Mari Bung, Rebut Kembali Efisiensi

Gambar sampul Mari Bung, Rebut Kembali Efisiensi

Efisiensi adalah api.

Konon api itu sulit dibuat, mudah dibagikan. Bayangkan, manusia purba hidup tanpa api. Baru ratusan ribu tahun yang lalu manusia mengenal api. Mereka berinovasi, menciptakan percikan api dengan menggesekkan batu. Dari percikan api itulah mereka membakar ranting dan kayu, membuat penerangan, menghangatkan tubuh, mengusir binatang yang mengancam serta melunakkan daging hewan buruan menjadi lebih steril untuk dimakan. Api membantu kita bertahan dan meningkatkan kualitas hidup. 

Untungnya, saya hidup bukan di zaman batu. Meskipun begitu, saya tumbuh dalam keluarga kurang mampu. Ibu memasak dengan tungku berbahan kayu. Lalu, beralih dengan teknologi kompor minyak tanah. Waktu kecil kadang saya disuruh Ibu menaikkan sulur-sulur sumbu atau menggantinya agar proses kapilaritas lancar. Sehingga nyala kompor terjaga.

Dapur ngebul adalah urusan utama. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah mengeluarkan kebijakan pengalihan dari minyak tanah menjadi gas. Jutaan kompor dan tabung gas dibagikan. Ketika itu saya sudah berkeluarga.

Istri saya cepat familer dengan kompor gas. Kebalikan dengan saya. Begitu teknologi membuat api untuk memasak praktis dan instan, saya justru terperangkap dalam kecemasan. Saya tidak berani memasang sendiri tabung gas dengan perangkat kompornya. Pegang tabung gas seolah sedang menggenggam granat. Siap meledak dan menimbulkan kebakaran hebat.

Catrastrophizing

Tampaknya pernyataan saya harus direvisi. Api mudah dibuat, dan lebih mudah lagi untuk dibagikan. Bahkan sulit dikendalikan. Saya, ingat, masa itu hampir tiap hari ada berita tentang tabung gas elpiji meledak. Ini membuat "histeria massal”. Butuh cukup lama sampai kebijakan itu berhasil mengubah kebiasaan masyarakat dari minyak tanah menjadi gas.

Kini tak ada lagi kecemasan. Memang, ada satu dua kasus kebocoran atau ledakan tabung gas. Tapi masyarakat sudah tahu, itu hanya satu dua kasus biasa. Yang lebih meledak adalah ketika masyarakat harus antre gas melon. Saya pun demikian, akhirnya berani memasang tabung gas sendiri.

Barangkali saat itu saya terjebak dalam catastrophizing. Suatu gejala psikologis akibat melebih-lebihkan bahaya atau akibat dari sesuatu hal atau kejadian. Hal ini akan menjadi ladang para pembuat berita. Misalnya, saat isu insiden ledakan tabung gas rumah tangga tengah viral, mereka akan selalu memberitakan setiap hari, mengejar berita sampai ke pelosok tentang bahaya menggunakan kompor gas. Makin lama ketakutan ini menyebar massif.

Kini saya cukup paham, catastrophizing ini terjadi pula pada banyak isu dan tempat. Buku Christopher J. Ferguson berjudul Catastrhope! (2023) menceritakan bagaimana awal penggunaan microwave di Amerika mendapat respon negatif dari masyarakat. Berkembang isu yang menganggap penggunaan perangkat itu menyebabkan radiasi. Seolah-olah sedang berhadapan dengan program senjata nuklir. Sekarang hampir semua rumah tangga di Amerika memiliki microwave.

Catastrophizing itu sangat mungkin terjadi dalam hal-hal baru atau isu-isu yang berkembang. Ia merupakan salah satu bentuk bias kognitif. Mendramatisasi dampak atau efeknya. Ditambah adanya medsos dapat menjadi kanal yang melebih-lebihkan sebuah kejadian, isu, kebijakan seolah sebagai bencana.

Api Efisiensi

Nah, ketika muncul kebijakan penghematan anggaran, ada sebagian yang menganggapnya seperti malapetaka. Tak heran, ada pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang cukup tajam karena adanya resistensi. Lagi pula, gaya komunikasi beliau memang berapi-api.

Kebijakan efisiensi bisa kita umpamakan sebagai api. Presiden telah menyalakan api efesiensi, menargetkan 750 triliun. Semua untuk kepentingan rakyat. Salah satu yang perlu dibiayai adalah program Makan Bergizi Gratis. Meski begitu, kita harus hati-hati. Mari kawal dan kritisi kebijakan ini, termasuk bagaimana program Danantara dijalankan.

Api mudah dinyalakan. Tetapi bagaimana kita mengelola dan mengendalikan? Pemangkasan anggaran menimbulkan kecemasan dan ketidakpastian. Tak heran, di antara isu yang berkembang dihapusnya gaji ke-13 dan ke-14.

Ada pula isu tentang efeknya dapat meningkatkan biaya yang ditarik perguruan tinggi. Sementara di medsos muncul pula isu tentang pengaruh pada layanan kesehatan. Isu lain, apakah ada ASN yang diberhentikan seperti nasib pegawai TVRI yang belakangan dibatalkan?

