Dalam konteks tata kelola pemerintahan daerah, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) memiliki peran strategis sebagai penjaga akuntabilitas dan pengawal integritas penyelenggaraan pemerintahan. Inspektorat, sebagai bagian dari APIP, diharapkan dapat menjalankan fungsi pengawasan internal secara independen, objektif, dan profesional, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Namun, praktik di lapangan sering kali menghadirkan tantangan yang kompleks. Dalam kasus ini, fenomena yang terjadi pada Inspektur menunjukkan adanya potensi benturan kepentingan dan krisis independensi. Sebagai Inspektur dihadapkan pada dilema antara menjaga integritas pengawasan dengan menjaga loyalitas terhadap kebijakan Gubernur serta mengamankan kepentingan politik legislatif, khususnya terkait program Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kondisi ini memunculkan persoalan serius ketika loyalitas terhadap pimpinan politik menjadi prioritas di atas kepentingan akuntabilitas publik. Kebijakan dan keputusan Inspektur kerap diarahkan untuk mempermudah proses administrasi, melonggarkan regulasi, serta menggampangkan pengawasan atas proyek-proyek strategis yang berkaitan dengan kepentingan politik. Bahkan, terdapat indikasi sikap meremehkan peran lembaga pengawasan baik internal maupun eksternal, yang seharusnya menjadi mitra sinergis dalam memastikan tata kelola pemerintahan berjalan transparan dan akuntabel.
Selain itu, faktor azas kepentingan juga turut memperburuk situasi. Dari keinginan Inspektur inilah yang mendorongnya untuk mengambil langkah kompromistis terhadap kebijakan Gubernur dan kepentingan legislatif. Akibatnya, Inspektorat sebagai institusi pengawasan internal daerah berpotensi kehilangan independensinya dan berubah menjadi instrumen kepentingan politik.
Fenomena ini juga berdampak pada Auditor Inspektorat, yang kerap dimanfaatkan untuk melaksanakan agenda pimpinan tanpa mempertimbangkan risiko etika, profesionalitas, dan integritas jabatan. Kondisi tersebut menempatkan Auditor Inspektorat pada posisi dilematis antara mematuhi perintah atasan atau menegakkan prinsip tata kelola yang baik.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, maka kredibilitas Inspektorat akan mengalami degradasi, fungsi APIP akan melemah, dan risiko penyimpangan dalam pengelolaan program Pokir semakin besar. Oleh karena itu, fenomena ini perlu dikaji secara akademis untuk memahami faktor-faktor penyebab, dampak, dan solusi yang dapat diambil agar peran Inspektorat kembali pada fungsinya sebagai penjamin akuntabilitas publik.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut :
1. Bagaimana pola loyalitas Inspektur terhadap kebijakan Gubernur dan kepentingan politik Pokir DPRD mempengaruhi independensi pengawasan Inspektorat?
2. Apa saja bentuk konflik kepentingan yang muncul dalam praktik pengawasan Inspektorat pada masa kepemimpinan Inspektur yang krisis independensi?
3. Bagaimana dampak dari pelonggaran regulasi dan penggunaan Auditor Inspektorat dalam konteks kepentingan politik terhadap efektivitas praktik pengawasan dan audit?
4. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk memperkuat independensi APIP dan mencegah intervensi politik pada Inspektorat?
Adapun tujuan dari kajian ini adalah :
1. Menganalisis fenomena loyalitas Inspektur terhadap kebijakan Gubernur dan kepentingan politik Pokir DPRD.
2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk konflik kepentingan dan dampaknya terhadap independensi Inspektorat.
3. Menjelaskan risiko dan potensi penyimpangan akibat pelonggaran regulasi serta pemanfaatan Auditor Inspektorat.
4. Merumuskan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat peran Inspektorat sebagai APIP yang independen dan profesional.
a. Manfaat Teoretis
1. Memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori tata kelola pemerintahan, khususnya terkait independensi pengawasan dan konflik kepentingan.
2. Memperkaya literatur akademik mengenai peran APIP dalam menjaga integritas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
b. Manfaat Praktis
1. Menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah dan Inspektorat untuk memperbaiki tata kelola pengawasan.
2. Menjadi referensi bagi BPK, KPK, dan penegak hukum dalam memperkuat sinergi pengawasan eksternal.
3. Memberikan wawasan bagi akademisi, peneliti, dan masyarakat tentang risiko penyalahgunaan jabatan dalam konteks birokrasi daerah.
