KURENGKUH ASA DIUSIA SENJANYA

Gambar sampul KURENGKUH ASA DIUSIA SENJANYA

“Jangan buat malu keluarga. Mana mungkin bisa  lulus PNS dengan murni, tanpa uang,”. Suara tegas dibalik ringkih raganya, 13 tahun lalu. Kala itu, melalui sambungan warung telepon(wartel) aku mengabarkan berita bahagia yang nantinya mengubah derajat keluarga kami. Aku diterima dan lulus menjadi seorang abdi negara, PNS. Dan laki-laki yang kuhubungi ini adalah pejuang sejati keluarga, Bapak. 
Resonansi nada bicaranya meninggi karena beliau tidak yakin aku bisa lulus menjadi PNS tanpa serupiah uang-pun. Sementara saat itu, bukan rahasia umum, jangankan menjadi PNS, bermimpi saja tabu, jika tidak siap dengan kekuatan uang. Tentu ini sebuah ketidakniscayaan bagiku. Bagaimana mungkin, anak petani dari pelosok dusun mampu menaklukkan kemapanan kota, merajut asa ditengah segala keterbatasan untuk mencapai prestise tinggi di dunia kerja, PNS.

Aku lahir dipelosok dusun, nyaman nan asri. Jauh dari hiruk pikuk dan bising. Sebuah dusun di Bengkulu. Di dusun inilah Bapak dan Emak bergelut dengan lumpur sawah demi menyekolahkan kami, anak-anaknya, agar menjadi orang sukses dikemudian hari. Sebuah tekad dan cita-cita yang sangat mustahil bagi kebanyakan orang pada jamannya. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja susah. Tak sedikit yang meragukan, namun Bapak tak patah arang untuk menyekolahkan kami enam bersaudara.

 “Kalian harus sekolah. Dengan sekolah, kalian bisa mengubah hidup”. Pesan Bapak disuatu sore kepadaku, sembari duduk di pematang sawah sembari menikmati kopi pahitnya, menatap hamparan sawah yang siap ditanam padi. O ya, menurut Bapak dan Emak, aku dilahirkan di sawah ini. 
Kala itu lagi musim panen dan emak sedang mengandungku. Kebiasaan di daerah kami, jika musim panen, keluarga menginap di Dangau atau Gubuk di sawah. Karena itu, sawah ini sangat bersejarah bagiku.

Kutatap wajah senja Bapak, wajahnya mulai keriput dimakan usia. Kalimat pendek yang beliau sampaikan, adalah hentakan pesan yang maha dahsyat, dan  cambuk bagiku untuk tidak menyerah. Apapun kondisi, harus sekolah. Dengan sekolah, peluang untuk bekerja lebih baik, terbuka. Inilah cara satu-satunya. Jika tidak, maka mimpiku harus rela terkubur bersama lumpur sawah. 

Menghidupi enam orang anak dan membiayai sekolah tentulah sangat berat. Sementara Bapak dan Emak hanyalah petani kecil yang untuk makan sehari-hari saja susah. Mengandalkan hasil sawah saja, tidaklah cukup. Bapak harus lebih keras membanting tulang. Tak jarang pekerjaan super berat dilakukan Bapak seperti mengangkut gelondongan kayu berukuran sangat besar atau memikul beberapa batang bambu panjang dan besar. Atau mengangkat almari saat orang pindahan rumah. Dusunku dan sekitarnya selalu mengandalkan Bapak jika urusan seperti ini. Mobil sebagai jasa angkut belum ada kala itu. Tak ada yang menandingi kekuatan Bapak. Sehingga Bapak mendapat julukan “Jawa Kuat”.  Disebut Jawa karena Bapak berasal dari Banyuwangi Jawa Timur. 

Aku menyadari beratnya jalan jihad Bapak untuk menyekolahkan kami. Karenanya, memanajemen waktu antara belajar dan membantu Bapak bekerja menjadi mata pelajaran tersendiri bagiku. Selekas sekolah, aku selalu bercengkrama dengan lumpur sawah, membajak dan menanam padi. Inilah arena bermain sesungguhnya bagiku. Kala matahari mulai menuju peraduannya, aku belajar mengaji pada guru ngaji di dusun. 

