Saya teringat kisah sekitar 20an tahun yang lalu saat saya dan beberapa teman sementara mempersiapkan berkas untuk kegiatan wisuda S1 disalah satu Universitas di Manado Sulawesi Utara, kami menumpang di mobil salah satu teman kami sambil berbincang mengenai rencana kerja setelah wisuda, ada yang bilang mau ke Perusahaan Kontraktor, ada juga yang bilang mau bergabung dengan perusahan konsultan Teknik karena kami sama-sama dari fakultas Teknik jurusan Teknik Sipil. Salah satu teman saya sambil mengendarai mobilnya dia bilang mau terjun ke birokrasi / menjadi PNS, tiba-tiba dia bertanya kepada saya, “kamu mau ke mana?” saya bukannya menjawab secara spesifik mau melamar kerja dimana, saya malah berkomentar bahwa “yang pasti saya tidak akan mencoba ke dunia Birokrasi, itu ndak ada dalam kamus saya, saya hanya akan mencoba di perusahaan-perusahaan swasta”. Saat itu saya punya gambaran yang sangat buruk tentang dunia birokrasi yang penuh dengan praktek – praktek KKN, menurut saya proses seleksi penerimaan yang tidak transparan harus membayar/punya “Orang Dalam”, cara kerja yang bobrok banyak suap menyuap, dan persaingan kerja yang tidak sehat bukan berdasarkan kinerja tapi kedekatan. Gambaran seperti itu membuat saya tidak pernah bercita-cita menjadi PNS.
Kurang lebih sebulan setelah Wisuda saya diminta oleh orang tua untuk kembali ke kampung halaman di Halmahera karena ada tes CPNS, saya menolak permintaan tersebut dengan sederet alasan untuk meyakinkan orang tua bahwa percuma ikut tes CPNS pasti saya tidak diterima karena saya tidak punya modal untuk lolos CPNS, kami tidak punya kenalan pejabat, kami hanya rakyat biasa yang tidak berpengaruh di lingkungan kami dll. Namun orang tua saya terus mendesak agar saya mau mengikuti tes, dan menyatakan jika tidak berhasil saya bisa bekerja di tempat lain. Akhirnya saya pun mengikuti keinginan orang tua untuk kembali ke kampung, karena pikiran saya sekedar untuk menyenangkan mereka, toh tidak mungkin lulus.
Hari pertama mau berangkat ujian, saya ingat pesan bapak saya “pilih jawaban yang benar ya, jangan sengaja menjawab salah supaya tidak lulus”. Mungkin karena saya sering bilang “tidak mungkin lulus” bapak jadi beranggapan saya akan secara aktif berjuang supaya tidak lulus, padahal itu karena anggapan buruk saya bahwa tes CPNS hanya formalitas. Setelah pelaksanaan Tes CPNS tanpa menunggu pengumuman hasil tes, saya pamit kembali ke kota tempat saya kuliah sambil mencari peluang untuk bekerja di sana. Orang tua saya mengizinkan dengan syarat jika nanti saya dinyatakan lulus maka saya harus kembali ke kota kami, syarat itupun langsung saya iyakan karena saya yakin tidak mungkin lulus. Namun ternyata hasilnya berkata lain, malam itu waktu saya sementara berkunjung ke rumah salah satu keluarga, saya ditelepon oleh orang tua saya, dengan girang mereka menyatakan bahwa mereka baru saja mendengar lewat radio pengumuman nama-nama CPNS yang lulus di kabupaten kami dan saya termasuk didalamnya. Karena pandangan buruk saya tentang dunia birokrasi yang penuh dengan praktik ketidakbenaran, maka bukannya menyambut gembira kabar itu, malah saya mengingatkan orang tua supaya jangan terlalu senang, karena bisa saja nama saya tadinya ada di pengumuman lewat radio tapi kemudian akan ditukar dengan nama orang lain yang lebih memiliki pengaruh. Orang tua saya tetap menagih janji saya dan meminta saya kembali ke kampung halaman. Keluarga saya yang turut mendengar kabar itu merasa senang dan memberikan apresiasi kepada saya serta mendorong saya untuk segera berkemas dan pulang ke kampung, namun malam itu menjadi malam yang sangat tidak menyenangkan bagi saya, saya merasa mimpi saya untuk ada di lingkungan kerja yang sehat tiba-tiba hilang.