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode analisis fenomenologis. Data dikumpulkan melalui :
1. Studi Literatur : menelaah peraturan perundang-undangan, laporan pengawasan, serta kajian akademik terkait peran APIP.
2. Analisis Kebijakan : menilai keputusan Inspektur dalam konteks kebijakan Gubernur dan DPRD.
3. Kerangka Teori : menggunakan teori tata kelola pemerintahan, teori konflik kepentingan, dan agency theory untuk memahami fenomena secara mendalam.
Teori Tata Kelola Pemerintahan (Good Governance)
Tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance merupakan konsep penting dalam penyelenggaraan pemerintahan modern yang menekankan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, efisiensi, dan supremasi hukum. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), good governance adalah proses pengelolaan kekuasaan dan sumber daya publik secara transparan dan akuntabel, untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Dalam konteks pemerintahan daerah, prinsip good governance menjadi fondasi bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk memastikan bahwa :
1. Transparansi terwujud melalui keterbukaan informasi publik dalam setiap proses kebijakan.
2. Akuntabilitas dijaga dengan pelaksanaan pengawasan internal yang efektif dan objektif.
3. Independensi dalam pengambilan keputusan harus menjadi prioritas agar pengawasan tidak terintervensi oleh kepentingan politik.
4. Efisiensi dan efektivitas dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya publik secara optimal dan tepat sasaran.
Dalam kasus Inspektur ini, pergeseran peran Inspektorat dari penjaga akuntabilitas menjadi instrumen kepentingan politik merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip good governance. Loyalitas berlebihan terhadap kebijakan Gubernur dan kepentingan Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD menandakan melemahnya integritas institusional dan berpotensi mengurangi kualitas tata kelola pemerintahan daerah.
Peran dan Fungsi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), Inspektorat memiliki fungsi utama sebagai pengawas internal pemerintah daerah. Fungsi ini meliputi :
1. Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2. Mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
3. Melaksanakan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya untuk memastikan setiap kebijakan berjalan sesuai ketentuan.
4. Menjadi mitra strategis kepala daerah dalam pengambilan keputusan berbasis risiko.
Dalam praktiknya, peran APIP menuntut tingkat independensi yang tinggi agar hasil pengawasan dapat dipercaya dan tidak bias. Namun, pada kasus Inspektur ini, posisi ini menimbulkan kerentanan terhadap intervensi pimpinan politik. Inspektur kerap diarahkan untuk mengamankan kebijakan Gubernur dan memperlancar realisasi program Pokir DPRD tanpa memperhatikan kualitas akuntabilitas dan kepatuhan regulasi.
Dampak dari penyimpangan fungsi ini adalah menurunnya efektivitas Inspektorat sebagai garda terdepan pengawasan internal, sekaligus melemahkan sistem check and balance antar lembaga pemerintah.
Konsep Loyalitas Birokrasi dan Penyalahgunaan Wewenang
Loyalitas birokrasi pada dasarnya merupakan sikap kesetiaan seorang aparatur terhadap atasan atau pimpinan politik dalam menjalankan kebijakan pemerintahan. Loyalitas yang sehat merupakan bagian penting dalam menjaga sinergi kebijakan, namun ketika loyalitas tersebut melampaui batas independensi profesional, dapat memunculkan risiko penyalahgunaan wewenang.
Dalam teori administrasi publik, ada dua bentuk loyalitas birokrasi :
1. Loyalitas Substantif : kesetiaan terhadap konstitusi, regulasi, dan kepentingan publik.
2. Loyalitas Personal : kesetiaan terhadap pimpinan individu atau kelompok tertentu.
Pada fenomena Inspektur, tampak dominasi loyalitas personal terhadap Gubernur dan anggota legislatif DPRD. Hal ini memunculkan beberapa konsekuensi :
1. Regulasi dan prosedur pengawasan menjadi dilonggarkan demi mengamankan kepentingan politik.
2. Program Pokir yang seharusnya melalui mekanisme evaluasi ketat menjadi lebih mudah disetujui.
3. Pengambilan keputusan lebih berorientasi pada kepentingan pimpinan politik dibandingkan pada kepentingan publik.
Konsekuensinya, Inspektorat kehilangan kredibilitas sebagai lembaga pengawas dan berubah fungsi menjadi alat legitimasi kebijakan politik.
