Saya masih ingat betul masa-masa awal kuliah di STAN, tahun 1992. Hidup sebagai mahasiswa kala itu bukan hanya tentang belajar angka-angka, akuntansi, atau hukum keuangan negara. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang saya peroleh di luar ruang kelas. Masjid Baitul Maal, masjid kecil di kampus, menjadi tempat saya tumbuh, bukan hanya secara spiritual, tapi juga dalam menata arah hidup. Di bawah bimbingan para senior dan guru di masjid itu, saya belajar satu nilai sederhana namun besar: jangan sekali-kali mengambil sesuatu yang bukan hak kita. Nilai itu saya tanam dalam-dalam, dengan tekad: kalau kelak saya menjadi pegawai negeri, saya akan menjaga diri dari rezeki yang haram.
Saya tidak pernah menyangka, begitu cepat nilai itu diuji. Tahun 1995, setelah lulus, saya ditempatkan di Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) di Palu. Saat itu, gaji pegawai negeri sungguh jauh dari layak. Saya masih ingat, take home pay saya waktu itu tidak mencapai angka empat ratus ribu rupiah. Padahal, saya sudah berkeluarga—istri yang setia mendampingi (saya menikah setelah mendapatkan SK Penempatan, sebelum berangkat ke Palu). Anak pertama saya lahir satu tahun persis setelah saya menikah, disusul dua tahun kemudian lahir anak kedua. Hidup di perantauan dengan penghasilan sebesar itu dengan dua anak kecil yang harus diberi makan, pakaian, dan masa depan terasa sangat berat, belum lagi harus membayar uang kontrakan rumah. Tetapi ini baru awal perjuangan, hidup harus dilalui. Kalau dibilang cukup, ya cukup, buktinya saya bisa bertahan hidup pada waktu itu, hingga sekarang. Alhamdulillah. Kalau dilogikakan memang tidak akan cukup, bayangkan saja, di tengah harga kebutuhan pokok yang terus naik, di saat anak-anak membutuhkan susu, sekolah, dan kesehatan, tapi saya percaya bahwa Allah sudah mengatur rizki untuk semua orang.
Namun hidup memang penuh ironi. Di saat kebutuhan begitu besar, di depan mata justru terbuka peluang yang menggiurkan: uang-uang “tambahan” dari para stakeholder yang setiap hari berurusan di kantor. Semua orang tahu, praktik itu salah. Tapi hampir semua orang juga tahu, hampir semua pegawai melakukannya. Uang itu seolah sudah menjadi “aturan tak tertulis” yang diwariskan dari generasi ke generasi. Saya masih ingat betul, bagaimana teman-teman senior dengan enteng berkata, “Sudahlah, kita ambil saja. Semua orang juga begitu. Kalau kamu tidak ambil, kamu rugi sendiri.”
Saya hanya diam. Di hati saya bergemuruh. Godaannya luar biasa besar. Apalagi, ketika pulang ke rumah, saya melihat istri saya sering harus memutar otak untuk mengatur keuangan rumah tangga yang pas-pasan. Sering ia menyisihkan kebutuhan dirinya sendiri demi anak-anak. Pernah suatu kali, ketika anak saya meminta mainan sederhana, saya tidak mampu membelikannya. Rasa bersalah itu seperti menampar wajah saya sendiri. Dalam diam, saya bertanya: apakah saya tega menyusahkan keluarga hanya karena bersikeras memegang idealisme?
Namun setiap kali godaan itu datang, saya teringat janji saya di masjid kampus dulu. Saya juga teringat wajah-wajah polos anak-anak saya. Saya tidak ingin mereka tumbuh dengan rezeki yang kotor. Lebih baik mereka hidup dengan sederhana, tapi dengan rezeki yang halal. Maka saya pun memilih jalan sunyi: menolak tanpa suara. Saya tidak berani menegur, tidak berani melawan sistem yang sudah mengakar, tapi saya menutup pintu rapat-rapat untuk diri saya sendiri. Bahkan ketika ada uang lembur yang sebenarnya tidak pernah saya jalani, saya tidak mengambilnya. Mungkin orang melihat saya aneh, bahkan bodoh. Tapi saya tetap bertahan. Lima tahun saya hidup seperti itu di Palu. Lima tahun menahan diri di tengah himpitan ekonomi, lima tahun berjalan sendirian dengan idealisme yang sering kali membuat saya merasa terasing.
