Kita sering mendengar gaung “sistem merit” bagaikan mantra suci dalam denyut nadi reformasi birokrasi. Selalu dielu-elukan sebagai penopang utama untuk membangun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berintegritas, profesional, dan berkinerja. Namun, dibalik kata-kata yang tertera rapi dalam peraturan perundang-undangan, tersembunyi cerita-cerita manusiawi tentang harapan, perjuangan, dan kadang, kekecewaan. Tulisan ini tidak hadir semata untuk menganalisis pasal-pasal, tetapi lebih sebagai sebuah renungan bersama. Sebuah upaya untuk menghadirkan kembali semangat sistem merit dari sudut pandang yang lebih manusiawi, belajar dari sebuah kisah nyata yang berakhir di ruang sidang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Untuk menyelami makna sistem merit bukan sebagai sebuah prosedur baku, tetapi komitmen kolektif untuk menegakkan keadilan dalam setiap keputusan kepegawaian. Belajar dari kasus gugatan seorang calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Riau, kita akan merefleksikan bagaimana prinsip-prinsip luhur itu diuji, dan pelajaran berharga apa yang dapat kita petik untuk perjalanan kita bersama membangun birokrasi yang lebih baik.
Lebih Dari Sekadar Gugatan
Cerita ini berawal dari sebuah Keputusan Gubernur Riau mengenai pengangkatan PPPK. Seorang perempuan bernama Roza Sriwalinda, sang Pemohon, merasakan gejolak dalam hatinya. Ia telah melalui serangkaian proses seleksi, namun ia merasa haknya terabaikan ketika tidak ditempatkan di satuan pendidikan yang ia idamkan, yaitu SMA N 1 Peranap. Perasaan tidak adil kemudian mendorongnya untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pekanbaru.
Di tingkat pertama, pengadilan memutuskan untuk menolak gugatannya. Merasa putusan itu belum memuaskan rasa keadilannya, Roza mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim di PT TUN Medan menyatakan bahwa tidak ditemukan alasan hukum baru yang cukup kuat untuk membatalkan putusan sebelumnya. Pada akhirnya, PT TUN Medan memutuskan untuk menguatkan putusan PTUN Pekanbaru.
Dari kisah hukum yang singkat ini, setidaknya ada dua pelajaran mendasar yang dapat kita renungkan:
Kepastian Hukum sebagai Pondasi. Pengadilan, melalui putusannya, menyatakan bahwa kebijakan Pemerintah Provinsi Riau secara formal telah sah. Ini memberikan pesan bahwa selama sebuah proses berjalan sesuai dengan rel prosedural yang telah ditetapkan, maka ia memiliki kekuatan hukum yang pasti. Kepastian ini penting untuk menciptakan iklim yang stabil dalam manajemen kepegawaian.
Batas Nalar Hukum dan Nalar Kebijakan. Pengadilan dengan bijak menyadari batas kewenangannya. Penilaian terhadap kelayakan dan preferensi penempatan bukanlah ranah judicial review selama proses pengangkatannya sendiri dianggap telah memenuhi syarat. Penempatan akhir seringkali melibatkan pertimbangan kebijakan (diskresi) yang kompleks dari pejabat pembina kepegawaian, selama dilaksanakan dengan mempertimbangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Namun, persoalannya tidak selesai pada ranah hukum yang hitam putih. Di balik putusan tersebut, tersimpan sebuah pertanyaan reflektif bagi kita semua, para pelaku pengembangan SDM ASN: Dimanakah celah yang membuat seorang manusia, yang telah berjuang dalam seleksi, merasa hingga harus membawa persoalannya ke meja hijau?
Merajut Solusi
Putusan pengadilan ini bukanlah akhir cerita, melainkan sebuah cermin besar untuk bercermin. Sebagai sesama ASN yang setiap hari bergumul dengan tantangan yang sama, saya merenungkan beberapa langkah konkret yang dapat kita ambil bersama untuk memastikan semangat sistem merit tidak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga merasuk dalam sanubari setiap insan aparatur.
Memulihkan Kepercayaan Melalui Transparansi dan Komunikasi yang Empatik.
Banyak sengketa berawal dari kesenjangan informasi. Seringkali, kita di unit SDM terjebak dalam rutinitas administratif dan lupa bahwa di balik setiap nomor induk pegawai dan berkas lamaran, ada seorang manusia dengan harapan dan kecemasannya. Kita perlu beralih dari sekadar “pengumuman” menuju “komunikasi”. Sosialisasi tidak boleh lagi bersifat satu arah dan formalistis.
Bayangkan jika mekanisme penempatan dimulai dari bagaimana formasi ditetapkan, bagaimana kebutuhan unit kerja dinilai, hingga bagaimana hasil kompetisi diolah. Lalu dijelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, melalui kanal-kanal yang mudah diakses. Proses yang transparan akan melahirkan pemahaman. Pemahaman akan melahirkan penerimaan, bahkan ketika hasilnya mungkin tidak sesuai dengan harapan awal. Dalam konteks kasus Roza, komunikasi yang proaktif tentang alasan di balik penempatan mungkin dapat meredam kekecewaan yang berujung pada gugatan.
Menciptakan Ruang Bicara Sebelum Ruang Gugat.
