Kisah Perjuangan: Demi Bakti Kepada Sosok ASN Inspirasiku

Gambar sampul Kisah Perjuangan: Demi Bakti Kepada Sosok ASN Inspirasiku

Semilir angin dari hembusan kipas di dinding kamar mengitariku dengan sejuknya. Remang-remang cahaya di kamar kunikmati agar suasana hati sedikit tenang. Tapi, masih kudengar riuh-rendah canda tawa, teriakan dua bocah kecil di kamar sebelah. Mereka berdua bercengkrama tanpa mengetahui kegalauan hati ibundanya. Suara radio dari kamar bapak mertua pun ikut meramaikan suasana malam ini. Sedangkan suamiku belum pulang, ikut acara halal bi halal bersama teman-teman di organisasinya. Aku merasa sendirian, di tengah keramaian.

Meskipun malam menjelang, mataku tak bisa terpejam. Aku masih terbayang beragam peristiwa yang sudah kualami seharian. Menjadi seorang guru SD di salah satu wilayah pesisir utara Pulau Jawa, membuatku sering mengalami hari-hari yang cukup berat. Aku harus ekstra sabar menghadapi berbagai tingkah laku murid yang luar biasa. Mereka yang kadang membuatku tertawa tanpa henti, namun juga bisa membuatku jengkel setengah mati. Iya, apapun yang mereka lakukan, mereka tetap makhluk Tuhan yang harus dimuliakan.

keseruan bersama anak didikku
"Karena setiap insan itu istimewa dengan bakatnya masing-masing."

Pikiranku bergeser, teringat bahwa kemarin adalah hari ulang tahun almarhum adikku. Andaikan masih hidup, dia sudah berusia 29 tahun. Sayangnya, Tuhan telah mengakhiri tugasnya di dunia pada usia yang ke-27. Dia dinyatakan mengalami pendarahan otak karena tekanan darah tinggi, hingga peristiwa itu menjadikannya beristirahat untuk selama-lamanya.

Daripada terbayang oleh pikiran yang semakin jauh, kuputuskan untuk membuka laptop. Mencurahkan segala isi hati agar tak terjangkiti penyakit hati. Aku ingin mengulas sedikit cerita dalam hidupku. Perjalananku menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diangkat sebagai pegawai tetap, atau biasa disebut sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tahun 2011 adalah tahun yang membuatku merasa berada di ambang kecemasan. Berbagai pilihan nampak di depan mata. Antara bekerja sebagai guru honorer dengan gaji seadanya, menikah untuk beribadah menyempurnakan separuh agama, atau di rumah membuka les-lesan bagi anak-anak di sekitar rumah. Jangan tanyakan mengapa tidak menjadi PNS atau guru di sekolah swasta. Karena pada waktu itu tidak ada informasi lowongan yang kudapatkan. Aku yang berasal dari Kabupaten Malang, saat itu juga belum berani keluar wilayah untuk merantau atau mengadu nasib di luar rumah.

Kenangan saat jadi guru honorer
"Ketika gaji tak sesuai ekspektasi, tetapi hati sedia melayani."

Cukup berat rasanya di tahun itu, aku sebagai anak perempuan pertama, cucu pertama, keponakan pertama dari pihak ayah, harus menanggung beban ekspektasi keluarga. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa menjadi teladan bagi keluarga besar ayahku. Apalagi saat itu, ayahku juga menjabat sebagai kepala sekolah di Sekolah Dasar Negeri. Tentu saja aku juga menjadi sorotan dari rekan-rekan kerjanya.

Pada akhirnya, keputusanku membulat. Aku memilih untuk mengabdikan diri. Kuniati hanya untuk mencari pengalaman, bukan untuk bekerja. Aku memilih untuk menjadi guru honorer dengan upah seadanya, sambil mengamalkan ilmu yang kudapat. Aku juga membuka les-lesan di rumah orang tuaku. Jadi sepulang sekolah, aku masih mengajar di rumah, sampai malam setelah isya'.