Setelah melalui pertimbangan panjang akhirnya saya pun menerima kenyataan bahwa menjadi CPNS adalah jalan hidup saya yang tidak bisa saya tolak, walau hati saya tidak merasa senang namun saya berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa saya harus menerima ini sebagai anugerah dari Tuhan, sambil memikirkan apa yang harus saya lakukan agar saya bisa berdampak baik di dunia birokrasi. Pada pertemuan awal seluruh CPNS ada sesi pengarahan atau bisa disebut sesi pengenalan awal dari beberapa pimpinan OPD mengenai tugas pokoknya. Pada saat itu saya merasa terkesan dengan pemaparan mengenai Gambaran tugas pengawasan oleh Kepala Bawasda (Badan Pengawasan Daerah) yang saat ini disebut Inspektorat daerah. Saya merasa Bawasda memiliki peran yang sangat penting untuk menjaga agar pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya dan menjadi pemerintah yang baik dan bersih dalam mewujudkan masyakarat yang adil dan Sejahtera. Mendengar pemaparan tersebut saya seperti merasa tergerak hati dan ingin menjadi bagian dalam melaksanakan tugas itu, saya langsung berbisik pada teman saya yang duduk di samping saya, “semoga beliau menjadi pimpinan saya dan saya bisa bekerja di Bawasda” kami berdua langsung tertawa kecil Bersama (Penerimaan CPNS saat itu belum disampaikan OPD apa yang akan ditempati jadi kami semua belum tau kami akan bekerja di OPD apa).
Pada saat pengumuman penempatan, saya merasa senang karena ternyata saya mendapati nama saya di Bawasda, saya berharap saya bisa menjadi bagian untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Namun Setelah bekerja di Bawasda/Inspektorat saya menemukan bahwa Bawasda / Inspektorat yang diberi mandat untuk melakukan pengawasan dan pembinaan dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan agar berjalan sesuai ketentuan ternyata tidak membangun system yang menunjang/mendorong aparatnya untuk tegak lurus terhadap aturan. Harapan yang sempat muncul saat mendengar pengenalan adanya unit kerja yang bertugas sebagai garda terdepan dalam menjaga daerah dari praktik-praktik korupsi agar mendapatkan kualitas hasil pelaksanaan tugas pemerintahan yang baik, perlahan mulai sirna.
Tantangan terus hadir dalam bentuk yang berbeda-beda, pada awal karir saya tantangan yang sering muncul adalah godaan gratifikasi yang terbungkus dengan slogan “uang ucapan terima kasih” yang biasanya diberikan saat selesai kegiatan pemeriksaan. Sejak awal saya tidak mau menerima karena saya merasa itu tidak benar, walaupun saat itu saya belum tau aturan gratifikasi tapi hati Nurani saya menolak. Sebagai pegawai baru saya tidak berani menyuarakan kepada pegawai yang lain untuk tidak boleh menerima gratifikasi tersebut, sehingga ketika Obrik (objek Pemeriksaan) /auditee memberikan “uang ucapan terima kasih” tersebut kepada tim pemeriksa dan mau dibagikan kepada saya sebagai anggota tim, saya hanya menolak dan menyatakan tidak usah diberikan bagian saya tapi saya tidak pernah menyarankan agar mereka menolak atau mengembalikan kepada pemberi.
Dalam beberapa pembicaraan kami dengan beberapa pegawai lainnya mengenai bagaimana seharusnya bersikap terhadap “uang ucapan Terima Kasih”, sebagian besar berpendapat bisa diterima dengan dengan argumen yang berbeda-beda seperti “tidak apa-apa kita menerima, yang penting proses pemeriksaan sudah selesai” atau “ terima saja asal tidak merubah hasil pemeriksaan” ada juga yang berpendapat “kalau kita meminta itu salah, tapi kalau tidak minta namun diberikan itu tidak masalah jadi terima saja sebagai rezeki” walaupun awalnya saya tidak punya argumen yang cukup kuat untuk membantah argument mereka, saya tetap pada pendirian menolak jika diberikan “uang ucapan terima kasih”.