Teori Konflik Kepentingan (Conflict of Interest)
Menurut Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD (2017), konflik kepentingan adalah situasi di mana kepentingan pribadi pejabat publik berpotensi memengaruhi atau bahkan mengganggu pelaksanaan tugas dan tanggung jawab profesionalnya. Konflik kepentingan dalam pengawasan internal dapat berbentuk :
1. Conflict of Role : ketika pejabat memiliki peran ganda antara pengawas dan pelaksana kebijakan.
2. Conflict of Obligation : ketika ada tekanan dari pimpinan politik untuk memihak pada kebijakan tertentu.
3. Conflict of Interest Financial : ketika ada potensi manfaat finansial pribadi atau kelompok dari keputusan pengawasan.
Dalam konteks Inspektur ini, konflik kepentingan muncul ketika :
1. Status Inspektur menimbulkan ketergantungan politik terhadap Gubernur demi peluang menduduki jabatan strategis yang aman dan nyaman.
2. Kepentingan politis Pokir DPRD membuat pengawasan kurang objektif.
3. Auditor Inspektorat dimanfaatkan untuk mengeksekusi agenda politik pimpinan, menempatkan mereka pada posisi dilematis.
Situasi ini mengakibatkan pengawasan internal tidak lagi independen, sehingga potensi penyimpangan dan risiko hukum semakin tinggi.
Prinsip Independensi dalam Audit dan Pengawasan
Independensi merupakan salah satu pilar utama dalam praktik pengawasan dan audit. Menurut Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI), independensi memiliki dua dimensi penting :
1. Independensi Organisasi : Inspektorat harus bebas dari intervensi pihak manapun dalam menetapkan ruang lingkup, metodologi, dan hasil pengawasan.
2. Independensi Personal : Auditor wajib menjaga objektivitas serta bebas dari tekanan kepentingan politik maupun pribadi.
Jika prinsip independensi terganggu, maka seluruh hasil pengawasan akan kehilangan kredibilitas dan legitimasi. Pada kasus Inspektur ini, sikap mengutamakan loyalitas pada pimpinan politik dan mengamankan program Pokir DPRD menunjukkan gejala krisis independensi APIP.
Padahal, hubungan sinergis antara Inspektorat dan lembaga-lembaga tersebut sangat penting untuk menjaga integritas pengelolaan keuangan daerah dan meminimalkan risiko penyalahgunaan anggaran.
Loyalitas terhadap Gubernur dan Agenda Politik
Loyalitas birokrasi terhadap kepala daerah merupakan hal wajar selama selaras dengan aturan dan perundang-undangan. Namun, fenomena Inspektur ini menunjukkan adanya loyalitas personal yang lebih dominan dibanding loyalitas substantif pada regulasi dan kepentingan publik.
Dalam praktiknya, Inspektur lebih fokus pada :
1. Mengamankan kebijakan Gubernur agar seluruh program prioritas dapat terealisasi tanpa kendala pengawasan.
2. Memfasilitasi program Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Ketua DPRD dan anggota DPRD, meskipun terdapat potensi tumpang tindih dengan peraturan teknis penganggaran dan pengadaan barang/jasa.
3. Mengurangi ketegasan pengawasan terhadap kegiatan strategis yang memiliki implikasi politik besar.
Loyalitas berlebihan ini menyebabkan fungsi Inspektorat sebagai APIP melemah dan berubah menjadi perpanjangan tangan pimpinan politik, bukan lagi sebagai penjamin akuntabilitas publik.
Peran Inspektur dalam Pengamanan Program Pokir DPRD
Program Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD adalah usulan aspirasi masyarakat dari anggota legislatif yang diakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah. Namun, pada praktiknya, program Pokir sering kali menjadi instrumen politik karena terkait langsung dengan konstituen anggota legislatif.
Dalam fenomena ini, Inspektur cenderung mengamankan realisasi program Pokir dengan cara :
1. Mempermudah proses verifikasi administrasi, meskipun belum semua persyaratan teknis terpenuhi.
2. Mengurangi penekanan pengawasan terhadap proyek-proyek Pokir yang memiliki nilai strategis.
3. Menggunakan Auditor Inspektorat untuk memantau dan mengawal pelaksanaan proyek sesuai arahan pimpinan politik.
Kebijakan ini berpotensi mengabaikan prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas, serta meningkatkan risiko penyimpangan anggaran.