Setahun lebih aku menjalani hari-hari yang demikian. Hingga pada akhirnya, kudapatkan sebuah informasi bahwa telah dibuka pendaftaran guru SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang dinaungi oleh pihak Kemendikbud. Program ini mengharuskan para sarjana fresh graduate untuk mengabdikan diri di daerah 3T selama setahun. Kemudian, setelah selesai mengabdikan diri, akan diberikan kesempatan untuk mengenyam Pendidikan Profesi Guru Prajabatan secara cuma-cuma.

Akhirnya aku bertekad untuk menjajal program ini. Aku meminta doa restu kepada kedua orang tuaku. Ayahku memberikan izin penuh dan mendukung 100% keputusanku. Berbeda dengan mamaku, sampai tiga hari menjelang keberangkatanku, masih belum megikhlaskan juga.

Aku mengingat betul kalimat nasihat dan arahan dari ayahku waktu itu. Aku boleh berangkat, agar mendapatkan pengalaman yang tak bisa dinilai dengan uang, dan tentunya mendapatkan sertifikat pendidik secara gratis. Ditambah lagi di perantauan juga akan mendapatkan uang makan yang lebih dari cukup dari sekadar menjadi guru honorer.

Karena besarnya harapan kepadaku, ayah memberikan sejumlah uang untuk dibelikan laptop dan pocket camera baru. Padahal, selama empat tahun aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, ayah tak membelikanku laptop. Iya, aku satu-satunya mahasiswi di kelas yang tak punya laptop dan sepeda motor sebagai fasilitas untuk kuliah. Tapi kusadari, kondisi keuangan keluargaku memang tak memungkinkan untuk membeli kedua barang tersebut di waktu itu.

Yah, bagaimanapun, aku sudah dinyatakan lolos seleksi oleh LPTK Universitas Negeri Malang. Aku harus segera masuk kawah candradimuka, mengikuti prakondisi di Dodikjur Malang selama 12 hari sebelum dikirim ke tempat tugas. Waktu sudah sangat mepet, dengan berat hati, akhirnya mamaku merestui keberangkatanku.

perjuangan saat prakondisi SM-3T
"Berjuang tak harus pergi ke medan perang. Berjuang bisa juga dengan memajukan pendidikan."

Hari-hari di siang terik dengan latihan fisik dan mental yang ditempa sedemikian rupa kujalani dengan tabah. Kuanggap ini belum seberapa. Ini adalah awal. Aku harus bertahan. Aku harus berjuang. Terbayang jerih payah ayahku yang bekerja menghidupi keluarga. Banting tulang menyekolahkanku dari kecil dengan menjalani beragam profesi dari guru, pengantar daging bakso, hingga tukang ojek. Bekerja dari subuh hingga malam hari demi memberi nafkah kepada keluarga juga menanggung hidup orang tua. Aku harus berhasil mengangkat nama baik keluarga juga. Aku tak boleh menyerah.

Sehari sebelum pemberangkatan ke tempat tugas, barulah ada pengumuman lokasi tujuan kemana kami ditugaskan. Bak mendapat suprise, berdebar rasanya menghadapi antrean peserta yang membaca pengumuman di papan. Kami tak sabar untuk mengetahui wilayah mana yang harus dituju. Hingga pengumuman tepat berada di depan mataku. Aku tak begitu kaget. Karena sesuai dugaan, aku ditempatkan di wilayah Nusa Tenggara Timur. Tepatnya berada di Sekolah Dasar Inpres Nggalak, Kabupaten Manggarai.

Perjalanan masih panjang. Aku benar-benar memasuki sebuah babak baru dalam kehidupanku. Berada di perantauan, dengan fasilitas yang minim. Listrik yang menyala hanya di waktu malam pukul 18.00 WITA sampai 21.00 WITA, air yang terbatas hanya bisa diperoleh dengan mengangkut dari sumber mata air terdekat, jalanan terjal berbatu kapur disertai lumpur pekat di kala hujan tiba, dan kebun kemiri dengan pepohonannya yang tinggi. Ditambah lagi hanya ada satu truk sebagai kendaraan umum dari Desa Nggalak yang hanya berangkat ke pusat kecamatan Reok sebanyak dua sampai tiga kali selama seminggu. Bahkan pernah hanya seminggu sekali karena kondisi jalanan di musim hujan yang tidak memungkinkan untuk dilalui.