Waktu berlalu, dan saya pun dipindahkan ke KPKN Pekalongan. Di sini, saya mulai melangkah sedikit lebih berani. Tidak lagi sekadar menolak dalam diam, tapi juga mulai bersuara. Saya masih ingat malam itu, dengan hati bergetar, saya mendatangi rumah atasan saya bersama istri. Saya berkata jujur bahwa saya tahu ada uang yang dikumpulkan dari para stakeholder dan dibagikan setiap Jumat. Saya mohon agar saya tidak diikutkan dalam pembagian itu. Saya janji akan tetap bekerja keras, menyelesaikan semua tugas, tanpa mengurangi kualitas. Beliau mengangguk, tapi keesokan harinya, pekerjaan-pekerjaan saya yang terkait sumber uang itu diambil dan dialihkan ke pegawai lain. “Saya nggak enak sama kamu,” katanya. Saya hanya bisa tersenyum getir. Ternyata, menolak pun ada konsekuensinya: dijauhkan dari pekerjaan, seolah saya tidak layak dipercaya.
Enam tahun saya bertahan di Pekalongan dengan cara itu. Sering kali hati ini terasa sepi. Ada kalanya saya merasa seperti orang yang berjalan sendirian di jalan gelap, sementara orang lain sibuk berpesta di sisi jalan. Tapi setiap kali saya pulang dan melihat anak-anak tidur nyenyak dengan senyum di wajah mereka, hati saya kembali dikuatkan. Biarlah mereka tidak punya mainan mahal, biarlah baju mereka sederhana, asal mereka tumbuh dengan bekal yang halal.
Mutasi berikutnya membawa saya ke KPPN Banjarmasin. Di sinilah pengalaman saya semakin menguji. Kali ini, saya sudah tidak ingin hanya berdiam. Saya minta ditempatkan di seksi yang paling “aman” dari uang, yaitu seksi pelaporan dan akuntansi. Tapi ternyata, saya salah besar. Di seksi itu pun praktik serupa tetap ada. Modusnya lebih halus—pegawai satker sengaja dibiarkan melakukan kesalahan, agar mereka datang meminta bantuan, lalu memberi uang sebagai imbalan.
Hati saya berontak. Saya tidak ingin terjebak dalam lingkaran itu. Maka saya ambil jalan lain: saya katakan kepada semua petugas satker, “Kalau ada kesalahan, mari kita perbaiki bersama. Kalau butuh bantuan, saya akan ajari. Tidak usah bayar.” Awalnya mereka kaget, bahkan tidak percaya. Tapi seiring waktu, mereka mulai paham bahwa saya serius. Delapan bulan saya jalani pola itu, melayani dengan sepenuh hati tanpa menerima sepeser pun.
Ketika saya dipindahkan ke bagian server, tantangan baru datang. Asisten saya langsung berkata, “Mas, kita harus bicarakan pembagian uang dari para stakeholder nanti.” Saya tegas menolak: “Saya tidak mau uang itu. Dan saya tidak mau kalau orang menitipkan untuk saya. Kalau saya tidak ada, tolong jangan terima apa pun atas nama saya.” Dia protes, tapi saya bergeming. Saya sudah sangat jauh berjalan di jalan ini untuk berhenti di tengah.
Dan benar saja, riak mulai muncul. Para petugas satker yang selama berbulan-bulan saya layani tanpa imbalan, mulai mengira kantor ini sudah berubah. Mereka berhenti memberi uang, bahkan ketika saya sudah tidak lagi di posisi itu. Geger pun terjadi. Saya dipanggil atasan, ditanya siapa saja yang pernah saya tolak. Saya menjawab dengan tenang, “Saya pegang 120 DIPA, Pak. Setiap DIPA ada dua orang. Semuanya saya perlakukan sama. Tidak ada satu pun yang saya kecualikan.” Ternyata mereka melaporkan suatu kejadian terkait pelayanan di seksi yang saya tinggalkan itu ke Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kalimantan Selatan.
Saat itu saya sadar, penolakan kecil saya ternyata menimbulkan dampak. Mungkin saya tidak berhasil menghentikan seluruh praktik itu, tapi saya telah menunjukkan bahwa ada cara lain. Bahwa melayani bisa dilakukan tanpa pamrih. Bahwa integritas masih mungkin dijalankan, bahkan di tengah arus besar godaan.
Hari ini, ketika saya menuliskan kembali kisah itu, dada saya terasa sesak. Saya teringat masa-masa sulit, ketika gaji tak cukup untuk kebutuhan, ketika istri harus berhemat habis-habisan, ketika anak-anak harus belajar menerima kesederhanaan. Saya teringat tatapan heran teman-teman, cibiran yang sering saya dengar, bahkan perlakuan “pengasingan” yang harus saya telan. Tapi saya juga teringat wajah polos anak-anak saya yang tumbuh dengan bahagia, tanpa tahu betapa keras ayahnya berjuang menjaga rezeki mereka tetap bersih.
Melawan korupsi bukanlah perkara besar yang selalu tercatat di berita. Kadang, melawan korupsi berarti berani berkata “tidak” dalam sunyi, konsisten menjaga tangan tetap bersih, meski semua orang di sekitar melakukannya. Melawan korupsi berarti memilih jalan yang berat, yang membuat kita terasing, tapi menenteramkan hati.