Pelonggaran Regulasi dan Dampaknya
Salah satu dampak paling nyata dari loyalitas berlebihan Inspektur adalah penerapan regulasi yang longgar dalam pelaksanaan pengawasan. Hal ini tampak pada :
1. Pemberian rekomendasi yang lebih cepat tanpa kajian mendalam.
2. Penurunan kualitas audit internal karena tekanan untuk menyetujui program tertentu.
3. Pergeseran fokus pengawasan dari aspek kepatuhan regulasi menjadi aspek fasilitasi politik.
Pelonggaran regulasi seperti ini menimbulkan sejumlah risiko :
1. Meningkatkan potensi korupsi karena lemahnya mekanisme kontrol.
2. Mengikis kredibilitas Inspektorat sebagai lembaga pengawasan independen.
3. Memperburuk persepsi publik terhadap tata kelola Pemerintah.
Fenomena ini menegaskan adanya krisis integritas kelembagaan yang disebabkan oleh hubungan patronase antara Inspektur dan pimpinan politik.
Relasi Inspektur dengan Lembaga Pengawasan Eksternal
Inspektorat seharusnya bersinergi dengan lembaga pengawasan internal lainnya ataupun eksternal seperti BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian untuk memastikan integritas dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Namun, dalam praktiknya, Inspektur cenderung meremehkan peran lembaga-lembaga tersebut.
Beberapa indikasi yang terlihat antara lain :
1. Rekomendasi BPKP atau BPK tidak dijadikan acuan utama dalam penyusunan kebijakan pengawasan.
2. Koordinasi dengan KPK dan penegak hukum hanya dilakukan secara formalitas, tanpa implementasi nyata.
3. Pendekatan “mengamankan kebijakan pimpinan” lebih diutamakan dibanding kepatuhan terhadap SAIPI.
Sikap seperti ini mengakibatkan lemahnya sistem check and balance, padahal kolaborasi antar lembaga adalah kunci mencegah moral hazard dalam pengelolaan anggaran dan proyek pembangunan.
Pemanfaatan Auditor Inspektorat untuk Kepentingan Politik
Salah satu fenomena krusial adalah penggunaan Auditor Inspektorat untuk mendukung agenda Inspektur dalam mengamankan kebijakan Gubernur dan program Pokir DPRD. Beberapa praktik yang ditemukan antara lain :
1. Auditor Inspektorat diarahkan untuk memproses dokumen pengawasan dengan percepatan khusus pada proyek-proyek tertentu.
2. Jabatan Fungsional dikerahkan untuk mengawal kepentingan politik tanpa mempertimbangkan SAIPI.
3. Tekanan psikologis pada Auditor Inspektorat meningkat karena posisi dilematis antara mematuhi perintah pimpinan atau menjaga integritas profesi.
Pemanfaatan Auditor Inspektorat untuk agenda politik mengikis budaya organisasi Inspektorat yang seharusnya menjunjung tinggi independensi, integritas, dan akuntabilitas. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan motivasi kerja dan kredibilitas profesional Auditor Inspektorat.
Analisis Penyebab dan Konsekuensi
Berdasarkan fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama krisis independensi Inspektorat adalah :
1. Status Inspektur yang menciptakan ketergantungan politik pada Gubernur.
2. Loyalitas berlebihan terhadap kebijakan pimpinan dan agenda politik DPRD.
3. Minimnya perlindungan kelembagaan terhadap Auditor Inspektorat dari intervensi politik.
4. Rendahnya sinergi dengan lembaga pengawasan internal lainnya dan eksternal.
Konsekuensinya adalah :
1. Menurunnya efektivitas pengawasan internal terhadap pengelolaan keuangan daerah.
2. Meningkatnya risiko penyimpangan dalam pelaksanaan proyek Pokir dan program pembangunan.
3. Merosotnya kepercayaan publik terhadap Inspektorat dan Pemerintah.
4. Terjadinya degradasi peran APIP sebagai garda terdepan tata kelola pemerintahan yang baik.
Degradasi Independensi APIP
Salah satu dampak paling serius dari fenomena ini adalah menurunnya independensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), khususnya Inspektorat. Padahal, sesuai Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 dan Peraturan BPKP Nomor 5 Tahun 2021, APIP harus menjalankan fungsi pengawasan secara independen, objektif, dan bebas dari intervensi politik.