Akhirnya setelah lewat beberapa waktu saya bisa menemukan alasan yang menguatkan komitmen saya dan berani saya suarakan yaitu “ tidak mungkin uang ucapan terima kasih yang diberikan kepada tim pemeriksa berasal dari uang pribadi kepala Dinas atau bendahara melainkan uang Daerah yang yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan pemerintahan tapi dipertanggungjawabkan secara fiktif karena uang tersebut sudah diserahkan ke tim pemeriksa, atau jika uang dari pihak ketiga pasti diambil dari uang proyek yang akan mempengaruhi kualitas pekerjaan maka jika tim pemeriksa menerima artinya kita sama-sama terlibat untuk merusak daerah”. perlawanan saya tidak serta merta menghilangkan budaya menerima uang ucapan terima kasih tapi saya yakin walau sedikit dapat mempengaruhi orang lain.
Di kemudian hari dalam suatu pelaksanaan tugas pemeriksaan pada salah satu OPD, sebelum menyampaikan hasil temuan, saya berbincang dengan ketua tim tentang bagaimana harus bersikap jika diberikan “uang ucapan terima kasih” dan bersyukur beliau mau mendengar masukan dari saya akhirnya kami sepakat menolak jika diberikan. Saat itu ada salah satu anggota tim yang tidak sependapat dia menyatakan kalau kami menolak, dia yang akan menerima untuk dirinya sendiri. Tanggapan dari anggota tim tersebut tidak saya anggap sebagai ancaman serius terhadap komitmen kami karena bagi saya yang penting ketua timnya sudah setuju akan lebih mudah dijalankan, selain itu laporan hasil pemeriksaan tersebut dibuat oleh saya jadi dalam saya pikir pasti dia tidak berani main-main. Tiba waktu bagi kami melakukan exit meeting setelah selesai pemeriksaan sekaligus penyampaian pokok-pokok temuan kepada pimpinan OPD tersebut. Dalam pertemuan itu juga pimpinan tersebut menyampaikan ada sedikit uang yang akan diberikan ke Tim karena kami sudah mengawasi dan membina, namun sesuai kesepakatan ketua tim kami menolak pemberian tersebut. Mungkin karena sungkan, kepala dinas menyampaikan mereka menerima hasil temuan kami dan uang itu hanya sebagai tanda terima kasih. Pernyataan kepala dinas tersebut langsung saya timpali dengan menyatakan “ terima kasihnya kami terima pak, tapi cukup dengan ucapan saja tidak perlu pakai tanda”, itu adalah pertama kalinya saya berani menyatakan sikap secara terbuka di depan tim dan auditee, akhirnya kami bisa mengakhiri pemeriksaan tanpa ada transaksi “uang ucapan terima kasih”.
