Sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Muda yang siap ditempatkan di mana saja, bahkan yang memang dengan sadar memilih penempatan luar domisili, pasti paham sekali bahwa menjadi seorang perantau bukanlah hal yang mudah. Namun, opini tersebut dapat dipatahkan dengan adanya semangat untuk menjalankan tugas serta tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat.
Bertemu dengan teman sejawat yang berasal dari berbagai daerah, suku, agama, usia dan ragam budaya menjadikan ASN muda untuk lebih adaptif dan fleksibel di berbagai kondisi. Bahu-membahu dalam menghadapi segala kondisi, baik di dunia kerja maupun di lingkungan pergaulan menjadi kunci utama "betah di tanah rantau", karena menciptakan lingkungan kekeluargaan baru dan simbiosis yang saling menguntungkan. Sebagaimana seorang bijak mengatakan, "Keluarga yang engkau ciptakan, sama berharganya dengan keluarga di mana engkau berasal."
Saya ingin berbagi kisah tentang kami, Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Muda yang memilih untuk bertugas di Kabupaten Lampung Barat tepatnya Kota Liwa, Provinsi Lampung. Saya yang berasal dari Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan menempuh kurang lebih 9 jam perjalanan darat untuk sampai ke daerah di mana saya bertugas hari ini. Tuhan menjadikan semua jalan mudah dan mempertemukan saya dengan ratusan teman baru yang juga berasal dari berbagai daerah. Bahkan, kami membuat perkumpulan daerah asal untuk bisa saling mengenal dan memudahkan mencari kontrakan, selain juga menjadi tempat sharing mengenai pekerjaan di kantor. Kebetulan kami semua berasal dari dinas yang berbeda. Tingkat usia, agama, latar belakang pendidikan serta pengalaman kerja sebelum menjadi abdi negara ternyata memperkaya khasanah dan cara pandang kita dalam menyikapi keragaman. Inilah miniatur Indonesia yang tercermin dalam kehidupan keseharian ASN Muda saat ini.
Sedikit berbagi pengalaman, bahwa saya memiliki teman yang juga sesama ASN berasal dari daerah serta dinas yang berbeda, namun kenal baik karena lokasi kontrakan yang berdekatan. Sebagai tetangga, tentu kami sering sekali pergi rekreasi bersama, makan bersama, bahkan bertukar bantuan saat salah satu memang membutuhkan, layaknya keluarga. Teman saya ini berasal dari Medan, bersuku Batak tapi sudah cukup lama tinggal di Jakarta dan berkeluarga di sana, sebelum ia memutuskan untuk menjadi abdi negara. Ia adalah seorang Katolik yang taat, namun tidak membatasi saya yang seorang muslim untuk tetap berhubungan dekat dengannya. Pemilihan lokasi tugas di Lampung Barat ini juga membuat ia dan suaminya bersepakat untuk menjalani LDM (Long Distance Marriage). Kebetulan ia sudah dikarunia seorang putra yang turut bersamanya. Dan luar biasa pada saat itu, teman saya juga dalam kondisi hamil tua.
Kebupaten Lampung Barat memiliki kondisi geografis yang cukup unik karena berbeda dengan daerah di mana kami berasal. Sebagian besar wilayah dataran tinggi (pegunungan), karena dikelilingi oleh Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), diapit oleh 2 gunung, Seminung dan Pesagi yang cukup ikonik. Suhu udara pada malam hari mencapai 17-19 derajat celcius. Siang hari suhu maksimal sampai dengan 28 derajat celcius yang semakin rendah (turun) ketika menjelang petang. Bukan hal yang mudah bagi kami yang berasal dari dataran rendah untuk penyesuaian. Namun ini menjadi tantangan yang cukup berkesan, karena tentu menuntut perubahan pola kebiasaan, misal mengurangi aktivitas malam hari di luar rumah, karena udara gunung yang dingin sekali. Jika tidak diindahkan, maka bersiap disergap angin malam dan akhirnya jatuh sakit.
