Halo semua, saya Zein, dan seperti kalian, saya adalah pengguna aktif media sosial. Tapi berbeda dari kalian, di hari Minggu (10/11/2024) seperti ini, saya perlu berangkat ke kantor untuk upacara.
Ya, bicara tentang media sosial, jadi belakangan ini ada sesuatu yang membuat saya sedikit getir setiap kali membuka media sosial, terutama ketika melihat akun-akun resmi milik pemerintah.
Menurut saya, sebagai media kehumasan, akun media sosial pemerintah semestinya bisa menjadi alat yang powerful untuk mengedukasi masyarakat dan menyampaikan informasi penting mengenai program dan kebijakan. Namun yang terjadi sekarang justru agak menyimpang dari fungsi idealnya. Media sosial instansi pemerintah tampaknya semakin sering dijadikan sebagai media promosi figur pimpinan tinggi. Hal inilah yang membuat saya getir belakangan ini, sampai harus mengerutkan dahi setiap menggulir beranda.
Promosi pimpinan tinggi di media sosial biasanya datang dalam dua bentuk. Pertama, wajah menteri atau kepala lembaga yang muncul terus-menerus di feed. Kedua, judul-judul konten yang hampir selalu mencantumkan kata “Menteri” atau “Kepala Lembaga” — bahkan ada yang terang-terangan menggunakan nama sang pimpinan.
Sejak awal Oktober 2024, dari 41 akun media sosial kementerian dan lembaga, tercatat 38 akun menampilkan figur pimpinan tinggi dengan frekuensi yang bervariasi (sedang, rendah, dan tinggi). Selain itu, dari 38 akun, 23 di antaranya konsisten menggunakan frasa “Menteri/Kepala Lembaga” di setiap konten, alih-alih nama organisasi..
Tentu, saya tidak ingin mengabaikan efek positifnya. Pengenalan pimpinan kepada masyarakat dapat memperkuat hubungan publik dan meningkatkan jumlah pengikut, apalagi jika sang pimpinan memiliki jumlah pengikut pribadi yang lebih banyak dibandingkan akun resmi instansi.
Namun, di sisi lain, ada dampak yang bisa jadi tidak diinginkan. Banyak pengguna yang akhirnya jenuh dan memilih tidak lagi mengikuti akun tersebut, karena feed mereka lebih banyak diisi oleh postingan seremonial, yang jauh dari kebutuhan masyarakat luas.
Praktik ini juga secara tak langsung mengecilkan peran ratusan bahkan ribuan pegawai di bawahnya yang bekerja keras. Dengan sorotan hanya pada kepala, kontribusi tim yang bekerja setiap hari untuk masyarakat jadi terasa terpinggirkan, seakan-akan semua keberhasilan instansi hanya diwakili oleh satu sosok.
Masalah penggunaan media sosial di instansi pemerintah tampaknya semakin njelimet saja. Dulu, tantangannya hanya seputar konten yang kurang menarik, penyampaian yang kaku, dan terlalu banyak unggahan kegiatan seremonial di beranda. Sekarang, ditambah lagi dengan pimpinan tinggi yang ingin tampil di publik dunia maya. Waladalah!
Agar tulisan ini lebih positif, saya coba berikan contoh untuk dipelajari bersama. Dari 41 akun, ada satu yang bisa dijadikan contoh dan telah terbukti berprestasi, yaitu akun Direktorat Jenderal Pajak (@ditjenpajakri). Ada pelajaran menarik yang bisa kita ambil dari akun ini. Dari 84 konten yang mereka unggah sejak bulan Oktober, hanya ada satu foto figur pimpinan tinggi yang tampil, itupun Menteri Keuangan di akun @ditjenpajakri. Praktik seperti ini bisa menjadi contoh yang sangat baik bagi pengelola media sosial instansi lainnya, maupun bagi pejabat tinggi di dalamnya. Dengan tidak menampilkan sorotan berlebihan pada satu figur, Direktorat Jenderal Pajak berhasil mencatat banyak prestasi dalam penyampaian informasi dan edukasi lewat media sosial.
Akhir kata, kegetiran saya ini mungkin hanya bisa saya ungkapkan lewat tulisan singkat ini. Tapi saya berharap, ada yang membaca ini — entah itu dari pengelola akun atau bahkan Menteri atau Kepala Instansi. Semoga pesan ini bisa menjadi masukan berharga agar media sosial pemerintah benar-benar kembali menjadi sumber informasi bermanfaat bagi kita semua, bukan sekadar panggung seremonial belaka.
Huh..