SM-3T
"Perjuangan yang diawali dengan ketegaran, dan diakhiri dengan harunya tangisan."

Keadaan yang sedemikian rupa diperparah dengan adanya perbedaan suku, agama, adat istiadat, dan bahasa sehari-hari. Bisa dibayangkan, aku sebagai satu-satunya perempuan muslimah di desa tersebut. Sebagai pendatang pula. Mereka, penduduk setempat, seluruhnya beragama Katolik.

Apapun yang terjadi, aku tak boleh mudur. Setiap kali mendapatkan rintangan dan kesulitan, aku selalu menanamkan dalam pikiranku bahwa Tuhan akan menolong setiap hambaNya asalkan dia mau berusaha. Aku juga memotivasi diriku sendiri dengan mengingat jerih payah ayahku agar aku sampai di titik itu, dan besarnya harapannya padaku di masa depan. Hingga setahun berlalu, dengan segala cerita dan keluh kesah di baliknya. Tibalah saatnya aku pulang ke tanah Jawa.

Isak tangis dari orang-orang yang kutinggalkan dan pelukan erat dari murid-muridku saat itu tak mampu membatalkan kepergianku dari sana. Dengan berat hati kami berpisah. Dalam setiap langkah, terselip harapan semoga kami bisa berjumpa lagi di lain waktu dan kesempatan. Aku harus pergi meninggalkan Manggarai.

Sorak-sorai teman-teman seperjuangan yang tak sabar berjumpa kembali dengan keluarga membanjiri tempat penginapan kami. Wajah-wajah senang sekaligus haru terukir di wajah kami. Keesokan harinya, deru pesawat yang siap mengangkut kami, seakan-akan ikut memberikan selamat atas perjuangan setahun penuh kami di pelosok negeri.

saat pulang dari mengabdi
"Depan belakang ransel hitam, kukenakan jaket hitam, kulit pun kelam, tak berarti masa depan ikut kelam."

Begitu menginjak tanah Jawa, tentu saja keluargaku menjemputku di bandara dengan suka cita. Terbesit kebanggaan di wajah ayahku kala itu. Melihat putri sulungnya berhasil mengemban tugas yang diberikan oleh negara. Wajah syahdu dengan penuh kelegaan juga terpancar dari mamaku yang ikut mendampingi ayahku.

Sepulang dari mengabdi, tentu saja kami diberi jeda waktu untuk berkumpul bersama keluarga selama beberapa minggu untuk melepas rindu. Selanjutnya, kami harus memasuki tempat penempaan kembali di Lanal Malang sebelum kami memasuki kelas-kelas PPG Prajabatan yang telah disediakan oleh pihak LPTK Universitas Negeri Malang.

Nyaman tak nyaman, mudah ataupun sulit, perjuangan tetap harus dilanjutkan. Karena kami harus mencapai skor yang telah ditentukan agar bisa dinyatakan lulus PPG Prajabatan. Namun begitu lulus, lagi-lagi aku dihadapkan pada beberapa pilihan. Antara melanjutkan karir sebagai guru dengan daftar CPNS, atau menikah. Aku memilih keduanya.

memilih untuk menikah bukan berarti salah

Tapi takdir berkata lain. Jadwal tes CPNSku bertepatan dengan tanggal pernikahanku. Jelas aku lebih memilih untuk menyempurnakan separuh agama daripada mengejar karir. Kemudian akupun pindah ke Gresik mengikuti suamiku.

Selama 5 tahun, aku menjadi ibu rumah tangga. Aku tahu, ini adalah masa-masa yang sulit bagi kami. Terutama bagi ayahku yang berharap sangat besar terhadap masa depanku.