Sebagian besar pertanyaan yang datang dari ASN itu adalah pengaruh efesiensi terhadap kesejahteraan finansial. Seperti berkurangnya fasilitas dan sumber-sumber penghasilan di luar gaji. Apakah tukin terancam?

Ketakutan, kecemasan dan reaksi berlebihan serta menganggap kebijakan efesiensi seolah-olah malapetaka bisa saja kini sedang berlangsung. Namun, bias kognitif catastrophizing ini seharusnya dihindari ASN. Menjauhi bias berpikir yang melenceng dari fakta objektif.

"Jangan terjebak pada pola pikir yang menganggap efisiensi sebagai malapetaka. Namun penting pula tidak memaknai efisiensi sebagai pemangkasan anggaran belaka"

Bumihangus Kebiasaan

Peristiwa heroik Bandung Lautan Api dapat menjadi inspirasi. Peristiwa ini  terjadi ketika rakyat dan tentara membakar Kota Bandung daripada digunakan dan dikuasai oleh musuh. Seperti kata-kata yang viral saat ini Kabur Aja Dulu. Sebuah strategi untuk mempersiapakan diri dan merebut kota kembali. Bandung Lautan Api tak pernah dianggap sebagai malapetaka.

Anggap saja penghematan anggaran adalah membumihanguskan kebiasaan-kebiasan dalam birokrasi. Perjalanan dinas, bintek dan berbagai acara seremonial sangat menguras anggaran, energi dan waktu. Efisiensi adalah fitrah atau jalan  birokrasi.

Antara efisiensi anggaran dan pengurangan belanja itu dua hal yang berbeda. Efesiensi tidak tergantung jumlah uang yang dimiliki. Setiap angggaran berapapun dan kapanpun wajib digunakan untuk kepentingan publik dengan cara efisien.

Untuk itu, pemerintah harus bisa menunjukkan dengan data dan informasi yang benar. Menyajikan dengan sederhana dan jelas. Sehingga fenomena mirip ketakutan saya memasang tabung gas dalam perangkat kompor dapat ditangkal atau dikelola dengan baik.

Begitu pula dengan ASN, mesti teliti memeriksa data dan fakta. Kebijakan efesiensi akan memberi tantangan apakah sebagai ASN adaptif atau ketakutan. Seperti pesan Rhenald Kasali, kata kunci menghadapi pergeseran dan disrupsi adalah jadilah manusia yang selalu relevan. ASN semestinya tampil di depan tanpa mengurangi daya kritis.

Efisiensi itu seperti api. Mari kita bersama-sama membumihanguskan inefisiensi dan kebiasaan yang tidak sesuai kepentingan publik. Tetapi api efesiensi dibutuhkan untuk menghidupi masa kini dan menghadapi masa depan yang kebih baik. 

Spirit efisiensi memang harus dinyalakan. Efisiensi adalah api yang kita butuhkan sehari-hari. Pemerintah harus pintar, bukan hanya mudah menyalakan tetapi harus mampu mengendalikan dan mengelolanya. Mari nyalakan api semangat efesiensi  dalam praktik penyelenggaraan birokrasi sehari-hari. Demi merebut hati masyarakat. Bukan berebut pundi-pundi untuk diri sendiri.

Jangan lupa, peristiwa Bandung Lautan Api dimotori oleh para tokoh-tokoh muda. Di antara yang menonjol adalah Abdul Haris Nasution, seorang kepala sekolah muda yang memilih jadi prajurit dan kemudian menjadi seorang jenderal. Dalam buku Gelora Api Revolusi yang ditulis Colin Wild dan Peter Carey (2024) dikisahkan Nasution saat itu adalah kolonel muda. Ada perintah dari Perdana Menteri Sjahrir agar tentara rakyat meninggalkan Bandung. Semula hampir perintah itu ditentang para pejuang, tetapi atas pertimbangan hasil diplomasi dari pemerintah dan tampaknya tentara rakyat belum sepenuhnya siap bertempur langsung dengan tentara Inggris, akhirnya kebijakan itu dipatuhi.

Namun, Nasution berunding dengan tokoh-tokoh pemuda dan perjuangan, sebelum memutuskan membumihanguskan Bandung daripada diserahkan kepada Inggris dan rezim kolonial Belanda yang hendak kembali.

Pejuang-pejuang muda patuh terhadap kebijakan pusat untuk mengosongkan Bandung. Tetapi mereka membakar kota. Kepatuhan terhadap pemimpin tetapi disertai dengan siasat dan gagasan inovasi.

Peristiwa sejarah ikonik ini mengajarkan semangat pengorbanan, kebersamaan, siasat dan inovasi. Itulah kunci merespon masalah bersama dan menghadapi masa depan. Jadi, meminjam dari Bandung Lautan Api, kini saatnya para aparatur, khususnya abdi muda aktif menyalakan api, merebut kembali efesiensi. Tidak hanya sekadar bertahan di zona nyaman atau mempertahankan status quo dengan rutinitas, mirip bertahan hidup ala manusia purba di dalam gua pada zamannya. 

Mari nyalakan api semangat. Mari Bung, rebut kembali efisiensi.

 

Bagikan :