Pada hari yang sama setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo mengumumkan susunan kabinet pemerintahannya. Kabinet ini terdiri dari 48 menteri dan 5 kepala badan serta 56 wakil menteri. Dengan jumlah tersebut, kabinet ini tergolong besar dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, seperti pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya memiliki 34 menteri.
Namun, jumlah 48 menteri dalam kabinet Presiden Prabowo ini sebenarnya masih moderat jika dibandingkan dengan sejarah kabinet Indonesia. Sebagai contoh, Presiden Soeharto memiliki 44 menteri dalam Kabinet Pembangunan V. Bahkan, Presiden Soekarno pernah membentuk Kabinet Dwikora I dan Kabinet Dwikora II yang masing-masing beranggotakan 110 dan 132 menteri.
Jumlah menteri biasanya disesuaikan dengan kondisi dan strategi pemerintahan yang sedang berjalan. Presiden Prabowo menyampaikan bahwa jumlah menteri dalam kabinet saat ini didasarkan pada besarnya jumlah penduduk dan luas wilayah Indonesia yang menuntut perhatian lebih terhadap berbagai urusan kebangsaan.
Ada sisi positif dari kabinet besar ini, khususnya dalam fokus pelaksanaan tugas. Misalnya, urusan pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang sebelumnya dikelola oleh satu menteri kini dipisahkan menjadi dua posisi menteri. Dengan demikian, masing-masing menteri dapat lebih fokus pada bidangnya. Hal ini memberikan harapan bahwa masalah perumahan rakyat, seperti minimnya hunian untuk masyarakat, dapat lebih mudah diatasi dengan adanya menteri yang khusus menangani isu ini.
Contoh lainnya adalah pemisahan jabatan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga posisi, yakni Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisantek), serta Menteri Kebudayaan (Menbud). Dengan tiga menteri yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia, diharapkan sektor pendidikan dan kebudayaan dapat berkembang lebih optimal untuk memenuhi kebutuhan SDM Indonesia yang besar.
Penambahan wakil menteri juga menjadi strategi yang jitu dalam mengelola birokrasi yang luas. Tugas seorang menteri meliputi tanggung jawab besar, dari tugas pokoknya hingga administrasi internal kementerian. Ada tugas-tugas tertentu yang sebenarnya bisa didelegasikan, namun tidak cukup jika hanya dilakukan oleh pejabat eselon I. Peran Wakil Menteri inilah yang dibutuhkan dalam pekerjaan tersebut. Misalnya pekerjaan dalam hal perbaikan tata kelola internal Kementerian yang harus melibatkan koordinasi lintas unit Eselon I, seorang Wakil Menteri dapat membantu pengkoordinasian pekerjaan ini.
Strategi birokrasi besar ini segera diewajantahkan dalam Peraturan Presiden Nomor 140 Tahun 2024 tentang Organisasi Kementerian Negara yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo sehari setelah pelantikan, pada 21 Oktober 2024.
Tak lama berselang, pada 7 November 2024, pemerintah juga telah menyelesaikan semua Peraturan Presiden terkait penyesuaian nomenklatur kementerian yang baru. Semua peraturan tersebut mengatur tugas dan fungsi kementerian serta struktur di bawahnya setingkat eselon I, seperti Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal, Staf Ahli, dan Badan pendukung lainnya.
Tentu saja, penambahan kementerian berdampak pada peningkatan unit eselon I, yang berarti peningkatan sumber daya manusia dan anggaran. Meskipun demikian, sebenarnya birokrasi yang besar tidak harus selalu berkorelasi pada ketidakefisienan. Pemerintah dapat menerapkan beberapa strategi untuk memastikan efisiensi dalam pengelolaan birokrasi.
Pertama, memangkas birokrasi. Pemangkasan birokrasi ini sebenarnya telah dilaksanakan pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Di awal periode keduanya, Presiden Jokowi menyampaikan di pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 mengenai pemangkasan birokrasi atau delayering. Jabatan struktural eselon IV, III, II, hingga eselon I dipangkas hingga menyisakan dua level saja, yakni pejabat eselon II dan eselon I. Sisanya, para ASN yang dipangkas kemudian dialihkan menjadi pejabat fungsional yang lebih berorientasi pada kompetensi dan kinerja.
Pola ini dapat dilanjutkan pada pemerintahan saat ini. Selain alur birokrasi yang tidak terlalu hierarkis, pola kerja yang didominasi keterlibatan ASN pejabat fungsional ini dapat lebih fleksibel dalam bekerja. Pergantian tim untuk suatu aktivitas proyek tertentu bisa menyesuaikan dengan anggota tim lain tergantung kebutuhan pekerjaan. Hal ini tidak terjadi pada tim strukutral yang cenderung kaku dan susah menyesuaikan dengan kebutuhan.
Maka dari itu, alangkah baiknya dalam beberapa kementerian jika seorang Dirjen cukup membawahi seorang Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) dan seorang Direktur yang mengurusi administrasi program kegiatan. Sisanya, ASN dapat bekerja dalam tim fungsional dengan menyesuaikan pola kerja sesuai kebutuhan,
Kedua, menyederhanakan rumpun pekerjaan. Terbatasnya jumlah sumber daya juga dapat disiasati dengan penggabungan beberapa rumpun pekerjaan. Khusus untuk kementerian yang lingkupnya tidak terlalu besar, tidak perlu sama strukturnya dengan kementerian lainnya. Misalnya, Biro Perencanaan dan Biro Keuangan yang dalam beberapa kementerian dipisah fungsinya, mungkin dapat disatukan menjadi satu Biro. Contoh lain, Biro Umum dan Biro Hukum dapat disatukan apabila kementerian tersebut tidak terlalu banyak urusan hukum yang perlu dilaksanakan.
Ketiga, menerapkan pola kerja Work from Anywhere (WFA). Salah satu masalah yang timbul dari peningkatan birokrasi ini adalah kurangnya gedung perkantoran. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan pola kerja WFA. Dengan WFA, para ASN tidak perlu datang sepenuhnya ke kantor. Mereka dapat bekerja di mana saja termasuk di rumah masing-masing. Pola kerja ini dapat menghemat ruang kantor termasuk biaya lain seperti listrik, air, dan pemeliharaan.
Sedangkan dari sisi ASN, mereka dapat menghemat uang transportasi dan pembelian makan siang di kantor. Penghematan ini secara tidak langsung juga dapat meningkatkan kesejahteraan ASN. WFA memang membutuhkan pengawasan dari instansi, namun pola kerja ini berhasil diterapkan pada masa pandemi Covid-19. Maka dari itu, bukan tidak mungkin hal tersebut juga kembali diterapkan pada saat ini.
Penutup
Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo menghadirkan strategi birokrasi yang besar untuk menghadapi tantangan nasional yang kompleks. Meski jumlah kementerian bertambah, berbagai langkah, seperti pemangkasan struktur birokrasi, penyederhanaan rumpun pekerjaan, dan penerapan pola kerja fleksibel seperti WFA dapat menjadi upaya untuk menjaga efektivitas dan efisiensi birokrasi.
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat menciptakan birokrasi yang besar namun gesit dan adaptif, sekaligus tetap efisien dalam pengelolaan sumber daya dan anggaran. Diharapkan, susunan kabinet yang besar ini bukan hanya mampu menjawab tantangan administrasi, tetapi juga membawa hasil nyata dalam pelayanan publik yang lebih baik bagi masyarakat luas.