Menembus Banjir: Perjalanan ASN Jawa Barat ke Daerah 3T di Sulawesi

Gambar sampul Menembus Banjir: Perjalanan ASN Jawa Barat ke Daerah 3T di Sulawesi

Desa Sambandate, yang terletak di Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, adalah salah satu desa tertinggal di wilayah ini. Meskipun demikian, desa ini memiliki potensi besar karena letaknya yang strategis di jalur Nasional Trans Sulawesi yang menghubungkan Provinsi Sulawesi Tengah ke Sulawesi Tenggara. Sambandate dikenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah, termasuk tambang, perkebunan, dan hasil laut. Potensi ini seharusnya bisa menjadi penggerak utama ekonomi lokal. Namun, berbagai tantangan seperti minimnya infrastruktur dan fasilitas dasar masih menghambat perkembangan desa ini, menjadikannya wilayah yang membutuhkan perhatian lebih.

Saya mengambil cuti pada tanggal 3-4 Mei 2024 untuk menemani kakak saya yang dari Kabupaten Morowali menuju Kota Kendari. Dalam perjalanan tersebut, kami melewati Desa Sambandate yang diinformasikan mengalami banjir pada tanggal 3 Mei 2024 akibat hujan terus menerus. Kami melakukan perjalanan menggunakan mobil bersama rombongan lainnya dari Morowali pada malam tanggal 4 Mei 2024. Saat tiba di lokasi sekitar pukul 23.30 WITA, ternyata banjir belum surut. Ada antrian mobil yang harus menunggu giliran untuk melewati wilayah banjir itu menggunakan perahu rakit untuk kendaraan roda empat.

Saya pun ingin melihat lokasi banjir tersebut lebih dekat. Di sekitar warung-warung warga, saya melihat banyak orang yang menunggu banjir surut. Pemandangan di malam itu sangat memperihatinkan; banyak ibu dan anak-anak tidur di bilik tempat makan. Kondisi diperparah dengan ketiadaan lampu yang memadai dan sinyal telepon, sehingga sangat sulit untuk berkoordinasi dengan keluarga. Sangat disayangkan, sampai saat itu belum ada unsur pemerintah yang turun tangan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan masyarakat. Perahu rakit yang digunakan untuk penyebrangan pun merupakan swadaya masyarakat dan berbayar untuk penyeberangan orang, motor, dan mobil.

Ternyata, untuk penyebrangan tidak gratis; ada tarif yang dikenakan oleh masyarakat yang memanfaatkan kesempatan ini. Bagi mereka yang harus mengejar waktu, pilihan tersebut terpaksa diambil meski harus mengeluarkan biaya tambahan. Berdasarkan kejadian malam itu, tarif yang dikenakan adalah Rp. 25.000 hingga Rp. 40.000 per orang, Rp. 100.000 untuk motor, dan Rp. 500.000 hingga Rp. 700.000 untuk mobil. Tarif ini cukup tinggi, membayangkan jika ada 300 mobil, berapa besar beban yang harus ditanggung masyarakat. Kondisi ini sangat disayangkan, terutama di saat bencana ketika masyarakat seharusnya mendapatkan bantuan, bukan tambahan beban.

Sebagai ASN Jawa Barat, saya merasa bersyukur bekerja di lingkungan yang masih memiliki alternatif jalan. Sedangkan di wilayah Sambandate, hanya jalan tersebut yang paling cepat untuk menuju Kendari dalam waktu 4-5 jam. Jika harus memutar, waktu yang dibutuhkan lebih dari 12 jam. Bagi mereka yang memiliki jadwal ketat, seperti menuju bandara atau menghadiri rapat, mereka harus merogoh kocek lebih dalam. Selain tarif penyebrangan, biaya mobil travel ke Kendari sebesar Rp. 200.000 per orang juga cukup memberatkan. Daerah 3T memang membutuhkan perlakuan khusus, tetapi pemerintah daerah setempat seharusnya segera merespons untuk mengatasi dampak merugikan tersebut. Bantuan dari BNPB atau instansi terkait sangat diperlukan agar masyarakat tidak menjadi objek sapi perah.

Sampai saat ini, informasi dari berita yang saya baca menyebutkan bahwa banjir di Sambandate masih terjadi.

Apakah tidak ada penyelesaian dari pemerintah setempat? Setidaknya, dalam waktu hampir 11 hari sejak kejadian, bisa dibuatkan jembatan penghubung sementara yang tinggi dengan melibatkan sektor-sektor terkait.

Sudah berapa banyak beban masyarakat yang keluar? Mungkin jika dikumulatif, biaya yang dikeluarkan bisa membangun jembatan yang mampu melewati banjir tanpa menimbulkan dampak yang lebih parah, seperti mobil mogok dan truk terbalik.

Pemerintah juga perlu membuat posko khusus bencana agar wanita dan anak-anak mendapatkan perhatian, makanan, dan kesehatan yang layak sambil menunggu situasi membaik. Termasuk sarana penerangan yang memudahkan dalam melihat situasi malam hari karena berdasarkan informasi wilayah tersebut masih banyak Buaya. Semoga daerah tertinggal benar-benar menjadi prioritas perhatian sesuai arahan pemerintah pusat.

Bagikan :