Menanti Harapan di Tengah Keterbatasan

Gambar sampul Menanti Harapan di Tengah Keterbatasan

Menanti Harapan di Tengah Keterbatasan

 

Dalam upaya mewujudkan birokrasi yang lebih efisien, pemerintah melakukan penyederhanaan birokrasi melalui pengalihan jabatan struktural ke dalam jabatan fungsional (JF). Proses ini bertujuan agar fokus pekerjaan lebih pada keahlian dan kinerja, bukan lagi hierarki. Penyederhanaan birokrasi melalui pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional bertujuan untuk mengoptimalkan kinerja ASN berbasis kompetensi. Namun, transisi ini menimbulkan tantangan baru, terutama terkait penghasilan. Pejabat yang dialihkan ke jabatan fungsional seharusnya tidak mengalami penurunan penghasilan. Mereka berhak atas gaji pokok, tunjangan kinerja, dan tunjangan fungsional sesuai dengan kelas jabatan yang baru mereka duduki. Kelas jabatan ini ditentukan berdasarkan evaluasi jabatan yang mempertimbangkan bobot dan tanggung jawab pekerjaan. Sesuai dengan aturan, bahwa penghasilan termasuk Tukin/TPP, seharusnya disesuaikan dengan kelas jabatan yang baru. Namun, di banyak daerah, penyesuaian ini tidak diterapkan secara merata.

Realitasnya untuk penghasilan/gaji pejabat fungsional dari hasil penyederhaan birokrasi, sebagian besar telah disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Sedangkan untuk tambahan penghasilan pegawai/TPP yang belum semua disesuaikan. Masalah ini muncul ketika pemerintah daerah, yang memiliki otonomi dalam pengelolaan keuangan, tidak dapat sepenuhnya menerapkan ketentuan ini karena alasan keterbatasan kemampuan keuangan daerah (KKD).

Keterbatasan Keuangan Daerah

Keterbatasan keuangan daerah seringkali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pendapatan asli daerah (PAD) yang rendah, serta ketergantungan tinggi pada transfer dana dari pemerintah pusat. Akibatnya, beberapa pemerintah daerah belum mampu melakukan penyesuaian Tukin/TPP pejabat fungsional sesuai dengan kelas jabatan yang seharusnya. Hal ini berdampak signifikan:

1. Disparitas Penghasi

Terjadi kesenjangan antara pejabat fungsional di satu daerah dengan daerah lain, bahkan antara pejabat fungsional yang memiliki kelas jabatan sama.

2. Motivasi dan Kinerja

Penghasilan yang tidak sesuai dengan tanggung jawab dan bobot pekerjaan dapat menurunkan motivasi, semangat, dan akhirnya kinerja pegawai.

 

3. Kecemburuan Sosial

Kesenjangan penghasilan memicu kecemburuan di lingkungan kerja, terutama jika ada pegawai yang telah mendapatkan penyesuaian tunjangan sementara yang lain belum.

 

Penyetaraan Tunjangan Kinerja (Tukin) atau Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi pejabat fungsional ahli madya yang belum disesuaikan dengan kelas jabatan yang seharusnya adalah isu krusial yang menyoroti ketidakadilan di tubuh birokrasi daerah. Masalah ini menjadi semakin kompleks dan memicu pertanyaan besar tentang konsistensi kebijakan, terutama ketika pejabat fungsional di bawahnya, seperti ahli pertama dan ahli muda, justru sudah menikmati penyesuaian tunjangan tersebut. Situasi ini seringkali beralasan pada keterbatasan kemampuan keuangan daerah (KKD), namun realitas di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terselubung yang meruntuhkan semangat profesionalisme.

Perbedaan perlakuan ini tidak hanya menimbulkan kesenjangan pendapatan yang signifikan, tetapi juga mengikis motivasi dan moral kerja para pejabat fungsional ahli madya. Mereka adalah para profesional yang menduduki jabatan dengan tanggung jawab dan beban kerja yang tinggi, setara dengan eselon IIIa. Meskipun berbeda kewenangannya. Logikanya, penyesuaian tunjangan seharusnya diprioritaskan untuk level jabatan tertinggi di antara pejabat fungsional, seiring dengan beratnya tanggung jawab yang diemban.

Pemerintah daerah seringkali berdalih bahwa penyesuaian Tukin/TPP bagi pejabat fungsional ahli madya membutuhkan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan ahli pertama atau ahli muda, sehingga belum dapat dipenuhi karena keterbatasan fiskal. Namun, argumen ini menimbulkan pertanyaan:

1. Prioritas Anggaran

Jika anggaran benar-benar terbatas, mengapa penyesuaian Tukin/TPP bagi ahli pertama dan ahli muda dapat direalisasikan? Padahal formasi fungsional madya juga semakin dibatasi dengan peraturan MenpanRB ? Apakah ada pertimbangan prioritas yang tidak adil dibalik kebijakan tersebut?

2.Pengakuan Profesionalisme
Pejabat fungsional ahli madya adalah motor penggerak birokrasi yang memiliki keahlian dan pengalaman bertahun-tahun. Menunda penyesuaian tunjangan mereka sama dengan tidak menghargai kontribusi dan profesionalisme yang telah mereka berikan.

 

Penyetaraan Tukin/TPP bagi pejabat fungsional ahli madya bukan sekadar masalah nominal, melainkan tentang pengakuan, keadilan, dan penghargaan terhadap dedikasi serta profesionalisme. Penundaan yang terus-menerus akan mengikis kepercayaan dan semangat para ASN. Keadilan harus ditegakkan, bahkan di tengah keterbatasan. Karena meskipun belum mendapatkan penyesuaian, pejabat fungsional tetap harus profesional. Pejabat fungsional ahli madya perlu terus menunjukkan kinerja terbaik mereka. Profesionalisme dan kontribusi yang nyata adalah bukti kuat bahwa mereka layak mendapatkan hak-hak yang seharusnya.

Pejabat fungsional ahli madya harus sabar menanti dan selalu menunggu kebijakan dari pemerintah daerah agar penyesuaian tersebut nyata adanya. Bukan sekedar harapan semu yang entah kapan terealisasi dengan alasan klasik keterbatasan kemampuan keuangan daerah. Semoga segera terealisasi.............

Penyetaraan Tukin/TPP pejabat fungsional adalah sebuah keharusan untuk menciptakan sistem kepegawaian yang adil dan berkeadilan. Meskipun tantangan finansial di daerah sangat nyata, hal ini bukanlah alasan untuk menunda hak-hak pegawai. Keseimbangan antara keadilan bagi ASN dan kesehatan fiskal daerah adalah kunci menuju birokrasi yang profesional dan pelayanan publik yang optimal.

 

Bagikan :