Namun, dalam praktiknya :
1. Inspektur lebih memprioritaskan kepentingan pimpinan politik dibandingkan prinsip profesionalitas.
2. Proses reviu, audit, dan pengawasan sering diarahkan untuk mengamankan kebijakan tertentu, bukan mengevaluasi kepatuhan terhadap regulasi.
3. Potensi benturan kepentingan meningkat karena keputusan pengawasan dipengaruhi oleh hubungan pribadi dan politik.
Kondisi ini membuat APIP kehilangan fungsi kontrol internal, yang seharusnya menjadi benteng pertama dalam mencegah penyimpangan tata kelola keuangan daerah.
Potensi Penyimpangan dalam Pengelolaan Pokir DPRD
Program Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Ketua dan Anggota DPRD seharusnya menjadi instrumen penyaluran aspirasi masyarakat. Namun, lemahnya pengawasan membuat Pokir rentan dimanfaatkan sebagai alat transaksi politik.
Dampak negatif yang mungkin terjadi :
1. Mark up anggaran pada proyek-proyek Pokir.
2. Penunjukan penyedia barang/jasa yang tidak memenuhi kualifikasi teknis.
3. Manipulasi dokumen untuk mempermudah pencairan dana Pokir.
4. Pemecahan paket pekerjaan untuk menghindari proses lelang terbuka.
Ketika Inspektur ini ikut “mengamankan” kepentingan Pokir tanpa memperketat verifikasi, maka peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran semakin besar. Selain itu, risiko pertanggungjawaban hukum juga akan melibatkan Auditor Inspektorat yang ikut menandatangani laporan.
Melemahnya Sistem Check and Balance
Sistem check and balance antara eksekutif, legislatif, dan lembaga pengawas eksternal menjadi terganggu ketika Inspektorat yang seharusnya berdiri netral justru berpihak pada kepentingan tertentu.
Beberapa konsekuensi yang muncul :
1. Laporan Hasil Pengawasan (LHP) menjadi tidak akurat karena disesuaikan dengan arahan politik.
2. Rekomendasi Inspektorat kehilangan kredibilitas, sehingga BPKP, BPK, dan KPK kesulitan mendapatkan data objektif.
3. Pemerintah berpotensi menghadapi temuan signifikan pada audit tahunan, yang berdampak pada opini BPK.
Tanpa pengawasan independen, sistem pengelolaan anggaran menjadi rawan konflik kepentingan dan menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan.
Tekanan terhadap Jabatan Fungsional dan Budaya Organisasi
Praktik memanfaatkan Jabatan Fungsional Inspektorat untuk melaksanakan instruksi yang tidak sesuai prosedur menimbulkan dampak serius terhadap budaya organisasi :
1. Tekanan psikologis bagi Auditor Inspektorat yang merasa terjebak antara menjalankan tugas profesional dan mematuhi perintah pimpinan.
2. Penurunan motivasi kerja karena Auditor Inspektorat merasa pekerjaannya tidak dihargai secara objektif.
3. Risiko hukum bagi Auditor Inspektorat yang menandatangani dokumen hasil reviu atau audit yang menyimpang.
4. Munculnya budaya permisif, di mana ketidakpatuhan terhadap regulasi dianggap “hal biasa” demi melindungi kepentingan pimpinan.
Jika pola ini berlanjut, Inspektorat berpotensi mengalami krisis integritas kelembagaan, yang sulit dipulihkan dalam jangka pendek.
Penurunan Kepercayaan Publik terhadap Inspektorat
Kepercayaan publik merupakan modal utama lembaga pengawasan. Namun, loyalitas berlebihan Inspektur terhadap pimpinan politik mengakibatkan citra Inspektorat merosot tajam di mata masyarakat.
Indikasi penurunan kepercayaan publik antara lain :
1. Laporan dugaan penyimpangan tidak ditindaklanjuti secara transparan.
2. Hasil pengawasan dianggap hanya “formalitas” dan tidak berdampak nyata.
3. Masyarakat menilai Inspektorat tidak independen dan hanya menjadi “perpanjangan tangan kekuasaan”.
Jika kepercayaan publik hilang, peran Inspektorat sebagai penjaga integritas pemerintahan akan melemah drastis, dan ruang bagi praktik korupsi semakin terbuka lebar.
