Membaca Sensitivitas Gen-Z dan Milenial dalam Upaya Memerangi Korupsi

Gambar sampul Membaca Sensitivitas Gen-Z dan Milenial dalam Upaya Memerangi Korupsi

Sinyal dari Milenial dan Gen-Z

Sebagai bangsa yang telah Merdeka selama 80 Tahun, amat lumrah rasanya apabila kita selalu memiliki harapan akan kenikmatan tinggal di Negara tercinta bernama Republik Indonesia. Kenikmatan yang dimaksud tentu bukan kenikmatan yang terlalu muluk-muluk untuk hidup mewah, kaya raya atau menjadi raja di usia muda karena privilese orang tua, melainkan sebatas kenikmatan paling minimal (bare minimum) sebagai entitas Warga Negara Indonesia (WNI), yaitu kelayakan yang cukup untuk memperoleh Hak Asasi sebagaimana amanat Konstitusi kita, yakni mulai dari hak untuk hidup, hak untuk berkembang serta bebas dari perlakuan kekerasan dan diskriminasi, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak untuk setara/egaliter di depan hukum (equality before the law), hak untuk berekspresi dan mengemukakan pendapat dan sebagainya. Keseluruhan hak tersebut akan menjadi sebuah kenikmatan yang tiada tara apabila sudah dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa mengenal umur tanpa mengenal usia. Faktanya, sebagaimana kita ketahui bersama terdapat gelombang protes (aksi/unjuk rasa) yang terjadi pada periode akhir Agustus kemarin sampai dengan awal September ini. Bahkan di beberapa Kota Besar, justru sampai dengan detik ini mereka masih terus berjuang memperoleh kenikmatan yang hakiki menjadi Warga Negara melalui tuntutan 17+8 (ditambah 45 tuntutan dari Kaum Perempuan). Akumulasi dari tuntutan tersebut sebenarnya sederhana: "Bagaimana Pemerintah dapat menutup pintu Korupsi Kolusi dan Nepotisme serapat-rapatnya" dan "Perintah untuk membuka tirai kebebasan berpendapat seluas-luasnya tanpa memasang teralis atau bahkan memagarinya dengan tindakan represi yang berlebihan". Terlepas dari beragam kontroversi, isu serta tuntutan yang belum benar-benar direalisasikan secara langsung oleh Pemerintah, namun setidaknya terdapat hal-hal yang menarik, yaitu mengenai keterlibatan kelompok generasi milenial (Gen-X) sampai dengan Gen-Z. William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya yang berjudul Generations: The History of America's Future 1584-2069 (1991) yang berbicara mengenai pola siklus generasi yang berulang (dalam konteks sejarah peradaban Amerika Serikat) dimana pada setiap generasi ditandai dengan munculnya berbagai macam krisis terlebih dahulu untuk kemudian memulai siklus tatanan kehidupan sosial yang baru. Adapun pendekatan yang dilakukan, yaitu generalisasi terhadap pola perilaku manusia berdasarkan tantangan zaman (pengaruh sejarah) yang dihadapi dimana masing-masing generasi akan selalu berusaha memperbaiki generasi sebelumnya untuk mencapai perubahan atau dengan kata lain generasi yang lebih baik lagi. Penelitian keduanya disempurnakan hingga pada Tahun 1997 berhasil dibukukan dengan judul "The Fourth Turning: An American Propechy" yang mulai membagi empat jenis generasi yang akan muncul berulang (dalam siklus 80 tahun) yang didasarkan kepada konsepsi "The Fourth Turning"/belokan atau pergantian keempat, yaitu saeculum revolusioner (generasi kebangkitan, kebebasan, republik dan kompromi), saeculum perang saudara (generasi transendental, generasi emas dan progresif), saeculum kekuatan besar (big power) yang terdiri atas generasi misionaris, generasi yang hilang, generasi GI (Tahun Kelahiran 1901-1924) dan generasi diam (silent generation) yang lahir pada tahun 1925-1942,  serta saeculum Milenial mulai dari generasi Baby Boomers (1943-1960), generasi X (1961-1981), generasi Y (milenial) kelahiran tahun 1982-2004 sampai dengan generasi Tanah Air (homeland generation/Gen-Z) kelahiran 2005-sekarang.  Dominasi kaum Gen-Z dan Milenial yang turut mengawal kompas negara ini yang hendak di bawa ke arah mana, menunjukan kapasitas intelektual yang memadai. Hal tersebut ditandai dengan kejelasan isu dan tuntutan yang diajukan kepada otoritas resmi yang dalam hal ini adalah Pemerintah dan DPR. Artinya, Gen-Z dan Milenial saat ini, "bukan generasi omon-omon atau tong kosong nyaring bunyinya". Alih-alih terbebani dengan tuduhan liar yang dialamatkan mulai dari makar, bahkan terorisme yang tidak berdasar, Gen-Z dan Milenial justru fokus mengarahkan Pemerintah menuju birokrasi yang dicita-citakan. Gen-Z dan Milenial dengan kapabilitasnya, lebih memilih merakit sejumlah tuntutan untuk memberikan shock therapy kepada pemerintah ketimbang merakit bahan peledak sebagaimana yang dituduhkan. Kita berdoa, melalui demonstrasi organik ini mampu melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdiri di atas kepentingan rakyat demi Indonesia yang lebih baik lagi. Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat, sinyal sekecil apa pun dari unsur Gen-Z dan Milenial sesungguhnya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Melalui sinyal mereka, diharapkan akan membangunkan bangsa ini yang sudah terlalu lama tertidur pulas dalam nyamannya kasur ketidakadilan dan selimut kekuasaan. Mari kita semua bangun, untuk bergerak maju bersama guna mengubah asumsi "Indonesia Cemas" menjadi "Indonesia Emas".