Suatu ketika, teman saya yang sudah saya ceritakan di awal tulisan, pernah menelepon saya tepat pukul 23.30 malam. Ia mengeluhkan kalau anak sulungnya demam dan meminta bantuan saya untuk membawa ke rumah sakit (RS) terdekat. Kebetulan, pada malam itu saya masih terjaga. Dengan sigap saya yang hanya memiliki kendaraan roda dua menghampiri teman yang juga tetangga kontrakan saya. Saya paham betul kondisi teman ini yang sedang hamil tua. Malam itu suhu di handphone saya menunjukan angka 18 derajat celcius dan Kota Liwa diselimuti kabut malam seperti biasa. Jarak pandang yang hanya sampai 2 meter saja menuntut kejelian dalam berkendara. Dan beruntung kondisi jalan kota pada malam itu cukup senyap. Terbayang bagaimana sulitnya saya membawa 2 penumpang; 1 dalam kondisi demam (anak) dan 1 lagi ibu hamil tua. Sungguh pengalaman yang sulit dilupakan. Sebagai informasi, RS terdekat adalah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Alimuddin Umar yang lokasinya di atas perbukitan. Tantangan terberat tidak hanya sampai di situ saja, jalan menuju RS ini juga menantang karena berkerikil dan cukup selip. Kemampuan pembalap saya cukup diuji malam itu.
Ada bisikan dalam hati saya untuk menyerah saja dan menurunkan salah satu penumpang. Namun, keadaan malam yang dingin serta kondisi teman saya yang sedang hamil besar membuat saya mengurungkannya. Saya berbisik, "Kak (panggilan saya ke teman saya yang memang lebih senior secara usia), tarik napas panjang ya. Saya akan gas lagi motornya lebih kencang. Pegangan Kak, saya takut Kakak jatuh". Dengan santai teman saya memegang pundak saya seolah meyakinkan, "Bismillah Dik...bisa pasti sampai ke atas, pelan - pelan saja." Saya agak kaget mengingat dia meyakinkan saya untuk mengucap basmalah, padahal ia bukanlah seorang muslim. Sontak saya terus mengucap istighfar dan basmalah pelan. Saya dengar lirih, ia pun memohon perlindungan Bapa (sebutan Tuhan dalam trinitas) agar menjaga kami dalam perjalanan. Sedikit tertawa saya katakan, "Kak, saya upayakan maksimal, tapi kalau terjatuh maaf ya kak, karena di luar kendali saya." Ucap saya padanya. Dia kemudian membalas, "tenang, Dik. KITA DILINDUNGI DUA TUHAN."
Alhamdulillah..perjalanan lancar. Sesampai kami di RS, perawat dan petugas IGD dengan cepat menangani anak teman saya. Semua pun berjalan mulus dan anaknya dirawat inap malam itu juga. Saya pulang ke rumah sendiri pagi itu pukul 01.00 dini hari, karena teman saya harus menemani buah hatinya di RS. Bukan setan atau hantu yang saya takutkan lagi di jalan pulang, tapi sebaliknya, hati saya dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan karena bisa menolong sesama, terlebih sesama anak rantau. Tuhan akan melindungi setiap niat baik kita, termasuk niat kita bekerja dengan sungguh-sungguh meski di luar daerah asal. Bulatkan tekat dan niat yang lurus. Insha Allah semua kebaikan mengelilingi kita semua di mana pun berada, ucap saya sepanjang perjalanan malam itu.
Kurang lebih itulah pengalaman yang dapat saya bagikan kepada teman-teman. Semoga bisa diambil hikmah dan menginspirasi untuk saling berbagi pertolongan. Mudah-mudahan kita semua dapat bersyukur atas apa yang sedang kita jalani saat ini. Dan saya berharap, kita semua diberikan jalan menuju kesuksesan dalam tugas masing-masing, amiin ya Robbal a'lamiin.