baru. Namun, berkat rahmat Allah, saya diberi kesempatan untuk mengajar anak-anak yang luar biasa aktif dan kreatif. Mereka yang memacu saya untuk membuat konsep pembelajaran yang asik dan menarik.
Sebagai guru baru yang menghadapi siswa-siswi yang berusia remaja, saya cukup menikmati. Memahami karakter mereka, bahasa mereka, cara bergaul mereka. Semuanya merupakan sumber pembelajaran hidup buat saya. Namun kesimpulan saya itu tidak optimal berlaku ke semua siswa. Sebagian dari mereka berhasil muncul ke permukaan dengan baik: menunjukkan keaktifan, kreativitas, keberanian, keterampilan berbicara mereka. Sebagian lainnya memilih untuk lebih banyak diam, entah diam karena sangat paham atau diam karena sama sekali tidak paham.
Dalam dunia keteateran, saya pernah diajar tentang bagaimana mengolah imajinasi dengan konsentrasi, meditasi dan semedi. Hal itulah yang saya jadikan bekal untuk mengenal siswa-siswi saya, memahami kehidupannya, menghargai mereka sebagai sebuah pribadi yang punya cerita, asik dan menarik. Kebetulan sekali, saya mengajar kelas XI. Ada KI KD materi drama di semester 4. Saya memanfaatkannya dengan baik.
Saya mencoba mengintegrasikan ilmu keteateran dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia.saya ajari anak-anak bagaimana konsentrasi, meditasi, semedi, juga berimajinasi. Dalam proses meditasi yang saya terapkan di 7 kelas yang saya ajar, saya menemukan banyak pribadi dengan cerita unik.
Di kelas A, saya menemukan dua siswi berinisial Li dan Ly. Pada saat saya mengajarkan meditasi pada mereka, mereka masuk dengan sempurna dalam cerita dan imajinasi saya. Saya membuat cerita sedih untuk mereka. Namun pada saat dibangunkan dari proses meditasi itu mereka menangis kencang. 34 siswa yang lainnya sigap kembali mengontrol emosi masing-masing, tapi tidak dengn mereka berdua. Hal ini menarik saya untuk menghampiri mereka dan memberikan pelukan. Saya dekati mereka secara personal. Ternyata, mereka anak yang hebat.
Ly merupakan salah satu siswi di kelas A yang pendiam, terlihat tidak begitu peduli pada materi pelajaran. Dia termasuk anak yang sulit ditarik perhatiannya. Di balik karakternya yang biasa saja dalam kelas itu, dia menyimpan kesedihan yang mendalam. Ly adalah anak yatim piatu yang harus tinggal dan diadopsi oleh saudaranya. Ayahnya pergi entah masih hidup atau sudah mati; meninggalkan Ly dan ibunya ketika Ly masih kecil. Bagi Ly, ayahnya sudah meninggal. Ia tumbuh dan dibesarkan oleh ibu dan kakak neneknya. Di masa berikutnya, ibunya meninggal karena sakit. Ia sebatang kara, tanpa kakak atau adik. Ia diadopsi oleh saudaranya, tinggal di rumah saudaranya. Tidak lama, neneknya meninggal, juga kakeknya. Lalu sekarang bayangkan ia hidup di dalm rumah yang orang-orangnya bukan sedarah kandung? Ia butuh apa, bagaimana cara ia meminta? Menata kalimat untuk sekadar minta uang jajan? Pasti sungkan, bingung. Tapi dia bertahan dengan baik. Saya jadi tau kenapa dia diam di kelas. Dia memang sudah terbiasa menjadi orang diam dan menahan sesuatu dalam dirinya.
Berikutnya, si Li. Ketika saya hampiri, dia makin menangis dan berteriak membisik di telinga saya. “Ayah saya orang gila, Bu!” Hati saya tiba-tiba hancur karena tidak tahu betapa kuat dia tumbuh selama ini. cibiran orang-orang, hinaan, cai dan makian, sudah sering mampir ke telinganya. Namun, dia masih menjunjung ayahnya. Dia tumbuh menjadi anak yang aktif di kegiatan Pramuka. Tapi sekuat apapu telinganya, hatinya pasti geli, menyimpan dan akan meledak pada waktunya. Hari itu, saya belajar untuk bersyukur.