Milenial dan Gen-Z Turut Mendiagnosa Masalah Bangsa

Suka tidak suka, mau tidak mau kita harus mengakui secara arif dan objektif mengenai kondisi existing yang sedang dialami oleh bangsa ini. Setidaknya, kacamata kaum Gen-Z dan Milenial mulai mendeteksi sendiri pemandangan seperti bagaimana nirempatinya para wakil rakyat di parlemen berjoget ria di tengah kesulitan yang sedang dialami rakyatnya sendiri, betapa kehilangan akal sehat dan etikanya wakil rakyat yang mengusulkan kenaikan tunjangan sampai klimaksnya, yaitu bagaimana hati rakyat seolah dibuat tersayat berkeping-keping ketika disebut (maaf: tolol) oleh sosok yang pada saat geliat kampanye Pileg 2024 kemarin mengemis suaranya untuk diloloskan ke Senayan. Di samping itu, yang tidak kalah miris, situasi yang terjadi di level eksekutif tidak terlampau jauh, yaitu tertangkapnya Wakil Menteri dalam perkara korupsi, meledaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimana-mana, kasus keracunan massal pada salah satu program prioritas pemerintah serta polemik lainnya. Terkadang, pada suatu masa dimana penulis melakukan kontemplasi tiba pada sebuah momen, yaitu apakah patut kita pertimbangkan pendapat seorang filsuf/pengamat politik Rocky Gerung yang menyatakan bahwa: "untuk menjaring seorang pemimpin, hendaknya kita perlu menyaring yang bersangkutan melalui tiga filter, yaitu etikabilitas (etika seseorang), intelektualitas (aspek kecerdasan/Intelligence Quotient), serta yang paling terakhir elektabilitasnya (keterpilihan atau menimbang kelayakan seseorang dalam menempati jabatan publik). Ketiga tingkatan filtrasi tersebut seyogyanya dimaknai sebagai ratusan bahkan ribuan pertimbangan yang matang seseorang (khususnya Gen-Z dan Milenial) untuk melakukan screening secara komprehensif dalam memilih Capres-Cawapres, Calon Anggota Parlemen (baik level pusat sampai ke daerah) bahkan jika harus dilakukan sampai dengan memilih Calon Kepala Daerah. Karena berdasarkan data dari KPU RI, yang dikemukakan kepada publik pada tahun 2023 (1 tahun sebelum kontestasi Pemilu 2024), yang menerangkan bahwa setidaknya mayoritas Daftar Pemilih di republik ini berasal dari kalangan generasi muda yang jumlahnya mencapai 55% dari daftar pemilih keseluruhan. Dengan mayoritas sebagai pemilik suara sah, generasi muda baik Gen-Z maupun Milenial berhak menuntut apa yang menjadi janji-janji politik para kandidat yang terpilih ternyata belum dapat direalisasikan atau dieksekusi dengan baik. Mereka berhak memperjuangkan aspirasinya terhadap segala aspek kebijakan yang dinilai belum berpihak kepada rakyat. Dari segala sengkarut permasalahan yang telah dijelaskan di atas, hendaknya membuat para elit republik ini mawas diri dan paling tidak memiliki sense of crisis atau sense of bureaucracy yang memadai terhadap segudang permasalahan