Berbagai perkataan dan kalimat-kalimat yang menyudutkan aku terima, baik dari keluarga maupun dari orang lain. Aku hanya bisa membalas ucapan mereka dengan senyuman getir. Suamiku tak pernah memaksaku untuk bekerja. Demikian pula dengan kedua orang tuaku. Mereka membebaskanku untuk memilih jalan hidup seperti apa yang kumau. Tak ada tekanan, tak ada cacian dan umpatan, juga tak ada keluhan. Tapi aku selalu bisa membaca seutas harapan yang terpendam dari wajah-wajah mereka.

Tahun 2018 adalah tahun keberuntungan sekaligus perubahan dalam hidupku. Di tahun itu, aku melahirkan anak kedua. Aku juga dinyatakan lolos seleksi CPNS bersamaan dengan adikku yang telah tiada itu. Tentu saja kedua orangtuaku, terutama ayahku, sangat bersemangat. Ayah bercerita kesana kemari dengan bangganya kalau kedua anaknya telah diterima CPNS di periode waktu yang bersamaan. Senyum lebar dan sumringah terukir di wajah tuanya. Binar matanya memancarkan kembali sejuta harapan yang sempat terpendam.

Setahun berlalu, hingga aku diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan Diklatsar CPNS. Hari demi hari kulalui dengan sangat lancar tanpa halangan apapun. Sampai di kegiatan akhir penutupan Diklatsar, aku mendapatkan apresiasi prestasi istimewa peringkat ke-2 peserta Diklatsar. Dengan bangganya aku pulang, seolah-olah membawa berita kemenangan. Akan tetapi, yang kudapatkan adalah kabar duka melalui panggilan video. Tepat di waktu aku baru datang, dan baru saja memasuki rumah, mama memberikan kabar bahwa kondisi ayah semakin parah. Video call yang kuterima, saat itu, di akhir tahun 2012, ternyata adalah video call terakhir yang kulakukan dengan ayahku.

penerimaan penghargaan dari BPSDM Provinsi Jawa Timur
"Prestasi bukan berarti ambisi, hanya sebagai bentuk pembuktian diri."

Selama ayah sakit di rumah sakit, selalu melarang mamaku untuk mengabariku. Ayah bilang bahwa, aku pasti akan pulang sendiri jika kegiatan Diklatsar sudah selesai. Selama aku Diklatsar, tak boleh diganggu dengan kabar buruk. Supaya aku bisa fokus dengan apa yang kujalani, bukan fokus memikirkan hal lain.

Jika mengingat kejadian itu, selalu ada yang kusesalkan. Aku yang tak sempat berterima kasih kepada ayah, atas perhatiannya kepadaku dalam diamnya. Aku yang tak sempat meminta maaf, bahwa aku tak pernah memperhatikan selama hidupnya. Aku belum sempat mengucapkan kata terima kasih dan maaf. Ayah sudah pergi dulu untuk meninggalkan kami selama-lamanya.

Ayah adalah sosok ASN inspirasiku. Bersahaja dalam hidupnya, selalu mendahulukan kepentingan orang-orang di sekitar daripada kepentingan pribadinya. Ayah banyak mengalah, tidak serakah, dan tak pernah menggenggam harta dunia. Ayah yang dermawan walaupun keadaan ekonomi pas-pasan. Perjuangannya dari kecil sudah luar biasa. Dia menjadi anak yatim sejak berusia 7 tahun. Sempat putus sekolah karena tak ada biaya. Bahkan pernah disekolahkan keluarga dengan imbalan bantu-bantu di rumahnya.

Begitu ayah bekerja sebagai guru PNS, ayah juga mau menanggung biaya hidup ibunya, serta membantu mengentaskan adik-adiknya. Ayah seorang pribadi yang luar biasa, giat bekerja, dan tak pernah putus asa. Ayah selalu memberikan semangat dan pilihan hidup yang logis kepada anak-anaknya. Agar kami tak salah arah, agar kami kuat menjalani kerasnya kehidupan, dan tentu saja agar kami selamat. Ya, karena kita hidup di dunia ini hanya sebentar saja. Salam kangen untukmu, ayah. Semoga segala amal ibadahmu diterima di sisiNya, dan semoga segala teladan darimu untuk kami bisa menjadi amal jariyah yang tak terputus.

Bagikan :