Laporan dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Pejabat Negara, Kalau Bersih Kenapa Harus Risih?

Gambar sampul Laporan dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Pejabat Negara, Kalau Bersih Kenapa Harus Risih?

Salah satu Instrumen yang dibuat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pencegahan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif adalah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dilansir dari kpk.go.id LHKPN memiliki manfaat sebagai Instrumen mengangkat/ mempromosikan Penyelenggara negara, instrumen kekayaan penyelenggara negara dan menjadi instrumen akuntabilitas sebagai cermin keterbukaan terhadap masyarakat, lantas sejauh mana instrumen ini efektif dalam implementasinya?

Harus diakui bahwasanya Implementasi LHKPN di berbagai Instansi dan satuan kerja (satker) saat ini masih jauh dari kata ideal, setidaknya ada beberapa hal yang membuat implementasinya belum berjalan secara maksimal, yang pertama adalah masih rendahnya kesadaran para wajib lapor untuk melaporkannya secara sungguh-sungguh, seringkali terjadi diberbagai satker bahwa melaporkan LHKPN tak ubahnya sebagai rutinitas tahunan yang bersifat formalitas, baik karena diperintahkan oleh satuan kerja ataupun karena ditegur oleh pimpinan, masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan secara terbuka dan apa adanya.

Selain itu, faktor lain yang membuat implementasi hal ini tidak mudah adalah banyak dari pada wajib lapor (WL) yang dari generasi Baby Boomer dan Milenial senior yang tidak terlalu mengerti terkait penggunaan teknologi akhirnya seringkali menggunakan disposisi kepada staf maupun rekan kerja yang dianggap lebih paham, dan ketika pelaporan yang terjadi “berpindah tangan” maka sulit membayangkan bahwa para Wajib Lapor ini akan melaporkan secara jujur dan terbuka, situasi bisa diperparah ketika yang seharusnya melaporkan LHKPN justru hanya mendelegasikan semata dan mengisi secara sekilas atau bahkan serampangan.

Ketika hal itu terjadi maka Potensi kesalahan pelaporan LHKPN akan menjadi sangat tinggi, karena yang melaporkan justru bukan yang memiliki harta tersebut, seringkali yang memiliki harta tersebut hanya menitipkan pesan kepada rekan atau stafnya bahwa tolong dari laporan yang terakhir diubah sedikit, dan ketika hal tersebut terjadi sulit membayangkan bahwa LHKPN yang dilaporkan benar-benar dilakukan dengan sebenar-benarnya. Paradigma bahwa ini hanya rutinitas semata dan laporan tahunan yang harus dilengkapi harus dirubah, LHKPN harus menjadi instrumen yang dilakukan secara serius, detail dan sesuai dengan kenyataan dilapangan, agar LHKPN tidak dipandang sebelah mata oleh para wajib lapor, lantas pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana caranya?

Ada sebuah gagasan yang pernah dikemukakan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau BTP, Gubernur DKI Jakarta Periode 2014-2017 mendorong sebuah gagasan yang disebut dengan pembuktian terbalik dalam sebuah opini yang ditulis oleh beliau pada tahun 2011 BTP mengemukakan bahwa seorang pejabat publik/Wajib Lapor harus membuktikan bahwa kekayaan mereka bukanlah hasil korupsi. Ini merupakan kriteria sangat logis karena jika hartanya yang dahulu saja tidak jelas darimana datangnya, bagaimana dia mengelola keuangan negara yang begitu besar?

BTP menambahkan bahwa aturan yang ada saat ini hanya sekedar mewajibkan para kandidat untuk menyerahkan laporan kekayaan pribadi tanpa ada proses verifikasi dan tindak lanjut. Setiap orang bisa menyampaikan laporannya tanpa ada konsekuensi apapun juga. Apa yang disampaikan BTP menarik untuk disimak bahwa proses verifikasi dan tindak lanjut akan sebuah laporan penting untuk dilakukan. Sehingga pelaporan akan dilakukan secara sungguh-sungguh dan tidak hanya formalitas belaka.

Berangkat dari gagasan tersebut diatas, penulis berpikir bahwa instrumen pelaporan saat ini seharusnya tidak hanya berhenti dalam tahapan ‘Lengkap’ tetapi juga dibedah secara komprehensif, verifikasi secara mendalam dan tindak lanjut kepada pelapor jikalau dibutuhkan, jikalau ternyata hasil pemeriksaan dari yang dilaporkan belum sesuai atau tidak dapat dibuktikan asal-usulnya maka hal tersebut bisa menjadi catatan kepada pelapor untuk diperbaiki sehingga ketika diabaikan akan menjadi perhatian bagi masyarakat luas.

Demi mewujudkan hal tersebut, KPK dapat merubah instrumen Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menjadi Laporan dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LPHKPN), sehingga para wajib lapor tidak hanya melaporkan harta lalu melupakannya melainkan juga harus siap untuk didalam asal muasal dari harta tersebut, sehingga laporan yang ada bukan hanya sebatas sudah lapor ataupun belum lapor tetapi telah diverifikasi dan ditindaklanjuti secara mendalam sebelum akhirnya dilaporkan kepada publik.

Gagasan ini sejatinya sudah pernah disampaikan dalam sebuah diskusi pada tahun 2016 kepada Laode Muhammad Syarif, pimpinan KPK pada saat itu, dimana beliau menyetujui bahwa LHKPN harus dikembangkan menjadi sebuah instrumen yang lebih besar dan lebih berdampak, penulis menilai lebih besar dan lebih berdampak yang harus dihadirkan dalam LHKPN adalah efek gentar (deterrent effect) dari para pelapor yang ada, sehingga tidak ada orang lain yang akan berani memindahkan tanggungjawab yang besar ini kepada orang lain.

Pada akhirnya, Gagasan ini LPHKPN ini sebenarnya adalah sarana membuka transparansi dan membuktikan segala yang telah dilaporkan adalah sebuah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan oleh mereka yang menyandang gelar wajib Lapor, menjadi penyelenggara negara memiliki konsekuensi yang tidak mudah itulah kenapa H. Agus Salim mengatakan “Leiden is lijden” yang artinya memimpin adalah menderita karena sejatinya memimpin bukanlah hal yang mudah karena harus selalu bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya adalah orang yang ‘bersih’ dan sebagaimana slogan KPK yang legendaris: ‘kalau bersih kenapa harus risih?’

#AksaraAbdimuda

Bagikan :