"Loyal Bukan Berarti Membenarkan: Saat Pemikir Kritis Dianggap Pemberontak"

Gambar sampul "Loyal Bukan Berarti Membenarkan: Saat Pemikir Kritis Dianggap Pemberontak"

Oleh: Agus Salim, S.Kom, M.Kom

Di tengah dinamika birokrasi dan kepemimpinan yang terus berkembang, muncul sebuah cerita yang kerap menjadi bahan perbincangan di ruang-ruang diskusi maupun warung kopi. Cerita itu sederhana, namun menyimpan kritik yang tajam:

"Ada seorang atasan bertanya kepada bawahannya, 'Berapakah 1 + 1?'
Si A menjawab, '2, Pak.'
Si B menjawab, 'Tergantung Bapak maunya berapa.'
Hasilnya, Si B yang lulus karena dianggap loyal."

Cerita ini bukan tentang matematika, melainkan tentang bagaimana sebagian pihak menyalahartikan konsep loyalitas. Dalam konteks tertentu, loyalitas dipelintir menjadi sikap asal menyenangkan pimpinan tanpa logika, tanpa prinsip, bahkan tanpa integritas. Padahal, inilah akar dari banyak persoalan organisasi: hilangnya ruang berpikir kritis, dan tumbuhnya budaya “asal bapak senang”.

Loyalitas Sejati Bukan Menjilat

Loyalitas yang benar bukan soal membenarkan semua keputusan pemimpin, apalagi yang salah. Loyalitas sejati adalah kesetiaan terhadap nilai, integritas, dan tujuan bersama. Seorang bawahan yang loyal akan:

  1. Mendukung pimpinan dalam menjalankan visi-misinya,
  2. Bekerja keras mewujudkan tujuan organisasi,
  3. Memberi masukan yang jujur dan objektif,
  4. Dan, bila perlu, berani menyampaikan peringatan ketika arah mulai menyimpang.

Dalam perspektif ini, menjawab "1 + 1 = 2" justru adalah bentuk loyalitas yang benar, karena berpegang pada kebenaran dan logika. Sedangkan menjawab "terserah bapak" adalah bentuk pengkhianatan terhadap akal sehat dan profesionalisme.

Ketika Kritis Dianggap Pemberontak

Ironisnya, dalam lingkungan yang belum dewasa secara kepemimpinan, bawahan yang berpikir kritis kerap dicap sebagai pembangkang, pemberontak, bahkan dianggap "tidak loyal". Budaya ini berbahaya, karena mematikan keberanian untuk berpikir mandiri, serta membuat organisasi menjadi sarang kepalsuan dan kepura-puraan. Padahal, pemikiran kritis adalah bahan bakar kemajuan—bukan ancaman.

Label “pemberontak” yang disematkan kepada mereka yang berbeda pendapat sejatinya adalah bentuk ketakutan atas transparansi dan akuntabilitas. Justru, pemimpin yang matang akan menghargai kritik sebagai cermin untuk memperbaiki diri.

Budaya ABS: Ancaman bagi Reformasi dan Profesionalisme

Budaya “asal bapak senang” (ABS) tidak hanya mematikan potensi kritis para pegawai, tetapi juga membuat pemimpin terjebak dalam lingkaran informasi palsu. Ketika semua bawahannya hanya mengatakan hal-hal yang ingin ia dengar, pemimpin kehilangan kontrol terhadap realitas dan kebenaran. Ini bisa berdampak buruk pada pengambilan keputusan strategis, merusak kepercayaan publik, dan menghancurkan integritas organisasi.

Pemimpin yang Hebat Tidak Butuh Penjilat

Seorang pemimpin yang bijak tidak membutuhkan orang yang hanya tahu berkata "iya", tapi membutuhkan tim yang bisa berkata “iya jika benar, dan tidak jika keliru.” Loyalitas semacam inilah yang melahirkan perubahan, efisiensi, dan inovasi. Organisasi hebat dibangun oleh orang-orang yang berani berpikir, bukan oleh mereka yang takut berpikir.

Penutup

Sudah saatnya kita memulihkan makna loyalitas ke tempat yang semestinya. Loyalitas bukan tentang tunduk membabi buta, tapi tentang setia pada prinsip, etika, dan kebenaran. Dalam dunia yang serba kompleks ini, pemimpin yang baik bukan yang dikelilingi oleh penjilat, melainkan oleh orang-orang yang berani mengatakan: “Pak, 1 + 1 tetaplah 2.”

Bagikan :