Kalau Jabatan Bisa Dibeli, Lalu Apa yang Kita Jual?

Gambar sampul Kalau Jabatan Bisa Dibeli, Lalu Apa yang Kita Jual?

Dunia per-ASN-an sedang heboh. Pemberitaan tentang praktik jual beli jabatan menyeruak ke ruang publik, lengkap dengan detail yang bikin kening berkerut sekaligus bibir tersenyum miris. Di kantor instansi tempat saya bekerja, isu ini tidak asing. Para perintis yang sejak awal membangun instansi bahkan menanggapinya dengan tawa, canda, dan celetukan asal.

Mengapa bisa begitu? Karena meski saya pribadi tidak pernah ditawari, tidak pernah bertemu dengan “calo” jabatan, dan tidak pernah mengalami secara langsung, cerita semacam itu terlalu sering terdengar. Seorang anggota tim pernah bercerita, ia menyiapkan segepok uang dalam tasnya ketika hendak bertemu seseorang yang mengaku bisa membuka jalan kenaikan jabatan. Teman lain mengaku rela memberi imbalan kalau saja benar-benar naik jabatan. Bahkan ada yang sampai ke Tangerang, membawa uang hasil pinjaman, demi bertemu calo. Tragisnya, tak satu pun yang bercerita kepada saya itu berhasil meraih jabatan yang mereka dambakan. Uang lenyap, jabatan pun tetap jadi angan.

Lucunya, pasar gelap jabatan ini ternyata tidak mengenal sistem refund. Barang tidak dapat dikembalikan, uang pun tidak ada garansi. Ibarat belanja online, ASN yang tertipu hanya bisa meninggalkan review dengan bintang satu, sayangnya tanpa ada kolom komentar publik.

Menariknya, calo jabatan tidak sembarangan menawarkan jasanya. Ada tipikal tertentu dari ASN yang menjadi target. Dari pengamatan saya, para senior yang didatangi biasanya punya pola yang sama: tidak terlalu menonjol dalam keterampilan, tidak punya keahlian spesifik, tapi tampak ngebet sekali ingin jadi pejabat. Demi ambisi itu, mereka bahkan rela merogoh kocek—atau berutang—untuk mendapatkan kursi. Ironis, jabatan yang seharusnya diisi oleh mereka yang punya kapasitas dan integritas, justru lebih sering diincar oleh mereka yang miskin prestasi, tapi kaya keinginan. Pertanyaan satirnya: kalau pejabat seperti ini berhasil naik, apa yang bisa diharapkan publik? Bukankah birokrasi hanya akan diisi oleh orang-orang yang sudah ‘membeli tiket’, bukan yang lolos seleksi?

Fenomena ini menimbulkan kontras yang mencolok. Di satu sisi, banyak ASN dengan golongan tinggi masih setia menjadi staf fungsional. Di sisi lain, ASN junior dengan pangkat minimal justru sudah menduduki kursi struktural. Apakah junior-junior itu memang sehebat itu? Atau ada tangan-tangan tak terlihat yang mengangkat mereka?

Jujur saja, saya yang naif sempat berpikir: mungkin saja memang ada junior yang hebat dan layak promosi cepat. Tapi pengamatan sehari-hari membuat saya ragu. Saya melihat banyak rekan senior dengan keahlian spesifik, etos kerja tinggi, dan integritas lurus justru kesulitan menembus jabatan. Bukan karena tak mampu, melainkan karena hati nuraninya tidak membiarkan mereka ikut arus: tidak mencari muka, tidak mendekati “tokoh”, tidak membayar calo. Mereka lebih memilih menjadi ASN yang bekerja tenang, bersyukur, dan menjaga jarak dari permainan kotor.

Ketika sistem talent management dan assessment jabatan diumumkan, kami sempat berharap angin segar. Potensi dan kerja keras bisa diukur, diakui, dan menjadi dasar promosi. Namun, celotehan yang beredar segera mematahkan harapan itu. Katanya, mekanisme tetap saja kembali ke pola lama: siapa yang mendekat, dia yang dapat. Lebih parah lagi, kabar adanya “pricelist” jabatan—dinas basah tarifnya tinggi, dinas kering lebih rendah—masih bergulir dari masa ke masa.

Apa dampaknya? ASN menjadi apatis. Mereka yang tidak punya akses, uang, atau keberanian untuk mendekati tokoh tertentu, memilih pasrah. Bekerja sekadar menjalankan tupoksi, sedikit apriori, asal gaji dan tunjangan halal. Integritas mereka tetap utuh, tetapi semangat perubahan pelan-pelan luntur.

Fenomena jual beli jabatan bukan hanya persoalan etika, melainkan soal masa depan birokrasi. Kalau seleksi jabatan ibarat lomba lari, maka yang menang bukan yang paling cepat, melainkan yang paling tebal dompetnya. Bukankah ini merusak sportivitas birokrasi? Bukankah ini membuat pelayanan publik hanya jadi formalitas, bukan dedikasi?

Saya percaya, Abdimuda—ASN muda—masih punya tanggung jawab moral untuk menolak praktik ini. Kalau tidak, kita hanya akan mewarisi sistem yang menyingkirkan meritokrasi. Kita akan terus menjadi saksi yang apatis, bukan pelaku perubahan.

Menjadi pejabat memang berat. Banyak tuntutan dari atasan, bawahan, kiri, kanan. Tapi bukankah akan lebih berat lagi kalau jabatan itu didapat dengan cara yang tidak bermartabat? Jabatan yang dibeli, pada akhirnya akan ditagih: oleh pemberi jabatan, oleh publik, dan oleh hati nurani sendiri.

Kalau jabatan bisa dibeli, maka birokrasi tinggal menunggu diskon besar-besaran di akhir tahun. Pertanyaannya, maukah kita para ASN muda sekadar jadi kasir birokrasi, atau penjaga integritas bangsa?

Bagikan :