Pernah nggak, kamu lihat seseorang di dunia nyata yang pendiam, tapi di Twitter/X dia bisa berubah jadi aktivis digital garis keras? Atau akun Instagram teman sekantor yang isinya nyinyir terus soal kebijakan, padahal kalau di rapat, suara “ngomong sepatah kata” aja nggak pernah kedengaran?
Fenomena ini nyata. Bahkan sudah punya istilah dalam dunia psikologi: online disinhibition effect, yakni kecenderungan seseorang untuk lebih ekspresif, blak-blakan, bahkan agresif saat berada di ruang digital, dibandingkan ketika berinteraksi langsung di dunia nyata.
Di Balik Layar, Hilanglah Norma
Media sosial adalah ruang tanpa sekat. Tak ada tatapan mata, tak ada nada suara. Di balik layar, kita bisa jadi siapa saja. Tanpa disadari, ini membentuk zona nyaman baru, yang kadang membuat seseorang merasa bebas dari norma sosial.
Kebebasan ini bisa positif, jika digunakan untuk edukasi, aktivisme, atau membangun dialog kritis. Tapi sayangnya, banyak pula yang menggunakannya sebagai pelampiasan emosi, tanpa kontrol dan tanpa empati. Mulai dari komentar kasar, doxing, sampai menyebar informasi tanpa verifikasi.Dan semua itu, sialnya terasa legal dan lumrah di dunia maya.
Ketika ASN Terkena Efek Disinhibisi
Saya bekerja di pemerintahan. Dan saya lihat langsung, efek disinhibisi ini mulai merambah kalangan aparatur sipil negara (ASN). Ada ASN yang aktif di media sosial dengan konten edukatif, membahas kebijakan, dan berdiskusi dengan publik. Tapi ada juga yang curhat soal rekan kerja, menyindir pimpinan, bahkan membocorkan isi rapat atau dokumen dinas.
Padahal, status sebagai ASN bukan sekadar pekerjaan; itu melekat dengan tanggung jawab dan etika. Ketika seorang ASN ngegas di media sosial, yang kena dampaknya bukan hanya dirinya, tapi juga institusi tempat dia bekerja.
Dan biasanya, yang harus turun tangan adalah Humas pemerintah, bagian yang tugasnya menjaga citra, menjembatani informasi, sekaligus jadi "pemadam kebakaran digital" saat ada unggahan yang bikin gaduh.
Literasi Digital Itu Kebutuhan Dasar
Sering kita dengar jargon literasi digital, tapi kenyataannya implementasinya masih minim. Literasi digital bukan cuma soal tahu cara pakai aplikasi. Ia soal memahami konsekuensi sosial dan etika dari tiap interaksi digital.
Pemerintah sudah mulai menyusun pedoman penggunaan media sosial bagi ASN. Tapi aturan saja nggak cukup. Harus ada pembinaan yang berkelanjutan, pelatihan yang menyentuh aspek soft skill, dan pendekatan yang membuat ASN sadar: medsos bukan tempat pelampiasan, tapi ruang interaksi yang membentuk persepsi publik.
Jempolmu Adalah Tanggungjawabmu
Dunia digital tidak bisa dihentikan. Tapi yang bisa dikendalikan adalah diri kita sendiri. Kita bisa memilih: mau jadi pengguna yang sadar, atau korban dari ekspresi yang tak terkendali.
Efek disinhibisi online ini bukan hal remeh. Ia menciptakan ilusi kekuasaan di balik layar, membuat kita lupa bahwa setiap kata punya dampak. Maka sebelum ngetik, pikirkan lagi: apakah yang kita sampaikan akan membawa manfaat, atau sekadar memicu keributan yang tak perlu?
Karena pada akhirnya, reputasi kita dan lembaga tempat kita bekerja dipertaruhkan bukan hanya di ruang kerja, tapi juga di ruang digital.