Krisis moneter pada tahun 1998 tidak hanya menjadi bagian dari sejarah yang tragis bagi Indonesia, tetapi juga momentum nestapa keluarga karena bapak merupakan salah satu korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Ibu yang awalnya berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) terpaksa memutar otak dan banting stir berjualan lentog, makanan khas Kudus, di terminal bus yang jaraknya kurang lebih satu setengah jam dari rumah. Disaat kedua orang tua bekerja, saya bersama kakak dan adik saya sudah terbiasa menyiapkan dan menyantap nasi hangat dengan lauk garam dan sambal. Di tengah carut marutnya kondisi keuangan keluarga, aku dengan tidak tahu dirinya masih berani bermimpi bersekolah tinggi dan mengubah nasib keluarga saya. Aku memutuskan merantau, melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang, dengan harapan bisa langsung terserap ke dunia kerja setelah lulus.
Berbekal uang ala kadarnya, aku memutuskan untuk menjadikan masjid sekolah sebagai tempat tinggal dan bernaung karena tidak sanggup membayar uang kos. Siapa sangka, keterbatasan inilah yang menjadi titik balik hidupku. Menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah membuatku terlibat banyak urusan di sekolah, termasuk membantu kakak tingkat berlatih dan belajar mekatronika serta menyaksikan bagaimana mereka sering membawa pulang piala dan medali juara kompetisi tingkat nasional hingga internasional. Hingga tiba masanya aku turut menjadi sang juara, mendapat beasiswa pendidikan, dan menyelesaikan studi dengan predikat lulusan terbaik tingkat nasional, mengumpulkan pundi-pundi uang sehingga sudah mandiri secara finansial sejak awal masuk SMK. Tak lama setelah lulus terdapat tawaran mengikuti WorldSkills mechatronics competition di Jerman tahun 2013. Aku yang seharusnya lulus dan memulai kerja di perusahaan tetiba dipanggil oleh pihak sekolah dan pihak Kementerian Pendidikan guna bersedia mewakili Indonesia untuk mengikuti acara tersebut dengan janji mendapat beasiswa pendidikan sarjana di perguruan tinggi. Anak kampung dan polos ini tentu percaya dan semangat mengikuti kompetisi tersebut. Nahasnya, janji hanyalah janji, sepulang dari Jerman setiap email yang kukirim ke pihak terkait yang menjanjinkan beasiswa S1 tidak pernah mendapat jawaban. Aku yang kelimpungan tidak mendapat kerja dan tidak dapat melanjutkan perkuliahan merasa sendiri dan tertipu oleh oknum sebangsa dan setanah air.
Seberapa keras dunia menghantamku, aku tidak ingin duniaku berhenti berputar, aku kembali mengingat mimpi kecilku untuk membuat sistem peringatan dini tsunami dengan bergabung ke salah satu lembaga pemerintah. Aku mengikuti serangkaian tes dan akhirnya terpilih menjadi salah satu taruna di sekolah ikatan dinas Indonesia. Bak gayung bersambut, tsunami Selat Sunda 2018 menjadi pengalaman pertama yang makin menguatkan tekadku untuk lebih mendalami hal ini. Disaat yang lain diimbau untuk evakuasi, aku bersama tim lain dari berbagai instansi justru pergi mengunjungi lokasi guna memasang peralatan pengamatan tinggi muka air laut. Kami tidur di bawah langit terbuka, dibawah sinaran sang bulan, dengan tikar basah karena tenda kami diterpa hujan dan angin kencang, tanpa lampu atau sinyal internet. Mafhum, pulau tersebut merupakan pulau tak berpenghuni, tidak ada penginapan apalagi hutan di pulau tersebut. Setelah pulang, aku mendapat penghargaan di tengah upacara mingguan, diberikan sebuah map yang bertuliskan 'ASN berprestasi dalam misi kemanusiaan'. Jauh rasanya berharap mendapat imbalan, hanya berpikir minimal aku mendapat sertifikat penghargaan, tetapi ternyata map tersebut kosong. Upacara menjadi ajang seremonial belaka. Tidak ada motivasi konkret untuk pegawai. Tetapi, apakah saya menyerah mencintai bangsa ini? Tidak.
Mimpiku tentang sistem peringatan dini tsunami makin kuat dan berlanjut. Tahun 2021, aku melanjutkan studi magister di Universitas Indonesia dengan riset yang bersesuaian dengan sistem peringatan dini tsunami menggunakan soft sensor dan artificial intelligence. Seperti sudah direstui Tuhan, saya kembali diberikan kesempatan beasiswa jenjang doktoral dan melanjutkan pengejawantahan mimpi saya, mengambil Anak Gunung Krakatau sebagai lokasi riset meskipun saya belajar jauh di Inggris. Rasanya pengalaman ini lebih dari cukup menjadi bukti saya tidak pernah sekalipun berhenti mencintai, berusaha memberikan yang terbaik untuk masyarakat, bangsa, dan negara, meski telah berkali-kali dikecewakan oknum pemerintahan. Jadi, jangan ajari aku mengabdi.