Sebelum keluhan berubah menjadi berkas gugatan di pengadilan, harus ada saluran internal yang efektif untuk mendengarkan keluh kesah tersebut. Unit SDM di setiap instansi semestinya tidak hanya menjadi mesin rekrutmen dan penggajian, tetapi juga menjadi “rumah” bagi para pegawai dan calon pegawai untuk menyampaikan kegelisahan mereka.
Kita perlu membangun sistem pengaduan dan mediasi internal yang tidak birokratis dan berperspektif keadilan. Seorang pegawai atau calon pegawai yang merasa haknya terabaikan harus memiliki tempat untuk didengar, bukan dianggap sebagai pembuat masalah. Proses mediasi yang dipandu oleh pihak yang netral dan berkompeten dapat menjadi jembatan untuk menyelesaikan perselisihan secara kekeluargaan, jauh sebelum eskalasi hukum terjadi. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral organisasi kita.
Membekali Pejabat dengan Hati Nurani Hukum.
Setiap keputusan kepegawaian yang ditandatangani oleh seorang pejabat pembina kepegawaian adalah produk yang memiliki konsekuensi hukum dan lebih penting adanya konsekuensi sosial. Pejabat kita tidak boleh dibiarkan berjalan sendirian dalam mengambil keputusan-keputusan krusial tersebut.
Pendampingan hukum yang kuat dan proaktif mutlak diperlukan. Tenaga hukum di setiap instansi harus mampu menerjemahkan prinsip-prinsip Hukum Kepegawaian dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) menjadi rambu-rambu praktis yang mudah dipahami oleh para pejabat. Apakah keputusan ini telah memenuhi asas kepastian hukum? Apakah pertimbangannya wajar? Apakah wewenang yang digunakan tidak disalahgunakan? Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang harus menjadi panduan sebelum sebuah tanda tangan dicantumkan.
Menanamkan Nilai, Melampaui Sekadar Aturan.
Pada akhirnya, sistem sehebat apa pun akan lumpuh tanpa dijiwai oleh nilai-nilai luhur. Pembinaan dasar akan nilai-nilai ASN seperti komitmen, profesionalisme, netralitas, integritas, dan kepatuhan hukum seharusnya menjadi napas dalam setiap program pengembangan SDM kita.
Bagi calon ASN, penanaman nilai ini penting untuk membangun kesadaran bahwa menjadi aparatur negara adalah panggilan pengabdian, bukan sekadar pencarian jabatan. Bagi ASN yang telah mengabdi, penyegaran nilai-nilai ini akan mengingatkan kita bahwa setiap kebijakan yang kita buat dan setiap keputusan yang kita ambil pada akhirnya berdampak langsung pada kehidupan masyarakat dan masa depan bangsa. Dengan pemahaman ini, baik yang mengambil keputusan maupun yang menerima keputusan akan dapat bersikap lebih arif.
Kolaborasi untuk Mewujudkan Keadilan yang Bernalar
Putusan PT TUN Medan dalam kasus Roza Sriwalinda adalah sebuah pengingat yang berharga. Ia menegaskan bahwa hukum akan berdiri di pihak yang proseduralnya benar, sekaligus menyoroti betapa rapuhnya rasa keadilan jika hanya mengandalkan kepatuhan formal belaka.
Oleh karena itu, marilah kita bergandengan tangan dalam sebuah kolaborasi yang tulus:
Kepada Pemerintah Pusat dan Daerah, mari kita jadikan platform rekrutmen seperti SSCASN bukan hanya sebagai sistem yang canggih, tetapi juga sebagai wujud nyata kompetisi yang adil dan transparan. Evaluasi harus dilakukan secara terus-menerus, dengan mendengarkan umpan balik dari para pelaku di lapangan.
Kepada Para Pengelola SDM di Seluruh Kementerian/Lembaga, mari kita buat Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tidak hanya jelas, tetapi juga mudah diakses dan dipahami. Hilangkan sebanyak mungkin celah untuk multi tafsir dan kesewenang-wenangan. Jadikan unit SDM sebagai mitra yang melayani, bukan menghakimi.
Kepada Sesama Rekan ASN dan Calon ASN, mari kita terus mengasah kompetensi dan kapasitas diri. Marilah kita memiliki pemahaman yang utuh tentang hak dan kewajiban kita. Jika suatu hari kita merasa dirugikan, tempuhlah mekanisme hukum yang tersedia dengan tetap berpegang pada etika dan sopan santun sebagai abdi negara.
Dengan memadukan penguatan regulasi, konsistensi dalam pelaksanaan, dan—yang terpenting—pemanusiaan dalam birokrasi, cita-cita untuk memiliki ASN yang berintegritas, profesional, dan berkinerja tinggi bukanlah sekadar impian. Ia adalah sebuah perjalanan yang harus kita tempuh bersama, dengan satu keyakinan: bahwa keadilan yang bernalar adalah pondasi bagi kepercayaan publik, dan kepercayaan publik itulah yang pada akhirnya akan menguatkan republik ini.
Penulis seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sehari-hari berkecimpung dalam pengelolaan SDM dan berkeyakinan bahwa birokrasi yang melayani harus dimulai dari hati yang melayani.