Saya tidak pernah merasa diri saya pahlawan. Saya hanya seorang ASN yang berusaha setia pada janji. Namun jika ada pelajaran dari kisah ini, maka itu adalah: jangan pernah meremehkan satu penolakan kecil. Sebab bisa jadi, dari satu penolakan itu, lahir perubahan yang lebih besar.
Dan memang, perubahan besar itu benar-benar datang. Tahun 2007, setahun setelah saya dipindahkan ke Banjarmasin, Kementerian Keuangan menggelar reformasi birokrasi besar-besaran. Sistem pelayanan berubah 180 derajat. Semua stakeholder kini hanya boleh mengajukan pencairan dana di loket resmi, tidak ada lagi pintu belakang, tidak ada lagi pungli yang dulu begitu merajalela. Kantor pun diberi nama baru: KPPN Percontohan. Dari ratusan kantor di seluruh Indonesia, hanya 18 yang dipilih untuk menjalankan sistem baru yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Bukan hanya sistem yang berubah, tapi juga manusia di dalamnya. Setiap pegawai harus menjalani tes kepribadian dan integritas. Tes itu dilakukan seharian penuh, dari pukul 08.00 sampai 15.00, menguji siapa yang benar-benar layak dipercaya untuk menjaga wajah baru birokrasi keuangan negara. Saat hari ujian tiba, saya sedang sakit. Tubuh saya lemah, kepala berputar, tapi hati saya berbisik: ini mungkin kesempatan sekali seumur hidup, jangan lewatkan. Dengan sisa tenaga, saya paksakan diri untuk tetap hadir, menjalani setiap tahap tes, menahan rasa sakit sambil berdoa dalam hati.
Dan alhamdulillah, ketika pengumuman tiba, nama saya tercantum di daftar yang lulus. Dari 85 pegawai di KPPN Banjarmasin, hanya dua orang yang terpilih. Dan saya, dengan segala kekurangan saya, termasuk salah satunya. Saya masih ingat ketika bertemu dengan teman-teman seangkatan di STAN saat mengikuti diklat di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Mereka menepuk bahu saya, tersenyum, lalu berkata: “Bambang, kelulusanmu itu bukan kebetulan. Itu anugerah Allah atas apa yang selama ini kamu jalani. Kamu dijaga untuk saat ini.”
Saya hanya bisa terdiam. Tenggorokan saya tercekat. Tak ada kata yang bisa keluar, selain rasa syukur yang tak putus saya panjatkan dalam hati. Saya tidak pernah merasa diri saya lebih baik dari yang lain, tapi saya yakin, Allah Maha Melihat setiap pilihan kecil yang kita ambil, setiap godaan yang kita tolak, setiap prinsip yang kita genggam erat meski menyakitkan.
Kini, setelah puluhan tahun berlalu, saya melihat wajah Kementerian Keuangan yang jauh berbeda. Sistemnya sudah semakin bersih, transparan, profesional. Meski cibiran dari masyarakat kadang masih terdengar, saya percaya arah perubahan sudah benar. Yang diperlukan hanyalah konsistensi, menjaga agar bara reformasi itu tidak padam, agar kepercayaan rakyat terus tumbuh, agar setiap pegawai benar-benar sadar bahwa integritas bukan sekadar slogan, tapi darah yang mengalir dalam setiap pelayanan.
Saya menulis kisah ini bukan untuk meninggikan diri, tapi untuk menitipkan pesan: bahwa selalu ada ruang bagi kebaikan, bahkan di tengah sistem yang bobrok. Bahwa satu pilihan kecil untuk berkata “tidak” bisa berarti banyak. Bahwa menjaga integritas memang tidak mudah, sering membuat kita merasa sendiri, tapi kelak Allah akan memberikan jalan-Nya sendiri.
Jika ada ASN muda, atau siapa saja, yang membaca kisah ini, saya berharap mereka bisa mengambil satu hal: jangan pernah menyerah untuk jujur, jangan pernah lelah menjaga diri. Karena dari situlah perubahan lahir. Saya pernah melawan korupsi hanya dengan diam, hanya dengan menolak selembar amplop, hanya dengan melayani tanpa pamrih. Dan siapa sangka, dari jalan sunyi itu, Allah justru menghadiahkan kehormatan yang lebih besar.
Saya menutup tulisan ini dengan doa, semoga Kementerian Keuangan, dan seluruh birokrasi di negeri ini, terus konsisten dalam reformasi, meski godaan besar dan cibiran tajam akan selalu ada. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk tetap teguh, agar generasi setelah kita bisa hidup dalam sistem yang bersih.
Karena pada akhirnya, lebih baik kita kehilangan kesempatan dunia, daripada kehilangan kehormatan di hadapan Allah dan anak cucu kita.
Balikpapan, 3 September 2025
Bambang Kismanto, Paksi Muda, Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Balikpapan
#aksaraAbdimuda