yang ada di negeri ini. Adanya amplifikasi terhadap tuntutan 17+8+45 yang digemakan oleh kaum muda guna membuka lebar-lebar telinga para pemangku kepentingan agar tidak terus menerus tone-deaf apalagi denial, harus diimbangi pula dengan semangat pengabdian mereka yang telah disumpah di atas Kitab Sucinya masing-masing. Gen-Z dan Milenial yang penulis yakini memiliki kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan negara ini sedikit demi sedikit mampu memahami bahkan mendiagnosa permasalahan etika, sosial, politik, ekonomi bahkan yang menyangkut kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sekali pun, seperti masih maraknya praktik korupsi (kasus tertangkapnya salah satu Wakil Menteri yang diduga melakukan pemerasan terhadap kepengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja/K3, belum tuntasnya penanganan kasus korupsi kuota haji di lingkungan salah satu Kementerian yang menyeret nama mantan Menteri, sampai dengan kasus korupsi yang menghebohkan bangsa ini yang melibatkan salah satu mantan Menteri dan Mantan Sekretaris Jenderal partai besar). Dari sekelumit penyakit rasuah dan penyakit lainnya tersebut, kini saatnya para generasi muda turut serta mendiagnosanya untuk kemudian mengajukan resep obat kepada Pemerintah dalam bentuk, diantaranya percepatan pengesahan/pengundangan RUU Perampasan Aset, memperkuat institusi/lembaga penegakan hukum yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, menunjukan praktik penyelenggaraan bernegara yang bersih atau terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta yang tidak kalah penting bagaimana para pemangku kepentingan baik di eksekutif maupun legislatif mempertontonkan etika yang baik sebagai pejabat publik. Sumbangsih Gen-Z dan Milenial dalam upaya memerangi korupsi dan turut andil memberikan masukan yang konstruktif kepada Pemerintah terkait permasalahan lainnya, akan mampu menciptakan ekosistem pemerintahan yang bersih dari anasir-anasir kepentingan politis yang menguntungkan segelintir orang yang output atau luarannya justru mampu memoles wajah Indonesia untuk memperbaiki peringkat Indeks Persepsi Korupsi yang masih terus bercokol di urutan 99 dari 180 negara dengan skor/poin sebesar 37. Tentu di pundak Gen-Z dan Milenial ini, harapan itu tentu terus terpelihara sampai suatu saat kita melihat negara kita berada di jajaran negara yang paling bersih dari praktik KKN, seperti Singapura (yang mencatatkan skor 84) atau bahkan Finlandia (dengan skor 88). Sesungguhnya, Gen-Z dan Milenial ini merupakan kombinasi yang sempurna dalam mendiagnosa permasalahan bangsa. Selanjutnya, Pemerintah bersama-sama dengan DPR harus menunjukan political will-nya untuk segera menyediakan obat yang tepat terhadap diagnosa yang sudah tercatat dalam paket tuntutan 17+8+45 atau bahkan lebih lainnya.

