Kuperam Rasa dalam Wacana: di Kepala dan Dada

Gambar sampul Kuperam Rasa dalam Wacana: di Kepala dan Dada

Sambil membolak-balik lembaran yang di kertasnya tertulis namamu. Ayah, betapa bangganya aku memiliki orang tua yang hidupnya dipenuhi segudang prestasi dan motivasi. Jejak imaji terpampang nyata di setiap tanda tangan dan stempel pengesahan. Tak dapat kubendung bulir yang meluncur dari indra, rasanya terjun bebas mengucur deras sembari isak tertahan. Dalam diam kupejam mata yang tadinya membola dan seketika parasmu bergelayut di relung jiwa, Al-Fatihah.

Ayah, sesiapapun ketika disebut panggilan itu kerap mengatakan, bahwa sosok tersebut merupakan cinta pertama bagi anak perempuannya, tetapi terkadang makna lain pula terkandung saat panggilan itu mengudara. Akan ada masa sebutan tadi menjadi patah hati pertama juga bagi anak perempuannya. Itulah yang kurasakan kini. Entah harus sedih atau senang? Sedih menjadi yatim atau senang, karena engkau telah berpulang kepada cinta yang Maha Cinta menuju surga.

Masih di posisi tak menyangka. Tahun 2019, rasanya baru kemarin kuserahkan SK ASN yang dapat kau pegang. Kini aku hanya mengiba temu, mematung pada tunggu, seraya berasa di selimut rindu. Bolehkah kupinta dalam mimpi kau jenguk? bersebab mimpilah menjadi alibiku satu-satunya pada dunia yang bisa mempersuakan kita, meski beda cerita pada akhirnya, karena tentu alam bawah sadarku yang bicara. Merangkai serpihan mau dan ingin menjadi kabul. Jujur, aku pernah malas, bersebab jika kelak kuikut lomba dan juara, maka mau pamer kepada siapa? Ayah telah tiada dan aku euforia sendiri saja, Hampa!

Sejenak berangan, jika kau masih ada di sisi, kujaga sampai mati, namun rasanya kalimat itu terlanjur lalai dan luput dari juangku. Ayah, penyesalan di ubun menimbun beban yang teramat rimbun. Aku bahkan tak sempat memajang piala dan medali pada almari yang kau tempah untukku. Terlebih di video call terakhir kita, aku hanya meruter rumah yang berisi ruang-ruang kosong, berharap kau buatkan perabotan yang unik dan antik, namun lagi-lagi bilik palung kumemantik sontak terusik.

Sebelum cerita ini menitik. Aku ingin berterima kasih pada wujud yang kerap kusebut puisi di hidup yang menghidupkanku. Ayah itu kawan debat, lawan hebat bermufakat, dan penjaga terkuat saat aku sakit hingga sulit, serta yang luar biasanya, beliau selalu dielukan oleh cucu-cucunya yang siap bertameng atas namanya. Banyak pembelajaran sehari-hari yang kupetik dari semangatnya saat masih bersama. Kini kuyakin ia telah bahagia di sisi-Nya, maka aku ikhlas!

Kembali pada cerita yang membuat aku tadinya biasa saja dalam mengajar, namun aku pun lantas tersadar, bahwa ada hak dan kewajiban yang harus kuemban. Peserta didik wajib mendapat asupan ilmu lebih dalam, apalagi Generasi-Z masa kini. Tidak hanya ilmu duniawi, ilmu dari hati ke hati pun harus dikuasai, agar dapat mengerti masing kepala siswa dan siswi. Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru, oleh karenanya, jauhi kata sepele terhadap kaca mata pengajar, karena setiap anak terlahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Benarlah, setelah kehilangan, apa yang kita rasa ternyata lebih dalam! Semua terpelajari dengan sendirinya, karena kita percaya air mata takkan keluar tanpa adanya rasa. Rasa nano-nano sekalipun tetap memberi arti di kehidupan. Setiap pribadi telah menciptakan inspirasi di dirinya. Apakah itu sosok orang tua, pasangan, keturunan, sampai idola? Hal ini lumrah terjadi dan tersugesti dalam hati, menguatkan tentulah pribadi yang berdikari di pijakan bumi, berguna bagi negeri!

@abdimuda.id @GNFI @Kawangnfi #ASNPunyaCerita

 

Bagikan :
Tag :
-