Penguatan Mekanisme Pengawasan Internal
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memperkuat peran Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) agar tidak mudah diintervensi kepentingan politik. Beberapa rekomendasi strategisnya :
1. Penegakan Standar Audit Internal, mengimplementasikan Internal Audit Charter berbasis Peraturan BPKP Nomor 5 Tahun 2021 agar seluruh proses pengawasan berjalan objektif, independen, dan terukur.
2. Penerapan Probity Audit, melakukan probity audit pada setiap tahapan strategis, khususnya terkait proyek Pokir DPRD, mulai dari perencanaan, penunjukan penyedia, hingga serah terima pekerjaan.
3. Transparansi dalam Penyusunan LHP, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus disusun secara transparan guna meningkatkan akuntabilitas serta mencegah terjadinya manipulasi data.
Sinergi dengan BPKP, BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian
Untuk menjaga integritas tata kelola pemerintahan, Inspektorat harus membangun kolaborasi aktif dengan lembaga pengawasan eksternal dan internal lainnya. Rekomendasi kebijakannya meliputi :
1. Pertukaran Data dan Informasi, membangun basis data digital terpadu antara Inspektorat, BPKP, BPK, dan KPK untuk mempercepat deteksi penyimpangan.
2. Pengawasan Bersama (joint audit), melibatkan BPKP dalam pemeriksaan proyek-proyek Pokir strategis untuk memastikan hasil audit lebih kredibel.
3. Koordinasi Penegakan Hukum, menjalin nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Kejaksaan dan Kepolisian Daerah agar setiap temuan indikasi fraud dapat segera ditindaklanjuti.
Reformasi Tata Kelola Jabatan Inspektur
Status Inspektur ini sering menjadi sumber masalah independensi karena pejabatnya rentan mengutamakan loyalitas politik demi jabatan strategis yang aman dan nyaman. Rekomendasi kebijakan :
1. Pengangkatan Inspektur yang bebas dari intervensi politik, Pemerintah bersama Kementerian Dalam Negeri perlu menerapkan proses seleksi terbuka berbasis merit system untuk menempatkan Inspektur yang berintegritas, independen, objektif, dan profesional.
2. Pembatasan Kewenangan Inspektur, diperlukan regulasi internal yang membatasi kewenangan Inspektur hanya pada fungsi operasional, bukan penentuan kebijakan strategis, untuk mengurangi potensi konflik kepentingan. Jika diperlukan, Inspektur berasal dari Jabatan Fungsional yang telah lulus uji kompetensi dan matrikulasi terkait praktik pengawasan dan audit sesuai Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (SAIPI).
3. Mekanisme Evaluasi Kinerja Periodik, membentuk Tim Evaluasi Independen di bawah Majelis Kode Etik APIP untuk menilai kinerja Inspektur setiap tiga bulan.
Perlindungan bagi Auditor Inspektorat dari Konflik Kepentingan
Auditor Inspektorat harus dilindungi dari praktik penyalahgunaan wewenang dan tekanan politik yang dilakukan pimpinan. Solusi yang diusulkan :
1. Penerapan Whistleblowing System, membangun platform pelaporan internal yang aman dan rahasia agar Auditor Inspektorat dapat melaporkan tekanan atau perintah yang berpotensi melanggar hukum.
2. Pelatihan Integritas dan Etika Auditor Inspektorat, melakukan capacity building rutin agar Auditor Inspektorat memiliki pemahaman mendalam tentang batas-batas kewenangan dan potensi risiko hukum.
3. Perlindungan Hukum bagi Auditor Inspektorat, menjalin kerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberi jaminan perlindungan bagi Auditor Inspektorat yang menolak melaksanakan instruksi ilegal.
Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Upaya terakhir adalah membangun sistem tata kelola pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel, antara lain :
1. Digitalisasi Sistem Pengawasan, mengembangkan aplikasi berbasis daring untuk memantau proses reviu, audit, dan rekomendasi hasil pengawasan secara real time.
2. Publikasi Laporan Pokir DPRD, pemerintah harus membuka akses informasi terkait penggunaan anggaran Pokir DPRD kepada masyarakat untuk meminimalkan kecurigaan publik.