Sensitivitas Yang Harus Dipelihara

Dalam konteks perkembangan digital dan disrupsi informasi yang sangat pesat ini, tentu membawa konsekuensi tambahan berupa banyaknya kejadian atau peristiwa di berbagai pelosok negeri yang terekam langsung oleh lensa pers maupun kamera pribadi yang kemudian terdistribusinya informasi secara cepat sampai ke telinga para anak muda. Tindak tanduk dan tingkah laku para pejabat publik dapat terekam dengan mudah, yang pada akhirnya kita harus memaknainya dalam satu gambaran besar, bahwa:"Tidak ada tempat lagi untuk berbuat kejahatan di Negeri ini". Adapun yang melatarbelakangi gambaran besar tersebut beragam bentuknya, mulai dari kondisi masyarakat yang lelah menghadapi ketimpangan sosial-ekonomi, aspek penegakan hukum yang belum memenuhi unsur keadilan yang berangkat dari fenomena "No Viral No Justice", maraknya pejabat yang terjaring OTT KPK, sampai dengan isu represifitas aparat keamanan terhadap suara-suara yang membuat berisik penguasa. Kepekaaan atau sensitivitas para generasi muda terhadap isu masa kini, tentu menjadi sebuah pertanda bahwa mereka bersungguh-sungguh mencapai level yang tertinggi (in optima forma) sebagai agen perubahan (agent of change) yang nyata. Para agen perubahan ini tidak hanya sebatas mempelajari berbagai teori di bangku sekolah atau perkuliahan, melainkan turut serta terjun untuk melakukan percakapan dialektis manakala menemukan sebuah bentuk ketidakadilan yang terjadi di tengah masyarakat. Sensitivitas dari Gen-Z dan Milenial dalam mengkonfrontir setiap permasalahan bangsa adalah bentuk kemewahan tersendiri yang dimiliki negara kita. Sebagai pemilik suara mayoritas 55%, Gen-Z dan Milenial diharapkan agar terus menampilkan perilaku kritis dengan terus menggelengkan kepala terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat negara. Generasi muda harus menjadi antitesa bagi siapa saja yang hendak membohongi rakyat, bagi siapa saja yang menunjukan perilaku koruptif, bagi siapa saja yang coba-coba menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya. Wahai para kaum Gen-Z dan Milenial di seantero nusantara, berbahagialah karena rasa kepekaan kita yang semakin meningkat ini turut serta menyelamatkan bangsa ini dari kemunduran. Berbahagialah kalian para generasi muda yang terus bertumbuh menjadi lebih baik, sebagaimana sabda pendiri bangsa kita Tan Malaka yang pernah berujar: "Terbentur, Terbentur, dan Terbentuk". Sensitivitas anak muda itu harus terus dipelihara, dijaga, dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi mendatang. Setidaknya, ketika menginjak usianya yang ke 100 tahun pada tahun 2045 nanti, para generasi alpha, betta atau bahkan generasi selanjutnya bisa terus hidup merasakan kenyamanan berada di negara ini yang bernama: Republik Indonesia.

Sumber Referensi:

  1. William Strauss & Neil Howe: Generations: The History of America's Future 1584-2069 (1991).
  2. William Strauss & Neil Howe"The Fourth Turning: An American Propechy" (1997).
  3. https://www.kompasiana.com/narulhasyim5811/66dcd50bed64153601487cb2/menyaring-kandidat-pemimpin-lewat-etikabilitas-intelektualitas-dan-elektabilitas
  4. https://www.kpu.go.id/berita/baca/11684/55-pemilih-didominasi-generasi-muda-bantu-kpu-dalam-penyelenggaraan-pemilu-2024#:~:text=55%25%20Pemilih%20Didominasi%20Generasi%20Muda%2C%20Bantu%20KPU%20Dalam%20Penyelenggaraan%20Pemilu%202024,-8%3A08%3A00
  5. https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2024-korupsi-demokrasi-dan-krisis-lingkungan-2/
  6. TUNTUTAN MASYARAKAT SIPIL (17+8) DAN TUNTUTAN 45 KAUM PEREMPUAN.
Bagikan :