Awalnya, tak pernah terlintas di benak akan menjalani hari-hari selow sebagai Aparat Sipil Negara. Namun nyatanya, takdir membawaku meneguk asam, manis, kecut, kadang pahit sebagai abdi negara. Pernah kutanyakan pada orang tuaku, seberapa senang mereka dengan pekerjaan yang saat ini kujalani. Jawaban ibu sungguh di luar dugaan.
“Bapakmu sampai menangis Nak. Tak pernah ibu menyaksikan tangis seharu itu. Bapak sungguh senang anaknya bisa lulus PNS. Kau menjadi buah bibir Bapak di setiap pertemuan dengan siapa saja. Bapak mengelu-elukan namamu!”
Sebahagia itukah? Aku yang menjalani paska kelulusan PNS biasa-biasa saja, ternyata mengukir jejak yang rekah di dada orang tua. Sebagai anak pertama, kelulusan PNS menjadi jalan baru, mungkin agak berlibih jika disebut jalan tol untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga. Segala gegap-gempita itu justru menjadi teror dan aku semakin takut. Jauh panggang dari api, harkat dan martabat seperti apa yang diinginkan dengan menjadi PNS?
Tiga bulan setelah dilantik sebagai CPNS, gaji belum juga dibayarkan sedang utang sudah setinggi gunung Bawakaraeng. Kebanggaan mulai luntur dan aku makin pesimis dengan masa depan. Bekerja dan berpenghasilan layak adalah dua hal yang berbeda. Saat pencairan rapelan gaji pun tetap minus dan aku dengan malu-malu tetap mengharap suntikan dana orang tua untuk menutupi kebutuhan bulanan.
Aku mentakzimi air mata Bapak. Mungkinkah bapak salah menaruh harap? Atau aku yang kurang bersyukur? Aku merasa, yang dijalani Bapak masih jauh lebih baik. Bapak bekerja sebagai pegawai BUMN yang segala item pekerjaannya selalu berbau rupiah. Lembur digaji cuti pun dibayar. Sedang aku? Untuk hidup dari bulan ke bulan masih harus mencari dana tambahan karena gaji dan tunjangan cenderung keteteran.
Seorang kawan, yang awalnya berkarier di perusahaan swasta memilih mundur setelah belum genap lima tahun dalam pengabdiannya.
“Tidak cukup Bro. untuk pulang kampung sekali setahun saja ngos-ngosan, apalagi mau berharap liburan, jangankan luar negeri, domestik aja kewalahan!”
Kusebut dia pemberani, dengan kembali ke habitat awalnya sebagai pegawai swasta, ia bisa dipromosi dan diganjar pendapatan dengan besarnya kinerja dan tanggung jawab, sebab bisa dipastikan jika ia bertahan sebagai PNS, akan lebih banyak makan hati dibanding merayakan pencapaian-pencapaian yang masih “kurang” jika diposting di media sosial. Layak posting sih iya, tapi masih kurang mewah.
Untuk hidup berlebih, apalagi sampai kaya raya seorang ASN perlu untuk masuk dalam buku daftar keajaiban dunia dulu. Sebab itu salah satu hil yang mustahal jika berharap gaji dan tunjangan semata. Butuh ribuan kali percobaan yang mengalahkan rekor Thomas Alva Edison saat menemukan bola lampu.
“Ayo. Laksanakan perintah. Tutup telingamu. Lalu nasibmu akan berubah!”
Itu petuah seorang kawan yang kadung terseret dalam lingkar kuasa yang pekat. Aku pernah masuk dan terlibat, tapi tak terlalu kuat untuk bersekutu dengan muslihat. Cari aman dengan penghasilan pas-pasan adalah jalan selamat. Semoga itu berkah. Aku masih kadung teringat dengan air mata Bapak, jalan pengabdian ini semoga bisa jadi jariyah untuknya, setidaknya jika untuk kaya agak sulit, setidaknya jalan pengabdian ini tetap diganjar amal ibadah.