3. Partisipasi Masyarakat, mengoptimalkan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media sebagai mitra pengawasan independen untuk memastikan proses pembangunan berjalan sesuai ketentuan.
Dengan rekomendasi kebijakan di atas, diharapkan Inspektorat dapat memulihkan independensi dan integritasnya sebagai APIP, memperkuat sistem pengawasan internal, melindungi Auditor Inspektorat dari tekanan politik, serta mendorong tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan bebas konflik kepentingan.
Berdasarkan hasil analisis pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa fenomena Inspektur ini yang menunjukkan loyalitas berlebihan terhadap kebijakan Gubernur dan kepentingan politik Pokir Ketua dan Anggota DPRD telah menimbulkan berbagai permasalahan tata kelola pemerintahan. Beberapa poin utama yang dapat dirangkum :
1. Krisis Independensi APIP, status Inspektur ini membuat posisi Inspektorat rentan terhadap intervensi politik. Fungsi pengawasan yang seharusnya independen dan objektif menjadi terkooptasi kepentingan pimpinan daerah.
2. Pelemahan Sistem Pengawasan Internal, melalui praktik melonggarkan regulasi, proses reviu dan audit Inspektorat menjadi tidak optimal, terutama pada proyek-proyek strategis seperti Pokir DPRD. Hal ini membuka celah terjadinya penyimpangan anggaran, mark up biaya, dan manipulasi dokumen.
3. Terganggunya Sistem Check and Balance, dengan berpihak pada kebijakan politik tertentu, Inspektorat kehilangan peran netralnya sebagai pengawas internal. Akibatnya, sinergi dengan BPKP, BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi lemah.
4. Dampak terhadap Auditor Inspektorat, pemanfaatan Auditor Inspektorat untuk melaksanakan instruksi politik membuat mereka terjebak dalam konflik kepentingan. Auditor Inspektorat menghadapi risiko tekanan psikologis, penurunan integritas profesional, dan potensi pertanggungjawaban hukum di masa mendatang.
5. Penurunan Kepercayaan Publik, fenomena ini turut menurunkan kredibilitas Inspektorat di mata masyarakat. Jika dibiarkan berlanjut, kondisi ini dapat memperburuk reputasi pemerintah daerah dan membuka ruang lebih besar bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Agar permasalahan serupa tidak semakin berkembang dan untuk memulihkan peran Inspektorat sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), beberapa saran strategis berikut dapat diterapkan :
1. Pengangkatan Inspektur yang Bebas dari Intervensi Politik, Pemerintah perlu melaksanakan seleksi terbuka berbasis merit system untuk menempatkan Inspektur definitif yang memiliki integritas, independensi, dan rekam jejak bersih.
2. Penguatan Fungsi Probity Audit, probity audit harus diwajibkan pada seluruh proyek Pokir DPRD dan program strategis lainnya untuk memastikan seluruh proses perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan pekerjaan berjalan sesuai regulasi.
3. Sinergi dengan Lembaga Pengawasan Eksternal, Inspektorat perlu membangun mekanisme koordinasi yang lebih erat dengan BPKP, BPK, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian melalui pertukaran data, audit bersama, dan tindak lanjut temuan yang lebih tegas.
4. Perlindungan terhadap Auditor Inspektorat, membangun whistleblowing system internal dan menyediakan perlindungan hukum bagi Auditor Inspektorat yang melaporkan tekanan politik atau perintah yang berpotensi melanggar hukum.
5. Mendorong Transparansi dan Partisipasi Publik, pemerintah perlu membuka akses informasi publik mengenai penggunaan anggaran Pokir DPRD, hasil audit, dan rekomendasi Inspektorat melalui kanal resmi agar masyarakat dapat turut serta mengawasi.
Fenomena Inspektur yang cenderung lebih mengutamakan loyalitas kepada kebijakan Gubernur dan kepentingan politik Pokir DPRD telah menimbulkan krisis independensi, degradasi integritas, dan melemahnya tata kelola pemerintahan.
Melalui penerapan rekomendasi kebijakan yang telah dipaparkan, diharapkan Inspektorat dapat kembali menjalankan fungsinya sebagai penjaga akuntabilitas dan integritas pemerintah daerah. Sinergi antara Inspektorat, lembaga pengawas eksternal dan internal lainnya, serta masyarakat sipil perlu dikuatkan agar tercipta tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, serta bebas dari konflik kepentingan.