Seiring waktu berjalan saya lebih sering ditempatkan sebagai ketua tim, hal itu lebih memudahkan saya untuk membangun komitmen dengan tim agar tidak melakukan praktik korupsi baik menerima gratifikasi, praktek suap menyuap, pemerasan ataupun penyalahgunaan wewenang. Walaupun hal itu cukup efektif sebagai Langkah lawan perilaku korupsi namun saya pernah merasa kecewa karena mendengar pernyataan anggota tim ketika saya ajak untuk bangun komitmen yang menyatakan “saya tergantung ketua Tim, kalau ketua tim lurus saya lurus kalau ketua tim bengkok saya bengkok” kekecewaan saya karena saya merasa komitmen yang dibuat tidak sungguh-sungguh tertanam hati tapi karena dikondisikan bahkan pernah sekali saya mendengar laporan ada anggota tim yang diberikan uang oleh kontraktor saat mereka turun lapangan untuk pemeriksaan fisik, dan uang tersebut mereka bagi-bagikan sesama anggota tim serta berusaha menutupi agar saya tidak mengetahui. Setelah mengetahui kejadian itu saya memanggil dan memberikan teguran kepada mereka, saat itu mereka terlihat takut dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Tindakan yang saya dan tim lakukan ternyata menjadi bahan perbincangan menjelang waktu pemeriksaan. Salah seorang teman saya yang menjadi bendahara pada salah satu OPD bercerita kepada saya katanya nama saya sering disebut sebagai sosok yang “jahat/tidak punya rasa kasihan” dan tidak mau diajak “bekerja sama” untuk menutupi pelanggaran yang ditemui. jadi mereka berharap agar tidak bertemu dengan saya yang katanya banyak senyum dan terlihat ramah saat pemeriksaan tapi jahat di laporan hasil pemeriksaan. Mereka lebih memilih bertemu dengan si X yang menurut mereka suka membentak-bentak saat pemeriksaan tapi laporannya lebih ramah kepada mereka. saat mendengar cerita tersebut, saya sedikit merasa tersinggung dan kecewa tapi akhirnya saya makin disadarkan untuk mempersiapkan diri khususnya mental saya dalam menghadapi berbagai konsekuensi dari penerapan sikap benar. Perbuatan benar dan jujur tidak selalu akan disambut dengan tepuk tangan bahkan mungkin lebih banyak disambut dengan cibiran karena yang menyukai ketidakbenaran dan dan ketidakjujuran akan merasa terusik.
Bagi saya orang-orang yang memilih untuk bertahan dijalan benar bukan manusia super yang tak pernah bersalah, hanya bedanya saat sadar telah melakukan kesalahan berusaha bangkit kembali dan tidak mau tetap tinggal dalam kesalahan yang memiliki kenikmatan sesaat. Saya juga pernah tergelincir dalam gratifikasi ilegal, saya ingat saat menjelang hari raya, salah seorang teman saya pernah mengantar minuman 1 atau 2 dos minuman cola (saya lupa jumlahnya) katanya dari si Y salah satu pegawai di salah satu kantor Camat. Awalnya saya menolak tapi teman saya agak mendesak menyatakan ini hanya sekedar tanda pertemanan dari si Y dan sekarang juga tidak dalam masa pemeriksaan serta Si Y sudah kembali ke kecamatan yang cukup jauh, jadi bagaimana teman saya bisa mengembalikannya lagi. Akhirnya saya pun menerima walaupun ada rasa kurang enak karena si Y adalah salah satu pegawai di wilayah pengawasan kami dan bisa menjadi akar permasalahan konflik kepentingan ketika saya bertugas. Saat itu saya belum tahu kalau minuman tersebut dapat saya salurkan kepada yang membutuhkan. Seperti halnya orang lebih sering tergelincir karena kerikil-kerikil kecil bukan karena batu besar demikian juga saya saat itu mampu menolak godaan uang dengan nilai jutaan rupiah tapi justru untuk melepas nilai integritas karena tawaran uang yang tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah. Sejak saat itu saya berusaha untuk mengingatkan diri saya untuk lebih peka terhadap berbagai godaan korupsi.
Saya sadar bukan hanya karena kemampuan saya dan bukan juga sebuah kebetulan hingga saya lulus sebagai PNS tetapi semua ini adalah bagian dari Rencana Tuhan memakai saya sebagai alatnya di birokrasi, sekaligus pelan-pelan saya bisa melihat bahwa di tempat yang saya kira paling kotor pun ada orang-orang yang mau berjuang untuk mempertahankan kebenaran dan kejujuran walaupun itu hanya segelintir.Melihat segelintir orang yang berani susah demi mempertahankan nilai-nilai kebenaran membuat semangat saya ikut bersemangat untuk untuk tetap berada dalam barisan yang sama dengan orang-orang hebat yang berani benar dan berani jujur. Mengambil langkah melawan budaya korupsi seperti memilih berjalan di jalan terjal yang berbatu, diperhadapkan dengan berbagai kesulitan tapi bukan berarti tidak bisa melewatinya. Saya terus berharap jika semakin banyak orang yang mau bergabung di barisan itu, maka perlahan tapi pasti image buruk yang berkembang di masyarakat tentang maraknya perilaku koruptif di lingkungan birokrasi makin berkurang.
#aksaraAbdimuda