Sepulang mengaji, baru belajar, melahap buku. Tekadku memang sangat kuat untuk belajar. Kadang tak terasa sampai larut malam. Sampai-sampai tetanggaku bilang, terlalu hobi belajar. Ditemani lampu sumbu minyak tanah terbuat dari kaleng susu merk  frisian flag, aku menjelajahi cakrawala dunia.

Namun adakalanya lampu kaleng sumbu ini tak bisa menemaniku belajar sampai larut malam. Pada saat Bapak sedang tidak ada uang untuk membeli minyak tanah. Akupun harus mengurangi jam belajar, mengirit minyak tanah. Jam 9 malam lampu sudah harus mati dan tidur. Biasanya jam belajarku bisa sampai jam 11 malam bahkan jam 12 malam. 

Berjuang ditemani lampu kaleng sumbu ini sangat panjang. Bertahun-tahun, lampu tersebut menjadi pelita bagiku. Menerangi dan membuka dunia. 
Berkat lampu sumbu minyak tanah, yang asapnya menyisakan kerak hitam di lubang hidung, sedari SD hingga SMP, predikat Juara 1 dikelas selalu jadi milikku. Bahkan Juara Umum. Inipula yang membuatku meraih penghargaan menerima Beasiswa di SD dan SMP.

Seratus lima puluh ribu rupiah Beasiswa yang kuterima setiap catur wulan menjadi sangat berarti. Dengan sejumlah uang tersebut, aku bisa membeli buku meringankan beban Bapak. Bahkan aku bisa membeli sepatu. Mengganti sepatu andalanku yang telapaknya sudah sangat tipis. Saking tipisnya, dinginnya rembesan air kala hujan menembus telapak kakiku.  

Bapak memang cerdas, berpikiran jauh kedepan dan pantang menyerah. Setamat SMP, meski tidak tahu darimana biaya, Bapak memintaku meninggalkan dusun. Merantau ke Kota untuk melanjutkan jenjang sekolah lebih tinggi lagi, SMA. Sudah saatnya aku melihat dunia luar, merasakan terangnya cahaya lampu neon dan menonton televisi berwarna. Lagian kalau bersekolah SMA di dusun, menurut Bapak dikhawatrikan aku menikah lebih cepat. Jika menikah usia muda, maka peluang dan kesempatan meraih masa depan cerah akan terhambat. 

Apapun caranya aku harus bersekolah di Kota. Membantu mencuci piring di rumah orang, menjadi tukang cuci motor bahkan kenek angkot adalah profesi yang pernah kualami selama menuntaskan pendidikan SMA di Kota . Alhamdulillah, selama SMA aku juga mendapat beasiswa seperti di SD dan SMP. Sehingga untuk urusan bayaran sekolah, sangat terbantu. Bapak selalu berpesan, jangan pernah malu bekerja. Asalkan halal dan tidak mencuri. 

Buah perjuangan itu sedikit demi sedikit mulai kutuai. Meskipun kesuksesan ini kurengkuh kala usia Bapak sudah senja dan sakit-sakitan. Aku sudah lulus dan bekerja sebagai PNS di salah satu instansi vertikal, Lembaga  Non-Kementerian. 

Kini, pengabdian sebagai PNS takkan pernah ku sia-siakan. Pesan agar selalu jujur dan berintegritas dari Bapak, selalu kupegang, meski beliau sekarang sudah kembali kepangkuan-NYA. 
Banyak sudah noktah rindu digores
dalam tiap bait lembaran, catatan perjalanan hidup dan perjuanganku. Namun, tak semuanya sempurna. Kadangkala noktah itu bertinta hitam, penuh onak dan duri. Namun semua fana ini akhirnya bermuara pada jalan takdir-NYA. Tugas kita hanya menjalani. 

 “Terima kasih Bapak. Sudah mengajarkan arti berjuang. Kau adalah pejuang sesungguhnya. Tetesan keringat dan doamu menembus langit. Semoga Allah menempatkanmu disurga-NYA”. Ucapku depan nisan makam Bapak, dengan taburan bunga yang masih basah. Sejuknya tetesan embun jatuh di dedaunan pagi ini, seakan menyapa air mataku.  
Air mata tentang rindu. Air mata tentang sebuah cerita. Air mata tentang kisah ketulusan Bapak hebat yang membawaku pada karier untuk mengabdi pada bangsa dan negara, pelayan masyarakat; PNS.

Al Fatihah untukmu Bapak: Edi Damhudi Bin Sumadi Sumodarsono.

Bagikan :
Tag :
-