Tidak hanya mereka berdua, saya menemukan banyak hal baru, cerita baru, pengalaman baru dari mereka semua. Benar memang, kita harus memandang siswa kita sebagai sebuah pribadi yang pasti memiliki cerita untuk kita pahami.
Berikutnya saya menerapkan managemen pementasan drama dalam penilaian drama saat itu. Bagi saya, membuat mereka memiliki pengalaman belajar yang berkesan seumur hidup itu harus. Saya tidak memaksa anak-anak untuk bermain drama. Saya tahu, mereka menyadari kapasitas mereka sehingga saya beri mereka pilihan untuk jadi apa. Sutradara, aktor, tim musik, tata panggung, penata rias dan busana, lightingman dan sebagainya. Kurikulum sudah menuntut mereka untuk menelan teori, saatnya guru membebaskan mereka terbang melampaui batas dirinya.
Dengan mengintegrasikan keteateran dalam KD materi Drama mapel Bahasa Indonesia, lahirlah sekian naskah drama baru ala mereka. Muncul bakat menjadi sutradara, aktor penata musik, penata panggung, rias busana dan sebagainya. Si Ly juga memunculkan dirinya dibidang tata rias dan busana. Di antara sekian drama yang dipentaskan, hasil dandanan dari tangan kreatifnya berhasil menyabet kategori tata rias dan busana terbaik di antara semua kelas. Anak-anak yang bandel di kelas, ternyata memiliki bakat di musik, panggung bahkan aktor.
Sekarang ini mereka sedang meneruskan apa yang mereka temukan ketika SMA dulu. Beberapa orang memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan keteateran dan diterima di Institut Seni. Pengalaman belajar di materi drama yang dulu mereka ikuti mengantar mereka pada kesan berharga di kehidupan mereka, lebih-lebih membawa pengaruh baik terhadap apa yang mereka pilih.
Siswa kita adalah bahan temuan yang luar biasa ketika kita benar memilih cara. Mereka adalah harta karun kreativitas yang luar biasa harus kita gali dan temukan jalannya. Mengintegrasikan ilmu lain ke dalam mata pelajaran yang kita ampuh, bukan hal yang salah. Kurikulum boleh kaku, tapi belajar tetap merdeka. Kita harus memiliki hasrat untuk membuat mereka lulus dengaan berbeda dari yang lain. Sekian juta siswa sedang belajar di bangku SMA, 3 tahun. Setelah itu mereka lulus. Apa yang membedakan anak-anak kita dengan mereka semua? Semua bisa keluar dengan ijazah, tapi tidak banyak dari mereka yang eluar membawa pengalaman belajar. Maka, kita harus memastikan bahwa kita dalah guru yang akan memberikan kesan pengalaman belajar yang asik dan menarik untuk anak-anak.
Selain strategi, cara kita memandang mereka juga menjadi hal penting untuk diperhatikan. Saya manusia. Saya punya banyak cerita. Saya ingin menceritakan kepada anak-anak tiap hari. Tapi, anak-anak juga manusia. Mereka punya cerita. Coba dekati, gali dan dengarkan. Mereka sumber belajar yang punya kesempatan untuk tumbuh lebih baik dari diri kita, bukan begitu? Saya yakin banyak si Li dan Ly lainnya di luar sana. Mereka memiliki alasan atas kepribadian mereka. Pastinya, sejak saat itu, saya lebih merasa pantas menjadi ibu mereka di sekolah, sampai saat ini pun.
Sejatinya semua hal di dunia ini memiliki relevansi/hubungan, yang bisa kita tarik dan pelajari menjadi satu. Semangat belajar dari apapun. Selamat menemukan referensi dari apapun, dan
Salam Literasi!
Profil Singkat
Suci Ika Yuniati, S.Pd. Kelahiran Pasuruan, 12 Juni 1995. Hobi menyanyi. Mulai menulis puisi, cerpen, naskah drama dan menciptakan lagu. Pendidikan terakhir S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Pasuruan (saat ini Uniwara). Berprofesi sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Grati Kab. Pasuruan. Sudah menikah. Instagram: @suciyuniati12, @zonarassiy. Surel: sucikayuniati@ymail.com