Ketika Guru Sejarah Membahas IKN

Gambar sampul Ketika Guru Sejarah Membahas IKN

Menjadi guru sejarah tidak akan pernah lebih mudah dibanding menyeduh segelas teh. Guru sejarah selalu dituntut lebih dari sekadar menyuguhkan data (kejadian dan rangkaian kejadian), mengkritik sumber, lalu menyusun interpretasi. Yang disebut terakhir ini membutuhkan bukan hanya kemampuan bercerita, namun mengaitkannya dengan hal-hal kontekstual adalah kunci agar sejarah sebagai ilmu tetap relevan dengan zaman.  

 

Di sebuah siang terik, ketika warga sekolah baru saja usai menunaikan shalat duhur, dengan langkah pasti saya masuk ke kelas X AKL. Biasanya jam siang begini, suasana kelas kadang lebih mirip pasar: kelompok-kelompok kecil masing-masing larut dalam percakapan, teriakan dan senda gurau. Ketika saya mengetuk pintu dan mengucapkan salam, seketika kelas kembali format default, lalu hening.

 

Sebenarnya, kelas yang tiba-tiba hening adalah tantangan sekaligus kondisi ideal untuk memantik respon mereka untuk ikut terlibat dalam diskusi kelas. Kebetulan topik hari itu adalah Historiografi. Historiografi adalah penulisan sejarah, bagian akhir dari tahapan penelitian sejarah. Historiografi adalah penafsiran atau interpretasi penulis mengenai kejadian-kejadian.   

 

Menjelaskan historiografi ke siswa memang tidak mudah, apalagi citra pelajaran sejarah yang belum bisa sepenuhnya mepelaskan diri dari hafalan (tokoh, peristiwa dan waktu kejadian). Karenanya, yang perlu dilakukan adalah menemukan kalimat yang sederhana dan mengaitkannya dengan kehidupan atau konten yang dekat dengan siswa.

 

Lebih penting lagi, historiografi adalah tafsir dari sebuah atau serangkaian peristiwa. Jadi, pemahaman terhadap sebuah karya historiografi tidak boleh hitam-putih dan juga tidak harus dilihat dari sisi benar atau salah.

 

Bentuk atau jenis historiografi tentu saja sangat dipengaruhi oleh siapa penulisnya dan kapan tulisan tersebut diproduksi. Untuk kurun waktu sebelum kedatangan atau pendudukan penjajah, historiografi ditulis terbatas hanya di kalangan kerajaan. Di era kerajaan, tulisan umumnya bersumber dari pihak kerajaan, yang ditulis oleh juru tulis kerajaan atau para pujangga. Karena ditulis untuk kepentingan kerajaan, maka ciri khas historiografi era ini adalah istana-sentris, bertujuan untuk membangun citra raja dan kerajaan.

 

Historiografi kerajaan atau pra-kolonial bahkan memuat informasi yang seringkali memiliki unsur mitologi, misalnya asal muasal raja pertama adalah sosok yang agung dan merupakan titisan dari langit. Umumnya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan lainnya) menggunakan konsep raja pertama sebagai keturunan dewa, mereka menyebutnya ‘To Manurung’, manusia yang diturunkan dari langit. Itu sebabnya raja-raja sangat dekat dengan predikat kultus.

 

Pengkultusan raja sepertinya sejalan dengan maksud untuk menghadirkan sosok yang keramat, seorang yang berwibawa dan memiliki kekuatan langit, yang dibutuhkan untuk menghadirkan ketentraman dan menegakkan keadilan.

 

Ada juga tulisan sejarah yang dihasilkan oleh orang-orang Eropa yang berkunjung ke Nusantara. Di fase awal kedatangan Eropa -awal abad XVI, seorang peneliti dari Potugis bernama Tome Pires membuat karangan yang populer dengan judul Suma Oriental. Tulisan tersebut banyak memberikan informasi penting bagi orang-orang Eropa mengenai keberadaan negeri Timur, tentang aktivitas perdagangan, dan negeri yang kaya akan sumber daya alamnya.

 

Berkat Pires, pada periode berikutnya, gelombang kedatangan orang-orang Eropa (Spanyol, Belanda dan Inggris) merapat ke pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Awalnya mereka hanya berdagang, lalu memaksakan monopoli, dan dengan tegas menunjukkan keinginan membangun koloni untuk menguasai. Karena itu, tulisan sejarah pada periode ini dikenal dengan sebutan Historiografi Kolonial.

 

“Apakah historiografi kolonial tidak baik untuk Indonesia?” tanya Anggun, siswa yang memang selalu aktif merespon materi pelajaran dan berdiskusi.

 

Historiografi kolonial sebenarnya juga dibutuhkan, agar kita mendapatkan perspektif dari luar. Bahkan, nama “Indonesia” sebenarnya dipopulerkan oleh seorang Etnografer berkebangsaan Eropa, yang selanjutnya berkembang dan digunakan secara luas oleh peneliti-peneliti pada abad XIX.

 

Lalu, dari mana kata Indonesia? Orang-orang Eropa seringkali menyebut kata India (Belanda menyebut Hindia) untuk menunjuk negeri yang ada di Timur. Sedangkan Nesia berarti kumpulan pulau. Jadi Indonesia secara bahasa bermakna: pulau-pulau yang ada di Timur.

 

Fauzan yang dari tadi mengangguk, lalu mengemukakan pertanyaan kritis: “Kalau nama Indonesia adalah pemberian orang-orang Eropa, mengapa kita masih menggunakannya sampai hari ini? Bukankah kita sudah merdeka?”           

 

Sebenarnya, ilmuwan dan pemerintah sudah lama menyadari itu. Tapi, karena ini terkait identitas negara, tentu tidak mudah untuk mengganti nama. Meski demikian, sepertinya pemerintah sudah punya rencana sendiri.

 

“Rencana apa pak?” beberapa siswa kian penasaran.

 

Proyek pemindahan ibukota negara sebenarnya tidak hanya dilatari oleh kondisi Ibukota Jakarta yang kian padat. Dengan pemindahan ibukota negara, juga menunjukkan komitmen pemerintah untuk membangun daerah di luar Jawa. Setelah sekiat lama kita merdeka, masih terjadi ketimpangan antar daerah. Padahal, konsep NKRI sesungguhnya dihadirkan untuk mengakomodir negeri-negeri yang pernah berjaya di masa Kejayaan Nusantara.

 

Jadi, IKN bukan hanya berarti ibukota negara tapi juga Ibu Kota Nusantara. Apakah pemerintah berniat mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara? Mari kita tunggu.

    

#ASNPunyaCerita

Bagikan :